Artikel

Ketika Ibadah Haji Dikapitalisasi, Benarkah Negara Peduli?

Oleh: Mariani Siregar, M.Pd.I
Dosen Pendidikan Islam

Masih rencana! Belum final! Kenapa sudah ramai? Segelintir kalimat yang sering muncul jika ada wacana kebijakan yang sedang dipublikasikan. Memang betul masih rencana dan belum final. Tetapi publikasi kebijakan yang diberitakan tidak mungkin diabaikan oleh masyarakat. Terlebih zaman serba maju dan cepat oleh internet hari ini. Jika tidak ingin dikritik atau dikomentari oleh rakyat, maka jangan buat kebijakan. Atau lebih dasar lagi, jangan jadi pengambil kebijakan alias penguasa.

Apalagi jika wacana kebijakan yang akan diambil menyangkut hak umat. Seperti Bipih (biaya perjalanan haji). Sebagai negara mayoritas Muslim dan bahkan penyumbang jemaah haji terbanyak sedunia, bagaimana mungkin tidak jadi pembicaraan yang ramai?

Itulah yang baru-baru ini menjadi sorotan publik. Wacana ataupun rencana pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kemenag, akan menaikkan anggaran atau biaya Bipih.

Dilansir dari laman kemenag.go.id, menyebutkan bahwa Pemerintah dalam rapat bersama Komisi VIII DPR mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) tahun 2023 sebesar Rp69.193.733. Bipih adalah komponen biaya yang dibayar oleh jemaah haji. Jumlah yang diusulkan tahun ini adalah 70% dari total Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909. Sisanya yang 30% (Rp29.700.175) diambilkan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji.

Menurut Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj, usulan kenaikan biaya haji yang diajukan pemerintah sebagai konsekuensi yang sulit dihindari. Kenaikan itu kata Mustolih, antara lain terjadi pada biaya angkutan udara karena avturnya juga naik, hotel atau pemondokan, transportasi darat, katering, obat-obatan, alat kesehatan, dan sebagainya.

Namun demikian, Mustolih berharap usulan kenaikan biaya haji masih bisa diturunkan dengan melakukan efesiensi menyisir komponen-komponen biaya yang bisa dipangkas tanpa mengurangi dan berdampak pada kualitas pelayanan penyelenggaraan haji.

Tetapi pertanyaannya adalah, apakah masyarakat Muslim di Indonesia terlebih calon Jemaah Haji yang sudah antri untuk berangkat tahun ini sanggup seketika menambah uang sebesar kurang lebih 30 juta? Lalu, di mana kepedulian pemerintah dalam meminimalisir pengeluaran dana untuk ibadah rakyatnya?

Negara sebagai penanggung jawab utama yang langsung berurusan dengan pemerintah Arab Saudi, seharusnya mampu melakukan lobi agar biaya haji dimurahkan. Sebab, berdasarkan berita yang beredar, Arab Saudi sendiri ternyata sedang memberlakukan penurunan biaya haji sebesar 30% untuk calon Jemaah Haji negara setempat.

Kenapa Indonesia tidak bisa melakukan hal yang sama seperti Arab Saudi? Justru lebih cepat mewacanakan kenaikan daripada memikirkan bagaimana caranya agar memudahkan dan memurahkan biaya haji warga Muslim Indonesia. Tahun demi tahun biaya haji terus naik. Dan tidak pernah turun, bukan?

Alasan kenaikan biaya A to Z yang disampaikan oleh Kemenag terlihat adalah komponen biaya dalam negeri. Ini menunjukkan, sebenarnya pemerintah dalam negerilah yang bersyahwat untuk menaikkannya dengan mengkalkulasi kenaikan harga-harga.

Pemerintah jika mau jujur, sebenarnya tidak pernah mengalami kerugian dengan penyelenggaraan haji. Bahkan, negara justru mendapatkan keuntungan hingga triliunan rupiah. Biaya haji telah menjadi pemasukan tersendiri bagi negara ini. Sehingga bisa jadi Kemenag atau yang berhubungan dengan penyelenggaraan haji merasa kurang puas dengan keuntungan selama ini hingga harus berdalih menaikkan lagi BPIH.

Coba dihitung-hitung. Jika satu orang harus menginvestasikan uangnya 25 juta per kepala untuk daftar tunggu sekitar 8 hingga 10 tahun, berapa keuntungan deposit yang diraup oleh negara dari ribuan jamaah haji setiap tahunnya? Bahkan, menurut sebagian masyarakat mengatakan, jika calon jamaah batal berangkat, uang 25 juta sebagai pendaftaran calon Jemaah Haji itu tidak akan dikembalikan. Benarkah? Perlu diperjelas lagi artinya kejujuran pengelolaan dana para calon Jemaah Haji tersebut.

Negara sebagai penanggung jawab utama urusan rakyat tidak seharusnya membiarkan kesulitan dan kesusahan menimpa mereka. Apalagi untuk urusan ibadah. Negara wajib memfasilitasi dan menyelenggarakan dengan semudah dan semurah mungkin. Saat pemimpin mengurus dengan benar dan memudahkannya, maka Allah SWT pun akan memudahkan segala urusannya dan memberikan pahala yang luar biasa.

Tetapi sebaliknya, fakta yang terjadi kini adalah dampak kapitalisme yang memengaruhi oleh negeri ini. Setiap sudut-sudut kehidupan terus dicari sumber yang menghasilkan materi berlimpah. Tidak terkecuali ibadah.

Dalam kapitalisme, ibadah jika mendatangkan keuntungan yang luar biasa maka wajar jika dibisniskan. Baik dipertaruhkan di pasar bisnis saham, dipinjamkan dengan agunan atau bunga yang menggiurkan, hingga penopang pembangunan infrastruktur baik yang urgen maupun tidak.

Padahal, pemerintah mampu memberikan kemudahan dan bantuan modal untuk pembangunan infrastruktur yang tendernya diambil oleh asing hingga lebih 50%. Seperti pembangunan jalan tol juga untuk dana IKN. Semuanya bisa dialokasikan dari APBN oleh pemerintah. Kenapa untuk biaya haji yang  angkanya jauh lebih rendah dari pembiayaan tol dan IKN tidak mampu dibantu oleh pemerintah?

Penguasa kapitalis bukanlah jadi rahasia umum jika mereka hanya berpihak kepada tuannya demi cuan. Tetapi memeras rakyatnya dan tidak ingin rugi sepeser pun untuk mengurusi kebutuhan rakyat.

Meskipun baru sekedar wacana, namun komentar-komentar sebagian yang terlibat dalam proyek menaikkan biaya haji sudah menunjukkan bahwa rencana ini keumungkinan besar bisa direaliasikan alias ketok palu.

Sebab ada pernyataan yang menyatakan jika Jemaah Haji yang harusnya berangkat tahun ini tidak mampu melunasi biaya haji yang direncanakan, maka bisa dicari penggantinya. Kejam bukan?

Maka tidak berlebihan jika ada komentar masyarakat yang nyinyir akhirnya kepada pemerintah. Terlebih yang berhubungan dengan Islam. Pemerintah sangat berani mempersekusi ulama dan mengkriminalisasi ajaran Islam, atau dengan kata lain dihambat. Namun uang yang dihasilkan dari ibadah umat Islam justru diembat.

Sangat berbeda pastinya dengan  pengelolaan haji yang pernah terjadi di dalam sistem Islam. Para penguasa Muslim kala itu selalu memikirkan bagaimana caranya memudahkan urusan ibadah warganya seperti perjalanan haji. Berapapun biaya yang dibutuhkan akan dianggarkan demi kemudahan para calon Jemaah Haji. Sebab, mereka memahami bahwa tanggung jawab sebagai seorang pemimpin negara bukan hanya urusan ekonomi atau pendidikan saja, melainkan termasuk di dalamnya urusan ibadah.

Teladan dari Sultan Abdul Hamid II, saat menjadi Khalifah (penguasa kaum Muslim) membangun rel kereta api dari India hingga ke Hijaz sangat layak ditiru. Ia memikirkan cara termudah agar warga Muslim di wilayah India bisa menunaikan ibadah haji melalui jalur darat dengan selamat. Rencana tersebut disambut baik oleh semua warga Muslim di India. Tanpa Khalifah Abdul Hamid meminta, warga Muslim India menyerahkan harta-harta mereka demi terwujudnya impian tersebut. Padahal, Sultan ada di Istambul bukan di India.

Begitulah contoh sikap bijak dan bertanggung jawab penuh rasa kepedulian dari seorang kepala negara, pemimpin rakyat yang memahami hakikat seorang penguasa. Bukan menyulitkan apalagi membisniskan. Ibadah haji saja dikapitalisasi sedemikian rupa, bagaimana mungkin bisa dikatakan itu bentuk kepedulian? Allahu a’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.