Artikel

Hilangnya Kata “Madrasah” dalam Draf RUU Sisdiknas, Ada Apa?

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik

 

Ada apa? Itulah pertanyaan yang muncul dibenak beberapa kalangan yang telah mengetahui bocoran draf RUU Sisdiknas terbaru presented by Kemendikbudristek. Sebab, ada satu kata penting yang dihilangkan dalam  penyebutan jenjang pendidikan nasional yaitu Madrasah. Tentu saja hal tersebut akan menuai polemik baru dalam dunia pendidikan nasional. Baik pro maupun kontra.

Ketua Hismuni, Arifin Junaidi misalnya, mengkritik keras draf tersebut karena menghapus penyebutan madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Menurutnya, draf RUU Sisdiknas terbaru telah menafikan peran madrasah bagi pendidikan nasional. Padahal, kiprah madrasah di tanah air sudah terbukti membantu pendidikan nasional dan kebutuhan pendidikan bagi masyarakat.

Keberadaan madrasah negeri  menurut Junaidi hanya 5% selebihya adalah swasta. Dan jika diatur dalam UU Sisdiknas maka dipengaruhi kebijikan dan juga persoalan anggaran. Namun, jika madrasah diletakkan di dalam UU turunan artinya ada peluang diskriminasi terhadap madrasah.

Bukan hanya Hismuni, DPR juga menyatakann akan memanggil Kemendikbudristek untuk meminta penjelasan draf RUU tersebut dalam waktu dekat. Sementara dari kalangan Muhammadiyah juga menyangkan isi draf UU Sisdiknas terbaru dan khawatir dengan hilangnya kata madrasah.

Namun Kemendikbudristek mencoba melakukan klarifikasi terhadap kegaduhan ini. Kepala BSKAP (Badan Standar Kurikulum Asesmen Pendidikan) Anindito Aditomo menyatakan memang tidak dicantumkan lagi kata madrasah lewat pasal draf RUU Sisdiknas.

Ia katakan kata madrasah dan satuan pendidikan dasar lainnya dicantumkan di bagian  bawah bagian penjelesan. Hal ini dilakukan menurut Anindito agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat di tingkat UU sehingga lebih fleksibel dan dinamis.

Untuk memahami polemik hilangnya kata madrasah dari UU Sisdiknas terbaru, tentunya harus dilakukan analisa sehingga masyarakat tercerahkan dan bisa memberikan sikap ataupun tanggapan kepada pemerintah khususnya Kemendikbudristek, sebagai wujud masyarakat peduli dan tetap mengawal jalannya pemerintahan agar tidak merusak generasi masa depan yang lebih mengerikan lagi.

Pertama, alasan penghilangan kata madrasah dalam draf RUU Sisdiknas terbaru patut dipertanyakan. Sebelumnya, pada draf UU Sisdiknas 2003, kata madrasah dituliskan dengan  jelas sebagai jenjang pendidikan setara dengan SD, SMP, dan SMA. Jika dalam draft terbaru hilang, lalu diklarifikasi akan dituliskan dalam penjelasan, bukankah ini artinya ada unsur kesengajaan menghilangkannya sebelum ada yang protes dan keberatan? Ibarat tes awal, menunggu respon masyarakat, dengan hilangnya kata madrasah. Lalu muncul lagi pernyataan masih dalam tahap penyusunan dan menerima masukan dari berbagai pihak.

Kebiasaan pejabat negeri di rezim ini hampir memiliki kesamaan, yaitu tes the water menunggu respon, lalu klarifikasi, dan akhirnyaa direvisi. Bukankah sudah sering terjadi? Mulai dari UU Cilaka, RUU TPKS, dan RUU Karantina. Semuanya bisa dikatakan syarat dengan polemik dan menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Namun, meski sudah pada tahap revisi, fakta RUU sebelumnya yang sudah jadi UU kini, tidak ada perubahan dalam makna, dan tujuan. Tetap saja, apa yang diinginkan pemangku pembuat kebijakan itulah yang akan disahkan.

Draf RUU Sisdiknas inipun bisa jadi bernasib demikian. Artinya, kelak saat revisi kata madrasah tetap tidak dituliskan atau kalaupun ada, dengan posisi yang mereka inginkan. Contohnya, mengeluarkan madrasah dari pendanaan negara atau menjadikan madrasah berganti nama sama dengan sekolah umum. Bukankah hal itu sudah terjadi dengan pergantian gelar di dunia pendidikan Islam di jenjang PT?

Seharusnya alumnus PTAI dari beberapa fakultas menyandang gelar khas dengan kata Islam dibelakangnya. Seperti SPdI (Sarjana pendidikan Islam), SEI (Sarjana Ekonomi Islam), S.Sos,I (sarjana Sosial Islam), SHI (Sarjana hukum Islam). Kini, kata Islam itu sudah hilang dan tidak lagi berbeda dengan sarjana-sarjana lainnya yang bukan dari PTAI. Hingga khas dan keunikan PTAI tidak terlihat. Bukan soal gelar dalam secarik ijazah, namun soal lain yang jawabannya adalah menyamakan semuanya hingga Islam tidak menonjol.

Madrasah nantinya juga boleh jadi akan berganti nama dengan istilah yang tidak berbau-bau Islam atau Arab. Dan itulah yang dianggap moderat serta menusantara. Atau memang penghilangan itu pelan-pelan untuk memukul madrasah agar tidak diakui secara legalitas lagi. Sehingga masyarakat pasca sahnya RUU ini enggan menyekolahkan anaknya ke madrasah atau sekolah berbasis keilmuwan Islam.

Kedua, akar masalah utamanya adalah sistem pendidikan yang dinaungi oleh sekulerisme yang kini sedang digadang-gadang menanamkan moderasi beragama di kalangan generasi pelajar. Sehingga dalam dunia pendidikan, dirasa sangat penting untuk melakukan revisi UU Sisdiknas yang nantinya sejalan dengan program sekulerisme yang lebih sempurna lagi demi menyahuti globalisasi.

Dalam draf RUU Sisdiknas terbaru pasal 32 disebutkan bahwa ”Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan pelajar menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi landasaan untuk menjadikan ilmu agama atau peranan lain yang memerlukan penguasaan agama,”.

Jika membaca kalimat tersebut sungguh membingungkan. Ada istilah peranan lain yang tidak dijelaskan maksudnya. Dan pendidikan keagamaan dikatakan sebagai persiapan pelajar menguasai pengetahuan agama, keterampilan dan sikap. Tidak ada ketegasan dalam pasal tersebut tentang pendidikan keagamaan yang dimaksud, dan tujuannya bukan untuk menjadikan generasi bertaqwa dan beriman. Tetapi sudah disamakan dengan lainnya. Istilah-istilah yang sebelumnya ada kata taqwa, beriman, kelihatannya sudah tidak digunakan lagi. Apakah ini maksudnya agar merangkul  tujuan keagamaan semua agama yang ada di negeri ini? Hanya mereka yang tahu jawabannya. Bukankah ini juga berarti menyamakan semua agama? Alias moderat?

Boleh jadi, penghilangan kata madrasah juga dianggap sejalan dengan kurikulum merdeka yang dicanangkan oleh Kemendikbbudristek yang juga disebut dengan prototype kurikulum, dan semakin mengarah kepada skill semata. Pencanangan kurikulum multitalenta kepada siswa diharapkan mampu menjadikan pelajar memiliki keterampilan ataupun talenta-talenta untuk menghadapi masa depan di era modernisasi hari ini.

Jika pedidikan nasional modelnya seperti yang diinginkan oleh Kemendikbudristek sekarang, bukankah generasi-generasi bangsa ini kelak akan lebih mengejar duniawi dan meninggalkan agama mereka? Sementara agama adalah kebutuhan dasar hidup manusia apalagi umat Islam demi keselamatan di dunia dan akhirat.

Sungguh sangat berbeda memang dengan pengaturan pendidikan dalam Islam. Dalam Islam, tentu saja penyebutan jenjang pendidikan dibutuhkan dan ditetapkan  dalam administrasi negara sebagai bukti pengakuan tertulis.

Selain itu, negara juga wajib hadir untuk mengelola pendidikan dalam persoalan dana dan memantau kurikulum sekolah-sekolah swasta agar tidak bertentangan dengan kurikulum negara. Bukan dibiarkan lalu tidak diakui. Melainkan dipantau dan diingatkan agar sekolah tersebut berada dalam koridor yang ditetapkan negara.

Islam juga tidak mengenal dikotomi pendidikan seperti yang terjadi di negeri ini. Ada pendidikan umum yang dikenal dengan sebutan SD-PT, lalu ada pendidikan agama dengan nama madrasah. Istilah madrasah sendiri artinya adalah tempat belajar. Kalau di Indonesia disebut sekolah. Hanya saja, istilah madrasah berbau bahasa arab sehingga kelihatannya kurang disukai. Apalagi penyakit islampobhia di negeri ini makin menjadi-jadi.

Sebelumnya, di Nusantara ini juga hanya ada istilah madrasah dan kutab. Lalu saat Belanda masuk membawa ide-ide Barat, istilah school (sekolah) kemudian dikenal di Nusantara. Secara historis, kata madrasah lebih dahulu hadir dibandingkan kata sekolah. Jika madrasah dihilangkan, juga menjadi ajang pengaburan sejarah pendidikan Islam di Indonesia.

Polemik-polemik seperti ini akan terus muncul jika tidak ada keberanian dari semua kalangan untuk mengawal, mengkritisi serta menekan pembuat kebijakan. RUU-RUU baru akan bermunculan yang sifatnya juga pasti akan kontroversial.

Inilah bukti, jika pengelolaan dan pegurusan hajat hidup rakyat seperti pendidikan tidak diserahkan kepada ahlinya. Namun dipangku oleh mereka yang hanya memikirkan nama, pasar, dan jauh dari edukasi agama secara sempurna. Agama dalam dunia pendidikan dianggap hanya sebagai penambah cita rasa yang kalau perlu silahkan dalami, kalau tidak ada hubungannya dengan masa depannya silahkan abai.

Seharusnya, menyusun draf RUU Sisdiknas harus menuju kemajuan bukan kemunduran. Tentu cermin kemajuan itu adalah peradaban agung nan mulia di bawah syariat Islam. Karena jelas sudah terbukti mampu melahirkan pendidikan yang mencetak output tidak hanya ahli dibidangnya, namun faqih dalam agamanya. Sebab tidak ada dikotomi. Wallahu a’lam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.