Artikel

Dispensasi Nikah? Produk Tambal Sumbal Tanpa Islam Kafah

Oleh: Mariani Siregar, M.Pd.I
Dosen, penulis

Mengerikan! Harus waspada! Kasus kerusakan generasi di negeri  tidak bisa lagi dianggap biasa-biasa lagi. Maraknya kasus keruskan hampir di segala lini kehidupan semakin mencekik generasi muda anak bangsa. Khsusunya di ranah potensi kehidupan naluri seksual.

Gaya hidup yang mengarusderaskan liberalisme telah melahirkan wajah kaum muda yang rapuh dan jauh dari yang diharapkan sebagai calon-calon pemimpin unggul masa depan.  Kehidupan kaum millennial yang serba permisif dan hedon juga melahirkan generasi yang memalukan dan tidak tahu malu. Sementara para orangtua, ada yang merasa bersalah ada juga yang merasa hanya menerima nasib buruk.

Betapa tidak? Kini generasi muda sedang dihadapkan dengan gelombang zina yang terus mengalir dan tidak ada yang mampu membendung atau membentenginya. Pelaku kemaksiatan zina ibarat fenomena gunung es. Lihat saja yang diberitakan oleh CNN Indonesia,  bahwa Pengadilan Tinggi Agama Surabaya melaporkan angka permohonan dispensasi nikah (diska) di Provinsi Jawa Timur pada 2022 mencapai 15.212 kasus.

Kemudian, dispensasi pernikahan anak mencapai 50.673 kasus pada 2022 menurut Badan Peradilan Agama. Ironisnya, pelajar yang mengajukan dispensasi nikah sebanyak 80% (untuk wilayah provinsi Jatim). Sangat ironis bukan? Lalu, dispensasi nikah diajukan sebagai solusi untuk menyelesaikan kasus gelombang zina yang menimpa pelajar atau generasi. Namun pertanyaannya adalah, benarkah dispensasi nikah mampu jadi solusi tuntas?

Semakin tingginya kasus zina atau free sex yang  melanda generasi muda harus menjadi perhatian semua pihak. Tidak cukup hanya dengan mengajak pelajar atau anak-anak untuk menjaga diri saat keluar rumah, sementara kontrol masyarakat tidak berfungsi, apalagi negaranya abai.

Jika tidak, pastilah solusi yang ditawarkan hanya bersifat parsial dan tidak menyentuh akar masalah. Ibarat seorang dokter yang tengah mendiagnosa penyakit pasiennya, kemungkinan sembuh 80% bisa terjadi jika diagnosa benar dan solusi yaitu obatnya juga tepat.

Begitu juga dengan fakta free sex yang merupakan penyakit di tengah masyarakat dan melanda kaum muda. Maka tidak mungkin menyelesaikannya serampangan apalagi jika sampai diabaikan. Perosalan zina tidak hanya merusak kesucian dan kehormatan seorang remaja putir atau nama baik pelaku di masyarakat. Lebih dari itu, berimbas pada nasab keturunan keduanya hingga generasi berikutnya dan berikutnya.

Free sex harus dikenali akar penyebabnya sehingga bisa diselesaikan dengan tuntas tanpa menyisakan jejak apalagi berulang di masa depan secara massif. Apalagi dispensasi nikah diangap solusi demi menutupi kejahatan atau kemaksiatan perilaku zina.

Dispensasi Nikah, Produk Tambal Sumbal Hukum Sekuler

Pengajuan dispensasi nikah oleh kalangan pelajar atau generasi muda yang sedang viral memang sangat mengkhawatirkan. Karena fenomena tersebut membuka tabir kondisi remaja atau pelajar muda rusak . Persoalan zina yang melanda mereka harus menjadi perhatian besar dan bersama untuk mencari solusi yang tuntas.

Pelajar mengajukan dispensasi nikah atas situasi hamil luar nikah akibat zina yang mereka lakukan. Lalu negara melalui KUA mengabulkan permohonan tersebut karena melihat persoalannya sudah sangat mendesak atau darurat. Sebab, secara undang-undang pernikahan yang berlaku di Indonesia, usia di bawah 19 tahun tidak diizinkan secara legal untuk melangsungkan pernikahan.

Namun, sebab kondisinya sudah parah dan tidak lagi bisa dibendung, maka dispensasi nikah dikabulkan dengan mengesampingkan syarat batas usia yang sesuai dengan undang-undang pernikahan.

Secara hukum yang berlaku, pelaku zina tidak bisa dijatuhi sanksi berat. Karena untuk menjatuhkan hukuman perbuatan zina atau hamil luar nikah (free sex), harus merujuk kepada undang-undang lain semisal UU TPKS (tindak pidana kekerasan seksual) serta UU KUHP terkait zina dan kumpul kebo.

Berdasarkan defenisi kedua undang-undang tersebut, pelaku hanya bisa diseret dengan kasus pidana jika ada unsur yang melapor sebagai korban dan merasa dirugikan. Ironisnya, jika adapun yang melapor merasa dirugikan dari hasil free sex, hanya akan dikenai sanksi selama enam bulan. Bayangkan!

Setelah enam bulan menghabiskan masa tahanannya, adakah jaminan itu tidak terulang? Belum lagi cerita jika pelaku mampu melakukan manuver hukum alias membeli hukum. Bukan rahasia lagi jika di negeri ini jual-beli hukum itu tidak haram. Sehingga, dari definisi hukum yang ada di Indonesia, maka free sex atau zina bukanlah perbuatan kriminal fatal atau kejahatan yang besar.

Free sex dalam kacamata negeri yang terpengaruh ideologi sekuler seperti Indonesia, tentu tidak akan berbeda dengan cara pandang negara sekuler lainnya. Apalagi induk semangnya, negara-negara Barat. Ide sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan lalu ditumpangi dengan paham kebebasan ala demokrasi, menjadikan free sex sebagai kejahatan hanya jika ada unsur pemaksaan (pemerkosaan). Bukan suka sama suka seperti hamil karena pacaran.

Kebebasan berekspresi yang melahirkan gaul bebas menjadi faktor utama pencetus maraknya zina yang kini bak gelombang tsunami menghantam pelajar seperti kasus Jawa Timur. Bukankah akhirnya tidak berbeda dengan negara-negara Barat? Generasi mudanya dianggap tidak normal jika masih perawan di usia High School. Maka tidak heran, jika keperawanan atau keperjakaan bukan modal hidup penting kaum muda di Barat.

Kesucian bukan harga mati untuk dipertahankan. Melainkan untuk diumbar kepada siapun sesukanya. Budaya bebas Barat tidak mengenal istilah halal-haram dalam kehidupan publik seperti pergaulan. Poin utama bagi mereka adalah kebebasan dan kesenangan materi serta syahwat. Inilah yang menjadi akar masalah persoalan hamil luar nikah yang terus melanda Indonesia.

Zina marak, dispensasi nikah jadi andalan. Tanpa adanya tindakan preventif dari negara untuk menghentikan free sex, bukankah dispensasi nikah pada akhirnya akan menambah masalah baru, yaitu melegalkan pernikahan yang sudah hamil duluan? Artinya, silahkan hamil duluan, nanti bisa dipsensasi nikah! Astagfirullah! Betul-betul hanya produk tambal sumbal sekulerisme. Seharusnya, negara memberikan pencegahan yang massif bukan menambah masalah baru di masa depan.

Tetapi, masyarakat sebagian sudah menganggap bahwa dikabulkannya dispensasi nikah seperti angin segar untuk bernafas dalam menghadapi kasus free sex. Mungkin dari sebagian mereka menilai setidaknya negara masih peduli untuk menyelesaikannya dengan pengabulan dispensasi nikah daripada tidak sama sekali.

Hanya saja, masyarakat nantinya kemungkinan besar akan dibenturkan lagi dengan adanya arus penolakan pernikahan dini yang dihembuskan oleh kalangan Barat khususnya kaum feminis. Bagi mereka, pernikahan dini adalah langkah yang salah dan akan menyebabkan problem-problem kehidupan baru di masyarakat.

Seperti yang dicanangkan dalam program BKKBN untuk membentuk keluarga berkualitas yang tentunya mengarah pada pencegahan pernikahan dini kalangan remaja.  Melalui lembaga BKKBN, negara secara sistematis mengedukasi pelajar untuk menjauhi pernikahan dini karena akan berdampak buruk.

Bahkan, sebelumnya sudah ada program Kespro (kesehatan reproduksi) dan sampai sekarang masih terus dijalankan. Sebagian membentuk duta-duta Kespro atau GenRe untuk turun menjelaskan bahaya pernikahan dini. Namun faktanya, meskipun Kespro sudah ada, GenRe dibentuk tidak menjadikan free sex selesai. Dan jika sudah hamil, tentu pernikahan dini bagi kasus pelajar seperti Ponorogo dan daerah lainnya jadi pilihan. Bagaimana mencegahnya?

Kembalikan Solusi Dengan Islam Kafah

Andaipun pernikahan dini seperti yang disampaikan oleh pihak tertentu mengundang bencana lain seperti peningkatan angka stunting, kehamilan yang beresiko, meningkatkan angka kematian ibu, penyakit rahim, dan sebagainya, bukanlah jadi alasan utama. Sebab pernikahan pada dasarnya harus dikembalikan pada konteks hukum syariat.

Annikahu sunnati“. Nikah adalah sunah Nabi saw. Jika pernikahan adalah sunnah yaitu ibadah, maka dampak pernikahan A to Z yang dipikiran manusia tidak menjadi dalil untuk melarang terjadinya pernikahan.

Hanya saja, syariat sangat memperhatikan jalannya atau proses sebelum terjadi pernikahan, saat pernikahan dan rambu-rambu pasca pernikahan antara pasangan suami istri. Sehingga kecil kemungkinan atau ruang untuk terjadinya kasus-kasus pasca pernikahan dini seperti yang dikampanyekan.

Persoalan usia dalam pernikahan, sebenarnya tidak pernah jadi pembahasan di kalangan ulama terdahulu atau bahkan para sahabat. Setiap seseoarng yang sudah siap menikah dan menerima beban tanggung jawab pernikahan secara hukum syara’, maka pernikahan halal untuk diselenggarakan.

Tentunya, beban tanggung jawab yang dimaksud diberikan utama kepada pihak laki-laki sebagai qowwam (pemimpin) dalam rumah tangga. Jika sudah baligh tentunya otomatis jadi mukallaf (penanggung beban hukum). Tetapi jangan dibayangkan konteksnya dalam kehidupan sekuler seperti sekarang. Tentu hal tersebut akan menjadi cemoohan dan penolakan dari kaum sekuler liberal.

Dalam kehidupan bernegara yang diatur dengan syariat Islam, akan tumbuh individu-individu yang bertaqwa dan ditempa dalam bangunan keluarga yang memiliki aqidah kokoh serta relasi sehat dalam kasih sayang diantara anggota keluarga. Dengan kondisi ini, minim didapati keluarga yang broken home atau kurang kasih sayang dan perhatian.

Selanjutnya, masyarakat di dalamnya menjadi pengontrol perilaku individu untuk membentenginya dari dosa-dosa besar yang merugikan diri sendiri juga orang lain. Seperti melarang siapapun untuk melakukan perbuatan maksiat seperti free sex atau aktifitas-aktifitas yang mendekati zina seperti pacaran. Keterlibatan masyarakat sangat pro aktif dalam mencegah terjadinya kasu-kasus free sex.

Dan pilar terpenting adalah kehadiran negara yang menerapkan syariat Islam. Terbentuknya kontrol masyarakat yang pro-aktif dan ketaqwaan individu, tentunya jika ditopang oleh penerapan syariat oleh negara. Sehingga baik individu, masyarakat, dan negara terjalin sinergis kerja sama yang satu pemikiran, satu perasaan dan satu aturan. Jadi, tidak akan ada kesenjangan pemikiran yang memicu kegaduhuan sosial.
Kemudian, dunia hiburan atau semacamnya termasuk internet akan diawasi dan tidak membolehkan beredarnya situs-situs maksiat yang membawa kerusakan akal, dan pandangan. Seperti pornoaksi atau pornografi.

Jika syariat diterapkan, bagi para pelaku tidak susah untuk menanganinya. Sudah ada hukum yang tegas dan jelas yang wajib ditegakkan negara. Misalnya kasus zina. Ada hukuman jilid dan rajam yang sudah Allah tetapkan dalam Al-Qur’an. Bukan karena Allah kejam, melainkan karena kasih sayang Allah agar kehidupan manusia di muka bumi ini terpelihara.

Adanya hukuman jilid dan rajam berfungsi sebagai jawazir (pencegah) dan jawabir (penebus). Artinya, mencegah kemaksiatan terjadi lagi karena menyaksikan pelaksanan hukuman yang berat, serta membuat manusia tidak akan terpkir untuk mengulanginya. Terjaga bukan?

Selanjutnya menebus dosa pelaku hingga tidak dibawa ke akhirat. Itulah taubat nasuha sesungguhnya bagi pelaku zina menurut pandangan Islam. Bukan melegalkannya dengan dispensasi nikah atas nama darurat. Allahu a’lam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.