Artikel

Kekerasan Verbal pada Anak

Oleh : Ummi Zaimah
Mahasiswa S2 Jurusan Pendidikan Biologi, Unimed

 

Kekerasan pada anak sering kita lihat terjadi di media sosial atau bahkan sering terjadi di sekitar kita. Orang tua, kerabat, dan keluarga yang seharusnya mengasuh, melindungi dan memberikan kasih sayang kepada anak justru menjadi penyebab utama yang menyebabkan terjadinya kekerasan.

Kekerasan pada anak di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat. Apalagi di masa pendemi tahun 2020 ini angka kekerasan pada anak belum menunjukkan penurunan. “Berdasarkan data SIMFONI PPA, mulai dari 1 Januari-19 Juni 2020 sebanyak 3.087 kasus kekerasan telah terjadi pada anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual yang termasuk dalam kategori tinggi” (www.kemenpppa.go.id).

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerekaan dengan cara melawan hukum.  Salah satu jenis kekerasan terhadap anak menurut Kantor Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) adalah kekerasan emosional yang mencakup kekerasan berupa kata-kata yang menakut-nakuti, mengancam, menghina, mencaci dan memaki dengan kasar dan keras.

Kekerasan emosional atau verbal kerap kali terjadi pada anak karena seringnya interaksi antara anak dan keluarga di rumah dalam waktu yang lama. Apalagi pada saat pandemi Covid-19 yang mengharuskan anak harus Belajar Dari Rumah (BDR) atau Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) untuk memutus mata rantai Covid-19 dengan tetap berupaya memenuhi layanan pendidikan. Dalam hal ini, orang tua mempunyai andil yang sangat besar dalam proses pembelajaran anak di rumah karena orang tua harus menggantikan sebagian dari peran guru dari proses pembelajaran ini.

Guru hanya bertugas untuk membimbing dan menyampaikan materi maupun tugas via daring selama proses pembelajaran jarak jauh, setelah itu yang mengambil alih tugas selanjutnya untuk membimbing, mendampingi, dan memfasilitasi anak adalah orang tua. Orang tua juga harus mengetahui jadwal pembelajaran anak agar anaknya tidak ketinggalan pelajaran. Selain itu, orang tua juga harus memberikan motivasi agar anak tetap semangat mengikuti pembelajaran.

Tanpa disadari orang tua, sering kali untuk mengingatkan anaknya belajar, orang tua harus memarahi dan membentak anaknya dengan mengeluarkan suara yang keras. Anak terkadang dihina, dimaki, dan juga dibanding-bandingkan dengan temannya yang lain. Memang pada dasarnya niatan orang tua ini baik, tetapi karena cara penyampaiannya yang tidak tepat, secara tidak sadar dapat membahayakan perkembangan emosional anak yang menyebabkan mental anak menjadi terganggu.

Kekerasan verbal juga dapat terjadi pada saat orang tua merasa kesal atau mengalami masalah keluarga sehingga yang menjadi sasaran utama untuk melampiaskan kemarahan adalah anak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Munawati (2011) kekerasan verbal pada anak  juga dapat terjadi dari dalam diri orang tua tersebut.

Orang tua mempunyai karakter yang keras sehingga dengan mudah melakukan kekerasan verbal pada anak. Karakter orang tua tersebut merupakan bentukan dari hasil didikan dan bimbingan dari orang tua sebelumnya. Sehingga anak yang mendapat perlakuan kejam tersebut akan menjadi kejam dan agresif setelah kemudian menjadi orang tua. Ini terjadi karena semua tindakan yang dilakukan pada anak di rekam dalam alam bawah sadar mereka sampai mereka tumbuh dewasa karena sejatinya anak-anak adalah peniru yang ulung dari orang tuanya.

Pada umumnya orang tua hanya menganggap bahwa kekerasan yang terjadi pada anak itu hanya berupa kekerasan fisik atau seksual saja, tetapi verbal atau emosional tidak termasuk kepada kekerasan. Padahal dampak dari kekerasan verbal ini jauh lebih berbahaya di bandingkan dengan kekerasan fisik. Kenapa? karena kekerasan verbal ini tidak mudah di sadari oleh kita. Hal ini pulalah yang membuat kita (sebagai pelaku) untuk terus mengulanginya. Memang secara langsung luka yang ditimbulkan oleh kekerasan verbal ini tidak terlihat namun akan berdampak sangat besar terhadap tumbuh kembang anak.

Secara psikologis anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang penuh dengan kecemasan, pesimis, tidak percaya diri, sehingga menganggap dirinya tidak berharga, atau bisa saja malah sebaliknya menjadi anak yang mempunyai sifat yang agresif sehingga untuk menyalurkannya dia akan berbuat kekerasan kepada orang lain, suka memberontak, tidak patuh pada aturan, sering berbohong, tidak ada sikap simpati atau empati kepada orang lain yang menyebabkannya mempunyai perilaku yang menyimpang di masa depannya.

Secara tidak sadar, apabila perasaan terluka itu sering di ulang-ulang oleh orang tua kepada anak, akan berdampak pada tumpulnya rasa untuk membedakan antara yang baik maupun yang buruk dalam tatanan kehidupan. Secara tidak langsung juga kekerasan verbal ini dapat membangun sikap anak menjadi anti sosial sehingga untuk mempertimbangkan baik atau buruknya suatu peristiwa menyebabkan rasa kemanusiaannya berkurang atau bahkan hilang.

Dampak lain yang menunjukkan bahwa kekerasan verbal pada anak dapat merusak perkembangan otak dan merusak bagian dari system saraf sepanjang hidupnya.

Otak yang seharusnya dapat berkembang dengan baik sekarang tidak dapat lagi berkembang bahkan sudah mengalamipengecilan karena terpatahkan oleh kekuatan kekerasan yang merangsangnya. Perlahan pola asuh yang dianggap dapat mendidik anak agar menjadi disiplin dalam keluarga menjadi sia-sia karena sudah terbentuk asumsi negative terhadap diri anak.

Seharusnya keluarga memberikan kehangatan dan kasih sayang yang cukup  kepada anak agar mendukung kembali tumbuh kembang otaknya membentuk jaringan yang berkembang dengan maksimal sehingga menyebabkan akal sehatnya juga dapat berkembang.

Untuk itu ada beberapa tips yang bisa orang tua lakukan di rumah untuk mencegah terjadinya kekerasan verbal pada anak, diantaranya:

  1. Belajar untuk mengelola emosi. Mengelola emosi ini sangat penting dilakukan orang tua mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan yang terjadi pada anak.
  2. Belajar untuk mengalihkan emosi. Mengalihkan emosi ini dapat dilakukan dengan cara pergi menjauh dari anak apabila kita sudah merasakan kalau emosi kita mulai memuncak. Mengalihkan emosi juga dapat dilakukan dengan cara mencari kegiatan baru yang tidak berhubungan dengan anak.
  3. Belajar untuk selalu bersikap positif. Menunjukkan sikap positif ini sangat penting di lakukan kepada anak agar anak merasa aman dan nyaman bersama orang tua. Memberikan contoh yang baik pada anak akan membantu utuk membentuk pola pikir anak menjadi baik yang berguna untuk tumbuh kembangnya di masa depan.
  4. Kuatkan hubungan dengan anak. Perlu dilakukan penguatan hubungan antara orang tua dengan anak agar anak merasa dirinya dibutuhkan dan dihargai. Misalnya dengan memberikan apresiasi atau pujian terhadap pekerjaan yang anak lakukan.
  5. Mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai cara berperilaku kepada anak agar tidak melakukan kembali kekerasan baik yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja, terutama dalam kekerasan verbal. Informasi ini dapat di lihat di media massa seperti buku, koran, dan majalah atau bisa juga melalui media elektronik yang semakin berkembang seperti internet, radio, dan televisi.

Yuk kita stop kekerasan verbal pada anak karena ini adalah cara terbaik untuk melindungi anak-anak untuk tumbuh kembangnya di masa depan. Mari kita isi pengalaman hidupnya dengan pengalaman hebat dan beri dia pelajaran hidup yang berharga untuk masa depannya. Marilah untuk mengerti, memahami, dan mendengarkan masalah hidupnya dan mari kita jaga keharmonisan dengan anak agar anak tumbuh dan berkembang menjadi seseorang yang sangat berguna di masa depannya.***

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.