Catatan : Askolani Nasution
Budayawan/Sutradara
Ketika Musyawarah Desa, pendamping desa duduk diam di depan, membiarkan masyarakat bertikai soal bangunan yang urgen dan tidak urgen.
Karena banyak pendamping desa yang tidak memadai kapabilitasnya untuk memberi solusi, mana program desa yang berdampak langsung bagi peningkatan kesejahteraan bersama, mana yang tidak.
Karena masyarakat juga tidak cukup kreatif untuk mengusulkan program pengembangan masyarakat yang sungguh-sungguh signifikan dengan peningkatan ekonomi bersama. Tentu saja tidak kreatif, karena kelas menengahnya malas menghadiri rapat begituan. Karena bikin darah naik saja. Termasuk saya.
Dalam kondisi rapat deadlock, harusnya pendamping desa berpendapat, membuka pemikiran kreatif. Tapi rata-rata pendamping desa tidak memiliki kecakapan itu. Tentu tidak semua, tapi kebanyakan begitu.
Ada pendamping desa yang melihat orang ramai saja gemetaran, konon lagi mau ngomong. Ada yang mengaku tidak sesuai jurusannya. Tidak sesuai mengapa jadi pendamping? Akhirnya, ujung-ujungnya semua program jatuh ke fisik. Dengan dana yang nauzubillahi min zalik.
Padahal, ketika musyawarah desa rampung, pendamping desa ini yang idealnya merumuskan kegiatan itu dalam bentuk “fix”, termasuk rincian dana dan bahan. Tetapi karena dia tak paham jabaran program, dan tidak menguasai teknis, maka diserahkanlah kepada pendamping kecamatan untuk membuat teknisnya. Tentu saja desa harus membayar jasa tambahan itu. Dan hasilnya aneh-aneh. Dek jalan misalnya, hanya dihitung sebelah, sebelah lain lupa. Kepala desanya bingung.
Ada dek jalan yang ketebalannya nauzubillahi minzalik di RAB. Macam-macam. Sehingga terjadilah pengerasan jalan sepanjang 350 meter misalnya, dananya sampai 550 juta. Padahal dengan dana sebesar itu, harusnya bukan lagi pengerasan jalan, tetapi hotmix. Bayangkan untuk gapura desa bisa ratusan juta. MCK bisa ratusan. Pos Kamling bisa puluhan juta, dll. Yang salah siapa? Pendamping Kecamatan! Karena mereka yang membuat RAB-nya. Dan kepala desa sangat tahu untuk pihak kecamatan. Pembagian SHU. Agar DD mereka lempang.
Makin focus ke fisik, keuntungan makin besar. Karena pasir dan semen, misalnya, satuan harganya berdasarkan satuan harga kabupaten. Angka itu jauh di atas harga ril pasar di toko bangunan. Jadi ketika bangunan selesai, masih ada stok semen dan pasir di toko bangunan. Bisa puluhan zak semen, bahkan ratusan. Setelah kuitansi dibuat, bahan-bahan itu diganti dengan uang sesuai harganya. Itu menjadi keuntungan bagi kepala desa.
Belum lagi jumlah pekerja yang dilebihkan, tentu sambil memasukan nama-nama fiktif. Belum lagi jumlah upah yang jauh selisihnya antara upah ril desa dengan upah yang ditetapkan berdasarkan UMR kabupaten.
Tukang-tukang itu tidak peduli. Karena protes berarti tidak dipakai lagi dalam tahun berikutnya. Itu artinya ancaman sumber mata pencaharian bagi buruh-buruh miskin itu. Begitu setiap tahun.
Tentu saja, semua sudah diprediksi biaya publikasi untuk pers. Karena itu kepala desa “jarang di rumah suka pergi” (JARUM SUPER). Pagi-pagi mereka keluar rumah, makan di luar, pulang tengah malam. Mereka kumpul beberapa orang, lalu jalan ke mana-mana.
Berapa sebenarnya keuntungan dana desa setiap tahun? Bisa 10, minimal 8 persen. Namanya juga proyek! Itu angka yang mudah diperoleh. Makin “cakap” kepala desanya, makin banyak SHU.
Makanya, kepala desa yang tidak tahan pegang duit, segera beli mobil, dll. Biar tidak ketara, lalu di simpan di tempat lain. Atau membeli asset-aset lain di luar kampung. Itu biasa. Kesempatan tidak selalu datang dua kali. Tentu tetap ada kepala desa yang di jalur lurus. Mungkin di kampung Anda.
Jadi, jangan heran, bertahun-tahun ada DD, tetapi masyarakat tetap miskin. Dan siapa peduli, karena semua dapat bagian SHU. Para bandit, cukong, mereka yang punya stempel, bla…bla…bla. Kita tahulah itu! Semua khusuk berjamaah. (bersambung)
Askolani Nasution adalah budayawan dan sutradara