Artikel

Ketika Koruptor dan Kapitalisme Berdisco di Atas Penderitaan Rakyat Batahan (bagian 1)

Dahlan Batubara
Dahlan Batubara

Esai : Dahlan Batubara
Pemimpin Redaksi Mandailing Online

Birokrat yang korup membutuhkan perusahaan jahat. Perusahaan jahat membutuhkan birokrat korup. Keduanya adalah mahluk-mahluk ganas, mahluk-mahluk lapar. Keduanya membutuhkan mangsa. Mangsa itu adalah rakyat, rakyat yang lemah, rakyat yang bodoh, rakyat yang buta undang-undang.

……………………………………………………………………………………………………………………………………..

Korporasi atau perusahaan yang berjalan di dalam ruh kapitalisme hanya memiliki satu tujuan : meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Korporasi yang demikian tidak mengenal belas kasih, tidak mengenal solidaritas, tidak memiliki kebaik-hatian.

Jika dia terlihat baik, maka kebaikan itu bukan karena dia baik hati, melainkan bahwa kebaik-hatian itu didorong oleh adanya sesuatu raihan target keuntungan lebih besar atau sebagai kepura-puraan agar dia dinilai sebagai perusahaan yang telah melakukan kebaikan kepada sekelilingnya sehingga dia akan dianggap telah mematuhi amanah undang-undang yang diterbitkan oleh negara.

Perusahaan yang berinvestasi di sektor perkebunan yang berjalan di dalam ruh kapitalisme itu tidak memiliki niat baik apapun kepada manusia yang ada disekitarnya, kepada alam yang ada disekitarnya, kepada pemerintah yang memberinya kuasa untuk menanam sawit. Dia akan “berniat baik” bilamana keberniatan-kebaik-hatian itu memiliki dampak positif bagi perjalanan usahanya.

Perusahaan yang berinvestasi di sektor perkebunan yang berjalan di dalam ruh kapitalisme itu tidak pernah berniat baik kepada penduduk yang ada disekitarnya, meski sebenarnya penduduk itu telah memberinya “legitimasi” untuk berusaha di wilayah penduduk itu.

Perusahaan yang berinvestasi di sektor perkebunan yang berjalan di dalam ruh kapitalisme itu adalah “mahluk ambivalen”, mahluk bermuka seribu, mahluk perayu tingkat tinggi. Ketika membutuhkan izin, maka dia akan merayu bagai Romeo memuja Juliet.

Pemerintah adalah gadis manis bernama Juliet. Kemanisannya itu terletak di “izin prinsip”, “izin lokasi” dan tetekbengek perizinan lainnya. Si Romeo berada di posisi merayu agar si Juliet memberikan dia kuasa menanam sawit di Kecamatan Batahan, Mandailing Natal.

Tetapi, si Juliet tak bisa begitu saja memberikan “izin” itu kepada si Romeo, karena masih ada yang lebih “Juliet” daripada si Juliet : itulah rakyat atau warga atau penduduk yang hidup dan berketurunan di kawasan rencana pembukaan perkebunan itu. Tanpa keizinan “Juliet” maka si Romeo tak bisa mendapatkan izin dari si Juliet.

Dan, kebiasaan yang lazim dan untuk menunaikan suruhan undang-undang, maka si Juliet akan membawa si Romeo kepada “si Juliet”. Di pertemuan itu, si Juliet dan si Romeo akan merayu “Si Juliet” agar memberikan “hatinya” kepada si Romeo. Sebab, tanpa “hati” itu maka si Romeo tak mendapatkan izin dari si Juliet.

Bilamana persetujuan (hati) dari penduduk (si “Juliet) telah ada, maka pemerintah (si Juliet) selanjutnya memproses perizinan kepada perusanaan itu (si Romeo). Maka lahirnya “akad nikah” yang bernama inti-plasma. Si “Juliet” akibat izin restu yang diberikannya, maka dia akan mendapatkan hak kebun plasma, sedangkan si Romeo berhak terhadap kebun inti. Tugas yang diberikan kepada si Romeo selanjutnya adalah mengerjakan kebun inti dan kebun plasma itu.

Tetapi, di kemdian hari, lazim pula terjadi perselingkuhan. Perselingkuhan terjadi karena pemerintah masa kini itu mata duitan, pemerintah masa kini itu bersifat korup, pemerintah masa kini itu koruptor, pemerintah masa kini itu tidak memiliki kebaik-hatian sebagaimana perusahaan yang ber-roh-kapitalisme itu tak memilki kebaik-hatian.

Birokrat yang korup membutuhkan perusahaan jahat. Perusahaan jahat membutuhkan birokrat korup. Keduanya adalah mahluk-mahluk ganas, mahluk-mahluk lapar. Keduanya membutuhkan mangsa. Mangsa itu adalah rakyat, rakyat yang lemah, rakyat yang bodoh, rakyat yang buta undang-undang.

Tetapi, mahluk-mahluk ganas dan mahluk-mahluk lapar itu tidak saja membutuhkan rakyat bodoh, mereka juga juga membutuhkan regulasi yang memihak kepada kelaparan dan keganasan mereka agar regulasi itu bisa memberikan mereka “lapangan bermain” memainkan rakyat yang bodoh itu agar rakyat yang bodoh itu bisa “dipermainkan”.

Sehingga yang demikian itu, mereka akan bisa mengenyangkan lapar mereka, agar mereka bisa muaskan keganasan mereka, meski sesungguhnya kekenyangan dan kepuasan mereka itu diraih dengan cara melaparkan rakyat yang bodoh, merampas kesejahteraan rakyat yang lemah itu.

Apabila diantara rakyat itu ada beberapa yang tidak bodoh, maka lazimnya mereka akan mengenyangkan beberapa rakyat yang tidak bodoh itu.  (bersambung)

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.