Cerpen: Rina Youlida Nurdina
Masa sekolah Rasyid di SMA akan berakhir sebentar lagi. Enam bulan lagi ia akan menghadapi ujian akhir sekolah, yang kemudian melanjutkan perkuliahan ke perguruan tinggi favoritnya. Rasanya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi ternama dan termahal pun tidak menjadi masalah baginya dari sisi dana, karena ayah Rasyid adalah pengusaha sukses.
Orang mengenal Rasyid dan ayahnya sebagai keluarga toke sawit, yang konon penghasilannya perminggu mampu menghidupi masyarakat se-RW untuk sebulan. Bisalah dibayangkan luasnya kebun sawit milik keluarga ini hingga pantas diberi julukan Toke. Sebagai toke, tentu namanya cukup mashyur di desa sampai bahkan ke desa lainnya, karena pekerja di kebun dan usahanya banyak pula dari warga kampung sebelah yang dijadikan sebagai tenaga kerja di perkebunan sawitnya.
Sebagai toke dengan penghasilan tinggi, ayahnya Rasyid sering diberi nama yang mengikuti statusnya yakni “Jakayo” (orang yang kaya). Tentu ini disematkan oleh warga sebagai penghargaan, disamping namanya pemberian dari kakek Rasyid pada ayahnya. Abdullah nama aslinya. Soal harta yang banyak, ternyata Jakayo juga sangat dermawan dan masalah hati dia termasuk lembut dan rendah hati. Mungkin karena itu warga menamainya dengan Jakayo. Sikapnya mungkin saja terbentuk karena ia berasal dari keluarga yang sangat sederhana dulunya.
Hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan bahkan harus putus sekolah saat masih di bangku sekolah SD kelas 4 merupakan bagian dari pengalamnnya yang pahit, karena tidak mampunya kakek Rasyid membiaya Abdullah kecil. Kehidupan masa kecil Jakayo yang sangat rapuh dan berat, membuatnya terbiasa bekerja keras demi memenuhi kebutuhan dan membantu kedua orangtuanya. Pengalaman perihnya hidup masa kecil dan remajanya, menjadi motivasi Jakayo untuk bekerja keras hingga anak dan keturannanya tidak menghadapi hal yang sama. Berharap besar pada anak-anaknya nanti bisa sekolah yang tinggi dan bisa menjadi orang sukses dan hebat setelah dewasa.
Usai Isya, seperti biasanya, Jakayo bersantai di teras rumah. Rasyid berdiri pula bersandar pada tiang rumah yang megah terbuat dari bahan granit berwarna coklat keemasan. Mereke menikmati sejuknya angin malam yang berhembus lembut. Rasyid sambil pula menikmati sebongkah coklat batangan bermerek Silverqween yang dibeli ibunya di minimarket saat belanja kebutuhan dapur di sorenya.
Jakayo menyapa putra sulungnya seketika melihat Rasyid melahap Silverqween yang ada di tangannya, sekaligus mengingatkan kehkawatirannya pada sang anak.
“Jangan lupa ya……, sebelum tidur kamu harus sikat gigi. Sisa coklat di sela gigi, bisa merusak gigimu”.
“Hmmmm….iya ayah, nanti aku pasti sikat gigi”.
“Sepertinya kita tidak akan lama lagi bisa nyantai bareng di teras ini, saatnya sudah kamu akan menamatkan sekolahmu di SMA. Kira-kira kamu mau lanjutkan sekolah kemana ya?. Bukan kepo, tapi ayah juga pengen tau cita-cita kamu apa. Boleh kan kalau ayah ikut mikir-mikir sekolah yang cocok untuk kamu nanti. Kalo ayah sih maunya kamu jadi dokter, tapi ibumu malah inginnya kamu jadi arsitek. Kalau kamu nanti jadi dokter, kan bisa mengabdi di desa ini apalagi rumah sakit di sini masih kekurangan tenaga dokter apalagi yang spesialis, biar pasien yang dalam kondisi gawat, sudah tidak semua lagi akan di rujuk ke kota.”
Entah apa ide yang ada di kepala Rasyid, dengan santai dia bukan menjawab tentang sekolah, tapi menjawab “Ayah…., aku mau jadi kepalaa desa!”
Jakayo seketika terdiam dan memandangi wajah putra tampannya itu, mungkin dalam otaknya berujar “Setan apa yang merasukimu nak”. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengarkan. Ia berekspektasi tinggi pada putra sulungnya itu apalagi Rasyid adalah anak yang cerdas dan berperawakan tampan dengan tubuh tinggi semampai bak bintang iklan di televisi.
Sambil berusaha mengendalikan diri menghilangkan kegaduhan pikirannya Jakayo pun menyelak. “Ada-ada saja kamu, Nak. Masa iya mau jadi kepala desa sih…?! Apa hebatnya menjadi seorang kepala desa. Tidak ada karir dan ilmu yang menuntun hidup di situ. Kalo bercita-cita itu ya ……. harus tinggi la nak, setidaknya cita-cita yang terdengar lebih keren dikitlah. Kamu ini ……. kalau bercanda jangan terlalu garing gitu dong nak!” jawab ayah dengan nada sedikit mengolok anaknya, karena yakin anaknya hanya bercanda dengan kondisi saat ini proses pilkades sedang seru-serunya dibincangkan.
“Tapi aku memang ingin menjadi seorang kepala desa Yah!”
“Hhhmmmmm…, baiklah, kamu pikir-pikir saja dulu baik-baik. Ayah rasa kamu sedang berkelakar dan sekedar menjawab saja tadi”.
Dalam keraguan, sang ayah mencoba mengulur waktu untuk memastikan keseriusan anaknya dengan melanjutkan penuh harap berubah.
“Ayah akan tanyakan kamu soal cita-cita kamu dua minggu lagi”.
“Ayah sudah siapkan kebutuhan meskipun banyak keperluan sekolahmu, jadi ayah harap kamu bisa memilih cita-cita yang lebih baik lagi nak.”
Menepuk kembali pundak putranya dengan lembut, Jakayo berlalu masuk ke rumah dan meninggalkan Rasyid sendiri.
Dua minggu berlalu, sang ayah yang galau dan penasaran dengan jawaban Rasyid sebelumnya, mencegat Rasyid saat tiba di rumah dari sekolahnya, berikut ibu yang dapat kabar dari ayah, juga merasa kurang nyaman tentang jawaban sang buah hati. Seolah tak sabar mendengar keseriusan jawaban Rasyid soal cita-citanya, ibu memulai pembicaraan.
“Rasyid sayangku, apa cita-citamu nak?”
“Ayah, ibu,.. aku tetap ingin menjadi kepala desa!” gelegar mulut kecil Rasyid mengguncang telinga kedua orangtuanya. Kukuh sudah cita-cita itu ternyata.
“Serius lah, nak….. sepertinya jadi kepala desa itu tidak ada senangnya lo, malah banyak dapat umpatan dari masyarakat, coba pikir baik-baik lagi….Ini tentang masa depanmu nak.”
“Iya, bu. Aku ingin jadi kepala desa yang nanti akan berbeda dengan yang lainnya. Aku akan berbuat yang terbaik untuk desa kita.”
“Hmmm… sekarang memang zamannya sudah berbeda. Dulu, minat untuk menjadi seorang kepala desa itu sangat minim. Terkadang jabatan kepala desa itu bisa sampai puluhan tahun bahkan mulai ia diangkat jadi kepala desa hingga akhir hayatnya tetap sebagai kepala desa karena tidak adanya minat masyarakat untuk menjadi kepala desa. Maklum saja, gaji menjadi kepala desa itu tidak membuat kehidupannya dan keluarganya menjadi makmur jika tidak ada usaha sampingan keluarganya, hanya urusan warga saja yang banyak. Berbeda dengan sekarang ini, yang tua, muda, kaya dan miskin, berpendidikan ataupun tidak semua berlomba untuk ikut mencalonkan diri saat ada pemilihan kepala desa karena pemerintah telah menyalurkan kucuran dana yang cukup banyak untuk tiap desa demi pembangunan dan kemajuan desa.”
“Taunya ibu….., paten kan, bu. Karena itu aku ingin menjadi kepala desa masa kini, bu”.
“Ahh…. terserah mu saja lah, nak, kalau begitu!”
Kesal mendengar jawaban Rasyid, ibu pergi meninggalkannya berdua dengan ayahnya yang sedari tadi hanya mendengar penjelasan istrinya.
Jakayo tidak kehabisan ide. Ia mencari cara bagaimana agar ada ruang dalam pikiran putranya untuk diisi dengan pemikiran yang lainnya agar keinginan Rasyid bisa dialihkan.
“Kalau hanya mau jadi kepala desa, ayah tidak perlu menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, toh cukup dengan ijazah SLTP saja kamu bisa ikut mencalon, hanya saja umur kamu minimal harus 25 tahun dulu. Jadi, sebelum itu, kamu dengarkan saja dulu nasehat ayah dan ibumu untuk mencari pengalaman di bangku perkuliahan dan memperluas wawasan agar saat menjadi kepala desa nanti, kamu akan siap dan dapat bekerja dengan baik. Jadi, ayah akan kasih kamu waktu dua minggu lagi untuk memikirkan apakah mau kuliah dimana dan memilih jurusan apa”.
Minggu-minggu pun berlalu. Waktu ujian akhir sekolah semakin dekat. Bimbingan demi bimbingan sudah dilaksanakan di sekolah untuk para siswa agar siap mengikuti ujian akhir. Beberapa mahasiswa dari universitas berbeda silih berganti datang ke sekolah Rasyid untuk mempromosikan kampusnya masing-masing. Beberapa siswa telah menetapkan pilihannya untuk melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi yang mereka minati, namun tidak dengan Rasyid. Ia masih saja santai tanpa ada beban pikiran untuk memilih sekolah lanjutan paforitnya.
Sampai dirumah, sepulang sekolah ayah memanggil lagi Rasyid untuk menanyakan kembali perihal sekolahnya.
“Sudahkah kamu putuskan kamu mau kuliah dimana nak? Sebelum mencapai usia 25 tahun, jika kamu serius dan bersungguh-sungguh, kamu masih bisa lho meraih gelar S1 atau bahkan S2 karena kamu masih 18 tahun saat ini. Jadi kamu mau pilih kuliah di mana jadinya, nak?”,
Jakayo bertanya dengan penuh harap.
“Ayah, kan sudah bilang jadi kepala desa cukup dengan ijazah SLTP saja, jadi aku gak perlu untuk menghabiskan waktu belajar lebih tinggi lagi kan, Yah. Aku tau ayah punya banyak uang, kayaknya untuk membeli pesawat aku yakin ayah pasti sanggup”, katanya sambil senyum-senyum.
“Jadi, sebelum aku mencapai usia 25 tahun, sebelum mencalon kepala desa, begitu tamat dari SMA bagaimana jika ayah beri aku modal saja. Nanti saya belikan becak mesin dan akan aku modifikasi agar berbeda dengan becak-becak lainnya di desa ini, pasti nanti becakku akan jadi favorit dan aku bisa menghasilkan banyak uang dengan itu”.
Terkejut mendengar jawaban anaknya itu, sontak mata Jakayo langsung melotot. Ia langsung menuju pohon rambutan yang ada di halaman rumah dan memanjatnya. Penuh dengan rasa emosi Jakayo menggoyang dahan rimbun pohon rambutan hingga daun-daun bertebaran rontok dari tiap ranting-rantingnya. Jakayo berteriak dengan keras, “ Rasyiiiiiiiiiiiiiiiid….”.
Sadar bahwa ayahnya telah mengamuk dengan hebat, Rasyid pun langsung pasang kuda-kuda untuk lari meninggalkan ayahnya karena tahu pasti ayah akan segera turun dan mengejarnya dengan sebongkah kayu di tangannya yang ia dapatkan dari batang pohon rambutan itu.
Namun bukan Rasyid namanya kalau belum membuat ayahnya makin marah. Sambil mengambil ancang-ancang untuk lari, Rasyid masih sempat menjawab setengah teriak pada ayahnya yang masih berada di atas pohon rambutan.
“Pokoknya aku tetap mau jadi kepala desa! Jadi aku gak perlu sekolah yang tinggi. Aku gak mau kuliah, Ayaaah. Karena itu hanya menghabis-habiskan waktuku saja. Toh, jadi kepala desa itu gak perlu pintar- pintar amat kok, yang penting pandai-pandai saja ke atas. Tujuan bidup itu yang utama kan supaya hidup makmur. Nah, jadi kepala desa juga bisa makmur kan! Kalau masalah warga, siapapun kepala desanya, dari dulu kehidupan warganya begitu-begitu saja, paling ada sedikit pembangunan kecil supaya warga percaya kalo kadesnya sudah berbuat untuk desanya. Jadi, aku gak mau repot-repot belajar, pokoknya aku mau jadi kepala desaaaa!”
Rasyid pun berlari secepat mungkin untuk menghindari kejaran ayah dan menghilang di balik salah satu gang sempit di depan rumah Jakayo. Jakayo yang masih berada di atas pohon rambutan meremas kuat sebongkah ranting besar yang digenggamnya untuk menghajar Rasyid.
“Awas kau, Amang! Pasti pulang juga kau nanti apalagi kalau kau sudah lapar dan gak punya uang di tangan, mau kemana kau pergi kalau tidak ke rumah ini”, gumam Jakayo dalam hati dengan rasa emosi yang dikumpul untuk diluapkan nanti saat Rasyid pulang ke rumah.
Usai mandi menunggu ibadah magrib, Jakayo merenung juga kata-kata anaknya sambil bergumam dalam hati, “Iya juga anakku bilang, sepertinya desa ini tak lah berubah banyak dengan uang milyaran pertahun, betul kalipun kalo jadi kades yang penting patuh ke atas, dipatuhi apa yang mereka paksakan, tak penting berpikir banyak, tahun kedua dah rata-rata punya mobil. Ooooo … sudahlah… betul biar saja anakkku bodoh, toh aku juga ga pintar-pintar amat. Emang gua pikirin”, gumamnya.
Tanpa sadar dia teriak “Rasyiiiiidddddd…..kau harus jadi kades akan kusogok orang kampung kita, biar kita jadi orang terhormat antar kampung”.
Rina Youlida Nurdina adalah cerpenis / tinggal di Panyabungan, Mandailing Natal / guru Bahasa Indonesia