Esai : Dahlan Batubara
Pemimpin Redaksi Mandailing Online
Jika saya seorang bupati, saya tidak akan membiarkan perusahaan itu mengadukan belasan warga Batahan itu kepada polisi, karena belasan warga Batahan itu tidak layak dituduh sebagai pencuri buah sawit, karena pohon-pohon sawit itu bukan milik perusahaan, melainkan dimiliki oleh “stanpass” dan dimiliki oleh rangkaian kerumitan demi kerumitan sebagai akibat lesalahkaprahan para birokrat korup dan sebagai akibat kegagalan mekanisme birokrasi memenuhi hak-hak rakyat.
Jika saya seorang bupati, saya tidak akan membiarkan perusahaan itu mengadukan belasan warga Batahan itu kepada polisi, karena aksi yang disebut sebagai pencurian itu bukanlah pencurian, melainkan sebagai sebuah simbol ketidakbagusan perjalanan negara, ketidakberesan penjalanan sistem oleh penyelenggara negara, dan sebagai pantulan perselingkuhan antara birokrat korup dan perusahaan yang berjalan di dalam ruh kapitalisme.
Jika saya seorang bupati, saya tidak akan membiarkan perusahaan itu mengadukan belasan warga Batahan itu kepada polisi, karena aksi yang disebut sebagai pencurian itu bukanlah pencurian, melainkan sebagai dampak-dampak turunan dari kegagalan negara dalam mengelola antara semangat pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan investasi di satu sisi dan dengan pengelolaan perlindungan hak-hak rakyat di sisi lain. Kegagalan negara melaksanakan instrumen melindungi rakyatnya ketika negara membabibuta memposisikan investor-investor sebagai dewa yang turun dari langit biru yang dipuja-puji dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi negara.
Jika saya seorang bupati, saya tidak akan membiarkan perusahaan itu mengadukan belasan warga Batahan itu kepada polisi, karena aksi yang disebut sebagai pencurian itu bukanlah pencurian, melainkan sebagai dampak-dampak turunan dari kerumitan-kerumitan di tingkat teknis yang dilahirkan oleh ketidakberesan kinerja para birokrat.
Bahwa seorang birokrat negara tidak memiliki keharusan untuk bertanggungjawab kepada perwujudan kebun plasma karena birokrat negara tidak memiliki keharusan untuk bertanggungjawab pada “out put” karena negara hanya menagih pertanggungjawaban administratif.
Bahwa “ini lahan kami” – “lahan kalian di mana” – “ente bukan anggota plasma” – “lahan kalian sudah dialihkan ke sana” dan tetekbengek karancauan di tingkat teknis lainnya adalah merupakan pantulan dari kesalahkaprahan di awal mula pelaksanaan program pola inti-plasma atau disebut “muda sega di pandasoran, sega tu pambibiran” serta dosa-dosa para pelaksana negara yang didelegasikan oleh rakyat kepadanya memundak amanah dan wewenang melaksanakan segala yang menyangkut perhutanan, perkebunan, perinvestasian, per-ukuran lahan, per-sosialisasian, (dan malah rakyat tak melarang para birokrat itu melakukan) menimbun harta dari hasil perbagian uang “angpao” yang diberikan oleh perusahaan itu atas kerjakerasnya memuluskan strategi mengaburkan kejelasan kebun plasma itu.
Jika saya seorang bupati, dan belasan warga Batahan itu sudah terlanjur disidangkan di pengadilan, maka saya akan memerintahkan perusahaan agar menyelamatkan belasan warga Batahan itu dari ancaman menghuni penjara, karena belasan warga Batahan itu dahulu kala adalah “Juliet” yang dirayu-rayu agar bersedia memenuhi ambisi-ambisi pertumbuhan ekonomi negara. Bahwa belasan warga Batahan itu adalah anak kandung dari “Julet” yang dilahirkan di dalam situasi kerumitan-kerumitan dan kekacaubalauan investasi dan dosa-dosa birokrat korup.
Jika saya seorang hakim yang mengadili belasan warga Batahan itu, maka saya akan memandang kasus itu bukan pencurian sebagaimana pencuri yang mencuri mangga di pekarangan Pak Rohim, melainkan satu aksi yang dilahirkan oleh rangkaian kerumitan demi kerumitan sebagai akibat lesalahkaprahan para birokrat korup dan sebagai akibat kegagalan mekanisme birokrasi terhadap hak-hak rakyat, terhadap kebun plasma untuk anak-anak yang dilahirkan oleh “Juliet”.***