Hutan mangrove di Sumut kian kritis. Hanya tersisa 50 persen.
Pemusnahan hutan mangrove atau hutan bakau terjadi akibat alih fungsi ke perkebunan sawit oleh perusahaan-perusahaan kapitalis dan illegal loging.
Berbagai undang-undang (UU) pun dinilai tak mempan menghempang pemusnahan mangrove. UU terkait hutan mangrove yakni UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Birokrat dan pengusaha yang ditengarai “main mata” menyebabkan pemusnahan hutan mangrove mulus.
Lantas berapa persenkah sisa hutan mangrove di Mandailing Natal di tengah gencarnya pembukaan lahan sawit di Pantai Barat Mandailing Natal? Perlu dilakukan pendataan.
Pemkab Mandailing Natal harus menyeriusi kian kritisnya hutan mangrove. Sikap serius menyelamatkan mangrove di Pantai Barat Kabupaten Mandailing Natal mutlak ditegakkan sebelum semuanya terlambat.
Sebelum Walhi dan Greenpeace turun tangan.
Berikut artikel Reza Perdana di media Trubus edisi 11/2/2019 menggambarkan kondisi mangrove di Sumut :
Ahli hutan mangrove dari Universitas Sumatera Utara (USU), Onrizal mengatakan, kondisi hutan mangrove di kawasan Sumut semakin kritis. Setiap tahun, luas lahan mengalami defisit atau berkurang akibat kerusakan yang disebabkan penebangan liar (ilegal logging) dan alih fungsi atau konversi.
Diungkapkannya, secara umum kondisinya memang semakin memprihatinkan. Meskipun ada upaya rehabilitasi atau perbaikan terhadap hutan mangrove, tapi tidak mengurangi jumlah kerusakan yang terjadi.
“Nah, laju kerusakannya lebih besar dibanding upaya perbaikan terhadap hutan mangrove saat ini,” katanya, Senin (11/2).
Onrizal menyebut, dari riset yang dilakukannya pada 2018 dibandingkan dengan beberapa tahun silam, ternyata keberadaan atau lahan hutan bakau di Sumut hanya tersisa sekitar 50 persen. Trennya terus mengalami penurunan walau ada perbaikan.
Kerusakan hutan mangrove yang terjadi, diakibatkan penebangan liar dan pengalihan lahan menjadi tambak ataupun perkebunan kelapa sawit. Dari data penelitian, pada 2002 hingga sekarang paling banyak kerusakan akibat pengalihan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Bahkan, sejumlah lahan hutan bakau yang dirubah menjadi tambak kini beralih fungsi ke perkebunan kelapa sawit,” sebutnya.
Onrizal, yang lulus dari Fakultas Kehutanan IPB pada 1997 silam, banyak meneliti mangrove di berbagai lokasi. Diterangkannya, kawasan pesisir timur Sumut, termasuk Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) hampir merata kerusakan lahan hutan mangrove yang beralih fungsi.
Dampak yang ditimbulkan dari berkurangnya lahan hutan mangrove adalah banjir rob. Kemudian, berkurangnya populasi ikan dan udang atau biota perairan. Sebab, hutan mangrove menjadi tempat kehidupan mereka.
Meengenai bagaimana kondisi hutan mangrove di Medan, Onrizal menyatakan tidak jauh berbeda secara umum. Lahan hutan tersebut yang sebagian besar berada di kawasan Medan Utara (Sicanang, Belawan) telah dikonversi.
“Hutan mangrove banyak berada di luar kawasan perhutanan, namun fungsinya bukan berdasarkan apakah di luar atau di dalam. Fungsi keberadaan itu mampu membawa dampak positif,” terangnya.
Onrizal menuturkan, keberadaan hutan mangrove mampu mengantisipasi bencana alam baik lokal maupun pemanasan global atau perubahan iklim. Dari hasil riset, keberadaan lahan mangrove mampu menyimpan karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) jauh lebih besar dibandingkan hutan daratan umumnya.
“Rata-rata perbandingan karbon yang disimpan di dalam tanah bisa 5 kali lipat,” tuturnya.
Onrizal menegaskan, kalau lahan mangrove dialihfungsikan, maka tentu melepaskan karbon dan metana atau gas rumah kaca ke udara. Makanya, keberadaan hutan mangrove harus terus ditingkatkan jumlahnya.
“Supaya untuk mengantisipasi pemanasan global,” tegasnya.
Sumber : Trubus.id /NN/Thomas Aquinus