Pengantar redaksi :
Pada 14 Desember 2018 yang lalu, Dr. Phil. Ichwan Azhari seorang sejarawan, pengajar dan ahli filologi Indonesia mengunjungi candi Siwa di Simangambat, Kecamatan Siabu, Mandailing Natal. Dia ditemani budayawan Mandailing, Askolani Nasution.
Dr. Phil. Ichwan Azhari menyaksikan puing-puing candi yang berserakan, lokasi candi yang terlantar bahkan ditelantarkan.
Mungkin beliau terkejut bahkan satir melihat puing-puing terlantar itu. Bagaimana tidak, candi yang memiliki nilai tinggi sebagai bukti dan fakta-fakta ril peradaban masa lalu Mandailing justru ditelantarkan.
Berikut ungkapan hati Dr. Phil. Ichwan Azhari yang dicopy Mandailing Online dari akun facebook-nya.
Sering saya baca orang orang Mandailing bangga dengan ketuaan sejarah mereka karena naskah kuno Jawa tahun 1364 (Negarakertagama) menyebut keberadaan Mandahiling yang ingin “disapa” Gajah Mada. Kebanggaan orang Mandailing dan juga etnik lain di kawasan Tapanuli bagian Selatan didukung ditemukannya puluhan candi di kawasan itu. Lalu memori ketuaan itu kadang dikontraskan dengan etnik lain yang tidak memiliki peninggalan setua ini.
Tapi apakah mereka, termasuk pemerintah daerahnya, mau merawat peninggalan berbasis keberagaman kuno itu? Jawabnya sama saja, tak dan tak peduli, biarkan hancur, dihancurkan berkeping keping. Saat saya melangkah di reruntuhan candi Hindu Jawa abad 9 di Simangambat pada 14 Desember 2018 yang lalu, sesak dada dan semakin tak suka mendengar jargon pidato para pejabat pusat dan daerah : “bangsa yang besar adalah bangsa yang menjaga warisan sejarahnya”. Lagi-lagi di sini saya harus mafhum negeri ini bukan (belum?) Bangsa yang besar.
Memasuki kompleks candi ini saya disambut kambing kambing yang berlarian karena terganggu oleh kedatangan saya. Patahan patahan candi yang mirip dengan candi Sewu di Jawa berceceran di atas tanah becek. Saya berada disebuah rumah ibadah yang diserang beberapa abad yang lalu oleh sebab yang tidak jelas, dan di tempat yang sama kini saya merasa diserang oleh ketidak pedulian bangsa yang tidak besar ini. Siapa yang peduli mempertahankan benteng peradaban masa lalu yang penting ini? Tak juga orang orang Mandailing yang bangga disebut sebut dalam Negarakrtagama itu?
Dari puing puing candi itu saya mengirim WA ke sahabat saya arkeolog Ery Sudewo yang pada 2009 pernah melakukan eskavasi di sini. Dialah yang mengungkapkan dengan sangat baik kaitan candi Simangambat ini sebagai jejak peradaban Jawa kuno abad 9 di Mandailing, jadi jauh sebelum Negarakertagama mencatatnya. Saya minta kirim foto pahatan yang mirip dengan pigura candi di Jawa. Mas Ery mengirim beberapa foto dan saya cari-cari diantara reruntuhan itu, tapi tak ada. Satu potongan relif candi berukir yang ditemukan Mas Eri ada saya temukan, tapi hidungnya kini sudah dihancurkan. Usai eskavasi 2009 team Balai Arkeologi Medan memunguti dan menyelamatkan berbagai potongan batu itu untuk dititip di kantor camat setempat supaya aman. Tapi malah tidak aman, pecahan itu dihancurkan pakai mesin, berspekulasi ada butiran emas di dalamnya.
Sekelilingnya sudah dibuat pagar oleh BPCB, tapi lahan itu belum dibebaskan pemerintah pusat dan daerah. Saya tanya kira kira berapa harga area seluas ini. Dijawab pemandu saya pak Aslokani, sekitar 60 juta rupiah. Kecillah uang segitu bagi bupati Madina, untuk menyelamatkan satu warisan sejarah penting hubungan Jawa – Mandailing kuno. Atau biarkan dia hancur sebelum sempat diteliti dan dipelajari sebagai sumber inspirasi ? Padahal yang menghebohkan kawasan Mandailing saat ini : emas , emas , dan emas, sudah berlangsung 1200 tahun yang lalu, yang mendorong orang dari berbagai bangsa datang dan menyisakan monumen peradaban di situ. Sampai Gajah Mada pun bersumpah akan mengambil Mandailing.
Apa yang diimpikan Bosch dan Schinitger yang tahun 1920 pertama kali terkejut menemukan jejak peradaban monumental ini? Apa yang dipikirkan Mckinnon, Uli Kozok dan terakhir Daniel Perred saat juga pernah ke sini? Adakah para peneliti luar ini mengharap bakal munculnya satu bangsa (bernama Indonesia) menyelamatkan kompleks situs situs berkelas dunia ini?
Saya hentikan khayal agar tak berkembang. Saat melangkah pulang : saya lihat kambing kambing di balik pagar melirik saya yang telah mengganggu mereka bermain diruntuhan candi itu. “Hai kambing, masuklah lagi, bermain sepuasnya diruntuhan peradaban kuno ini.”
Di halaman dan bawah tangga rumah warga, saya lihat pecahan batu candi berceceran. Tak saya foto batu batu candi yang merupakan teks teks jejak peradaban kuno itu, agar tak makin sesak dada ini. (Ichwan Azhari)