Artikel

BPJS Bikin Panik Lagi

Oleh: Devita Deandra
Pemerhati Kebijakan, tinggal di Balikpapan

Dilansir dari kompas.com (12/12/21), pemerintah berencana melakukan transisi kelas rawat inap (KRI) JKN yang dibagi dalam dua kelas standar. Kelas ini adalah kelas standar A dan kelas standar B. Kelas standar A adalah kelas yang diperuntukkan bagi Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN). Sementara itu, kelas standar B diperuntukkan bagi peserta Non-PBI JKN.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Muttaqien mengatakan bahwa penerapan kelas standar bertujuan untuk menjalankan prinsip asuransi sosial dan equitas di program JKN. Hal yang menjadi amanah dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 23 (4) adalah kelas rawat inap standar. Pihaknya dengan kementerian terkait saat ini, masih merumuskan kelas rawat inap tunggal tersebut. Masih adanya rumah sakit yang mendahulukan pasien umum atau berbayar dibandingkan peserta JKN membuat pasien JKN kesulitan untuk mengakses ruang perawatan. Termasuk pasien JKN yang harus pulang dalam kondisi belum layak, diminta membeli obat sendiri dan lainnya.

Penerapan kelas standar, baik Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI ini akan mulai berlaku pada 2022 atau paling lambat Januari 2023. Sementara soal iuran, saat ini masih dilakukan pengkajian dan berproses kata Muttaqien. Besaran iuran BPJS akan diperhitungkan berdasarkan beberapa pertimbangan, inflasi, dan biaya kebutuhan jaminan kesehatan. Adanya peluang kenaikan tarif iuran BPJS memang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020. Dimana disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1) bahwa besaran iuran ditinjau paling lama 2 tahun sekali. Mengingat peninjauan terakhir sudah dilakukan pada tahun 2020 termasuk terkait iuran BPJS Kesehatan mandiri tahun 2021, maka akan ada kemungkinan penyesuaian pada iuran BPJS Kesehatan di tahun 2022.

Bingung dan gelisah. Mungkin itu yang masyarakat rasakan, sebab adanya kabar tersebut. Pasalnya peraturan dari BPJS sendiri yang sering berubah-ubah, terbukti menciptakan kekhawatiran masyarakat, terutama harapan untuk mendapatkan fasilitas dan layanan kesehatan yang layak, menjadi semakin sulit didapatkan. Padahal adanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) selama ini belum sepenuhnya membantu dan menyasar seluruh rakyat.

Berubah-ubahnya prosedur dan pemberian fasilitas kesehatan menunjukkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat terkesan kurang serius. Padahal BPJS sendiri tidak sepenuhnya gratis, melainkan ada premi/iuran yang harus dibayar setiap bulan. Dari sinilah maka BPJS sendiri belumnya menjadi jaminan kesehatan nasional secara sempurna.

Namun wajar saja semua ini terjadi, pasalnya memang itulah watak kapitalisme, dalam ideologi ini tidak ada yang gratis, termasuk hajat publik. Baik kesehatan, pendidikan dan fasilitas lainnya. Kalau pun bisa didapat dengan gratis maka pelayanan pun tidaklah maksimal. Rakyat harus menerima apa adanya pelayanan yang diberikan, padahal hak sebagai warga negaran, baik itu miskin atau kaya tetaplah sama. Namun dalam kehidupan hari ini, yang kaya bagai raja yang miskin semakin sengsara. Pelayanan kesehatan yang didapat bagi pengguna BPJS pun dianggap belumlah maksimal, demi mendapat pelayanan pun harus mengantri panjang, hingga mondar-mandir meminta rujukan. Ini membuktikan bahwa jaminan ini pun terkesan setengah-setengah, kemudahan dan kenyamanan penggunanya pun kurang mendapat perhatian.

Inilah akibat dari pengurusan yang diserahkan kepada swasta. Polemik ini akan terus terjadi selama kepengurusan pelayanan kesehatan hanya dinilai dengan materi, bukan ketulusan melayani masyarakat sebagai bentuk tanggungjawab negara.

Padahal, menyediakan  layanan kesehatan untuk rakyatnya menjadi tugas negara, sebab ini merupakan kebutuhan umum, bahkan penting bagi rakyat. Sehingga kesehatan tak boleh dijadikan ladang bisnis dan ajang untuk meraup keuntungan. Namun inilah yang terjadi dalam sistem kapitalisme hari ini, sehingga berharap negara memberikan pelayanan kesehatan secara berkualitas, gratis, merata, tanpa membedakan kelas, ataupun besaran biaya kesehatan, menjadi hal yang amat jauh dari harapan.

Kesehatan sebagai kebutuhan dasar manusia dipandang sebagai sektor jasa yang harus diliberalisasi. Artinya, dalam mengelola pelayanan kesehatan untuk rakyat, peran pemerintah sangat minim, yakni hanya sebagai regulator. Sedangkan pelayanan kesehatan akan dilemparkan kepada mekanisme pasar. Tentu yang paling diuntungkan atas hal ini adalah para pemilik kekuatan kapital yang memiliki peran paling dominan dalam memainkan bisnis kesehatan.

Alhasil, pelayanan kesehatan pun menjelma sebagai barang komersil, jasa yang bisa diperjualbelikan sebagai ladang bisnis yang menggiurkan, bukan lagi menjadi sebuah kewajiban negara untuk memberikan pelayanan kesehatan yang gratis serta berkualitas untuk rakyat. Kapitalisme tak mengenal riayah, untung-rugi lah yang ada, penguasa pun perhitungan dalam hal pengurusan. Sehingga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, rakyat diwajibkan membayar dan tak bisa mendapatkannya secara cuma-cuma. Dalam kata lain, rakyat bisa mendapatkan pelayanan gratis namun bersyarat. Ketika premi tidak dibayar rakyat pun tidak bisa menggunakan, ketika ingin pelayanan yang baik maka harus siap bayar, sungguh rakyat bak ladang bisnis.

Padahal, saat ini jaminan kesehatan dan jaminan kebutuhan pokok rakyat lainnya adalah urgen, mengingat kini kita pun masih hidup di tengah-tengah pandemi. Tentu layanan kesehatan yang memiliki fasilitas dan pelayanan terbaiklah yang dibutuhkan mengingat pandemi belum juga usai, terlebih di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk. Jangankan untuk membayar premi, untuk makan sehari-hari saja sulit.

Kebijakan yang seharusnya diambil oleh negeri ini adalah kebijakan yang tepat, sebagai bentuk pe-riayah-an atas amanah yang telah Allah berikan.

Bahwa sesungguhnya semua kebutuhan rakyat merupakan tanggungjawab yang harus dipenuhi negara. Terlebih kesehatan yang merupakan kebutuhan pokok rakyat, hal ini tidak boleh diabaikan sebab ini pula menyangkut nyawa. Selain itu pengurusan di dalam Islam, mengatur bahwasanya pelayanan kesehatan tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain, termasuk kepada individu atau swasta, apalagi dijadikan sumber bisnis untuk meraup keuntungan. Di dalam Islam pemimpinlah yang akan mengatur hal ini, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw: “Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Maka dari itulah, tak boleh negara berbisnis dengan rakyatnya. Mencari untung sebanyak-banyaknya.

Tengoklah bagaimana ketika negara itu menerapkan sistem Islam, tentu jangankan jaminan kesehatan, jaminan pendidikan dan lainnya juga akan didapat secara mudah dan berkwalitas.

Begitupun dalam sejarah kekhilafahan, Khalifah Umar juga telah menggratiskan dan menjamin kesehatan rakyatnya. Beliau mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikit pun imbalan dari rakyatnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2/143).

Selain itu khalifah/pemimpin di dalam Islam telah menjamin dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Sebagai contoh Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160, telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan secara gratis. Para sejarawan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun,” (Will Durant dalam The Story of Civilization).

Luar biasa bukan? sejarah Islam dalam membangun dan memberikan layanan kesehatan. Itu semua adalah fakta sejarah yang terangkai apik, maka sudah sepatutnya semua berupaya untuk mengulang kembali sejarah beradaban Islam. Sebab dalam sistem atau ideologi inilah jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat, baik muslim, non muslim, miskin, kaya. Semua sama rata, tidak ada perbedaan diantaranya selama dia warga daulah maka kewajiban khalifah untuk meriayahnya. Masyaa Allah

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.