Artikel

Gubuk Terpal, Saksi Kemiskinan yang Terlupakan

Gubuk tenda yang dihuni Suriadi dan keluarga di Desa Rambah, Kecamatan Rambah Hilir, Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Provinsi Riau. Foto: Kompas.com

Oleh: Alfisyah Ummu Arifah
Guru dan Pegiat Literasi Islam

Menyedihkan dan membuat gerimis hati siapa saja yang melihatnya. Potret kemiskinan di negeri ini memang seperti fenomena gunung es. Data dan fakta yang tersembunyi lebih banyak lagi. Pendataan tak rapih menjadi pangkal persoalan dari kasus kemiskinan serupa. Jika di ibukota ada yang tinggal di bawah jembatan, di tempat sampah dan gunungannya, ada yang di kuburan dan tempat tak layak lainnya.

Seorang laki-laki berusia 45 tahun bernama Suriadi dan istri serta kedua anaknya tinggal di gubuk terpal ini sudah empat tahun. Menurut pengakuan mereka, mereka tak mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah setempat.  Fakta tak terbantahkan ini memang belum pernah akan usai. Sistem manusia kapitalisme yang tak mensejahterakan semua manusia inilah yang membuat masyarakat di negara ini bertambah miskin.

Karena keterbatasan ekonomi, pria 45 tahun ini bersama istri dan anak-anaknya terpaksa tinggal di gubuk reot yang dibuat dari terpal plastik di Desa Rambah, Kecamatan Rambah Hilir, Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Provinsi Riau.

Di gubuk itu, Suriadi tinggal bersama istrinya, Salini Noviani (31) dan dua orang anak perempuan, Nindi Hara Pipah Wina (10) bayi  berusia lebih kurang satu tahun. Suriadi bercerita bahwa sudah empat tahun tinggal di gubuk berukuran 3×4 meter (Kompas.com, 26/04/21).

Padahal salah satu kewajiban asasi seorang pemimpin pada masyarakatnya adalah memudahkan masyarakat memiliki hunian yang layak. Juga memudahkan kepala keluarga untuk mencari nafkah. Artinya lapangan pekerjaan mesti disiapkan negara untuk semua lelaki yang bertanggung jawab pada keluarganya. Satu lagi yang tak boleh lupa adalah menyediakan pakaian layak untuk masyarakat. Maka, jika negara itu beres dalam menjadikan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Itulah kebutuhan asasi seorang warga negara yang harus disediakan penguasanya secara gratis dan murah.

Selain itu, ada kebutuhan kolektif yang harus diberikan secara cuma-cuma oleh negara. Misalnya pendidikan, kesehatan dan jaminan keamanan dalam kehidupan bernegaranya. Siapapun dia mendapatkan pelayanan yang layak.

Jika kini ada yang tak terdata hidup di gubuk terpal, tempat sampah, kolong jembatan sesungguhnya itu fenomena gunung es yang tak nampak. Suatu saat akan menimbulkan masalah bagi negeri ini. Ini juga merupakan gambaran buruknya pelayanan negara terhadap masyarakat.

Prinsip good government ternyata belum tercapai. Pemerintah mesti intropeksi akan hal ini. Beritikad baik untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Jangan ada lagi Suriadi yang lain yang tinggal di tempat tak layak. Mereka ada untuk diurus urusannya. Itu amanah dari Allah untuk setiap pemimpin negeri.

Namun jika pemimpin itu masih berfikir dan mengurus urusan masyarakat dengan sistem kapitalisme, masyarakat sejahtera hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Harus ada gebrakan mengganti sistem kapitalisme dengan sistem yang kapabel dalam mengurus masyarakat. Sistem yang tidak cacat, tidak rusak atau merusak serta sistem yang mensejahterakan.

Tentu dengan arahan sang pencipta. Aturan itu adalah aturan ilahi yang bebas dari kesalahan dan kekeliruan dalam melayani masyarakat. Sebab mekanisme untuk mensejahterakan masyarakat sudah teruji selama 13 abad. Tinggal diulangi lagi kegemilangan itu yang kedua kali. Wallahu a’lam bish-showaab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.