Oleh: Mariani Siregar M.Pd.I
Dosen Pendidikan Islam
Terpujilah wahai engkau, ibu-bapak guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku. Sebagai prasasti terimakasihku tuk pengabdianmu…engkau bagai pelita dalam kegelapan…engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau pahlawan tanpa tanda jasa.
Semua pasti tahu lirik lagu “Hymne Guru”. Karena sebelum meraih cita-cita, tangga pertama yang harus dilalui adalah menjadi seorang murid. Tidak akan jadi apapun seorang murid tanpa pengorbanan dan jasa para guru. Begitu juga seorang guru tidak akan berarti ilmunya tanpa ada murid yang akan dididik.
Harumnya profesi seorang guru dari masa ke masa selalu tercium. Sosok guru di tengah masyarakat sebelum zaman millennial serba intrenet seperti sekarang masih terus menjadi yang digugu. Masyarakat hormat dan menghargai para guru di sekitarnya. Bahkan di zaman penjajahan sekalipun, para guru tetap berfungsi sebagai pahlawan penggerak kemajuan berfikir dan berjihad melawan penjajah.
Namun ironisnya, menjadi seorang guru saat ini seolah-olah tidak lagi dianggap sebagai profesi yang mulia. Bergesernya nilai-nilai di masyarakat dan sistem pendidikan yang mengadopsi sekulerisme kapitalis, memandang guru bukanlah jalan pengabdian, tetapi sekedar profesi yang tidak layak mendapatkan penghargaan.
Betul, tidak semua guru layak digugu dan ditiru, atau mampu melaksanakan tugasnya dengan benar. Akan tetapi, pernahkah masyarakat bertanya tentang sistem pendidikan yang melahirkan para guru, bagaimana proses yang terjadi dari dalamnya? Bukankah output adalah hasil proses dari dalam sistem?
Arah pendidikan nasional yang semakin kabur dan hanya disibukkan dengan cabang-cabang dan administratif, membuat para guru fokus pada kertas, laporan, pemberkasan, bukan pada manusia. Padahal, pendidikan itu bertujuan untuk memanusiakan manusia seutuhnya.
Berbagai pemberitaan tentang kasus kriminalisasi guru yang terus melanda negeri ini adalah bukti bahwa pendidikan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kasus pengaduan dari pihak orangtua murid hingga memenjarakan guru menjadi pemandangan yang menyedihkan. Seolah-olah mereka adalah penjahat atau kriminal yang pantas dipenjara.
Sebut saja kasus yang terjadi di Konawe Selatan, diproses hukum karena mendisplinkan muridnya. Hanya karena kebetulan siswa tersebut adalah anak dari salah satu aparat polisi setempat. Guru tersebut diketahui bernama Supriyani, salah seorang tendik honorer SD 04 Baito.
Tidak cukup melaporkan guru ke kepolisian, kasus menggila dengan dugaan permintaan uang senilai Rp50 juta kepada guru Supriyani. Kuasa hukum Supriyani, Andre Darmawan, menyatakan permintaan uang senilai Rp50 juta dari oknum kepolisian di Polsek Baito untuk menyelesaikan kasus, lalu ada lagi tambahan sebesar Rp15 juta dari seseorang yang mengaku perwakilan lembaga perlindungan anak agar Supriyani tidak ditahan. Layakkah guru honor yang gajinya luar biasa horor rendahnya diperas sedemikian rupa?
Peran Negara Lemah Menangani Kriminalisasi Guru
Kasus kriminalisasi guru bukan kali pertama terjadi di negeri ini. Sejak adanya pemberlakuan UU Perlindungan Anak yang melarang tindakan kekerasan kepada anak termasuk siswa menjadi dalih untuk pembiaran atas segala tingkah anak atau siswa.
Bukan berarti tindakan kekerasan atau hukuman dengan tangan yang dilayangkan oleh guru harus dibenarkan. Akan tetapi, penanganan siswa terkadang memang membutuhkan ekstra tegas agar mampu memberi efek jera bagi anak atau siswa. Banyak hukuman yang bisa diberikan tanpa kekerasan fisik.
Beberapa fakta kriminalisasi guru yang pernah terjadi selain Supriyani seperti dilansir oleh laman Detik Jateng (07/09/2024), diantaranya seperti di Wonosobo, karena seorang guru mengamankan perkelahian antar siswa, seorang siswa yang terlibat perkelahian mengadu kepada ibunya bahwa ia telah dipukul oleh gurunya. Lalu guru tersebut dilaporkan ke Polres Wonosobo.
Kemudian, seorang guru Ponpes di Makassar, Sulawesi Selatan, yang berinisial YB dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan menganiaya seorang santri berinisial SA (13) karena diduga akan mencuri.
Tidak mengherankan bila pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan yang bertujuan sebagai solusi persoalan kriminalisasi guru. (detik.com, 05/11/2024)
Hanya saja, menerbitkan Permen tentulah tidak cukup untuk mengatasi kasus yang semakin berkembang. Sebab perosalannya tidak sesederhana itu. Sebab, maraknya pelaporan terhadap guru setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor berikut.
Pertama, lemahnya adab generasi masa kini. Adab sudah menjadi ajaran yang hilang dan bahkan terlupakan. Adab dianggap sebagai perkara yang tidak penting dan bahkan tidak menjadi bagian dari proses apalagi tujuan pendidikan. Padahal, dalam Pancasila yang diyakini oleh negara sebagai landasan utama, terdapat sila kedua yang menekankan pada kemanusian yang adil dan beradab.
Sayangnya, para pelajar dari rumah sekalipun sudah lost attitude. Jika terhadap orangtuanya saja mereka tidak beradab, konon lagi hanya guru, orang asing yang tidak punya hubungan darah. Jelas tidak akan muncul rasa hormat apalagi adab.
Sistem pendidikan modern dimodifikasi justru menghasilkan jenis manusia yang tak ubahnya seperti robot. Tidak merasa malu menabrak segala rambu-rambu sosial, hukum, hingga agama. Karena muatan-muatan materi pendidikan lebih cenderung mengarahkan untuk bekerja dan materi. Bahkan menghalalkan segala cara tanpa menjadikan halal-haram sebagai standar perbuatan. Dengan kata lain, pendidikan tengah berada dalam arus sekulerisasi.
Kedua, orang tua siswa juga tidak mendapatkan mafhum dan edukasi yang memadai tentang pentingnya guru dalam proses pendidikan anak-anak. Padahal sebagai orangtua, banyak yang tidak mampu menjadi guru pertama dan utama di rumah. Lalu diserahkan ke guru melalui lembaga pendidikan, yaitu sekolah, tetapi justru diributkan. Bukan malah berterimakasih atas jasa para guru – yang hari ini – negara pun tak mampu menghargainya. Bukankah guru banyak yang honor dengan gaji horor, tetapi dituntut harus memanusiakan manusia?
Seharusnya, para orangtua membangun komunikasi dan kerjasama dalam mewujudkan pilar pendidikan. Karena keberhasilan anak tidak mungkin hanya karena peran sekolah tanpa dukungan penuh dari orangtua. Setidaknya, orangtua harus berani percaya pada sekolah tempat ia menitipkan anaknya menuntut ilmu. Bukankah para ulama dulu diserahkan oleh orangtuanya kepada guru dengan modal percaya?
Orangtua juga tidak seharusnya menggunakan pangkat atau jabatan jika menggunakannya sebagai ajang keangkuhan dan kesombongan sehingga anaknya tidak boleh dihukum oleh guru, padahal salah. Malah guru diserang balik dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki.
Ketiga, keberadaan undang-undang perlindungan anak juga tidak kalah penting dalam menyumbang kriminalisasi terhadap guru. Keberadaan UU tersebut dimanfaatkan sebagai dalih pembenaran melaporkan guru dengan memposisikan anak sebagai korban kekerasan guru, baik fisik maupun verbal.
Sehingga, ketika guru memberikan punishment di sekolah yang dianggap masih wajar bagi anak sebagai bagian dari proses pendidikan, malah sebaliknya dianggap kekerasan terhadap anak.
Memang terasa pelik kebijakan negara dalam dunia pendidikan. Ada peraturan yang melindungi guru, ada Komnas PA yang berlaku. Seolah-olah, antara guru dan siswa seperti menjadi objek adu domba kebijakan. Jika demikian adanya, bukankah nyata bahwa negara amat lemah dalam mengurusi kasus guru? Tidak sepenuhnya serius dan memberikan solusi yang benar.
Sistem Pendidikan Islam Adalah Solusi
Semakin bertambahnya kasus pelaporan terhadap guru membuktikan perlu adanya revisi dan inovasi baru dalam sistem pendidikan di negeri ini. Bukan hanya sekedar mengganti kurikulum yang hanya dimodifikasi dengan istilah, tanpa mengubah paradigma dasarnya.
Guru adalah salah satu komponen pendidkan yang sangat penting. Sehingga keberadaannya harus diperhatikan dan dihargai. Tugas para guru adalah tugas yang mulia. Tanpa upaya dan pengorbanan guru, maka tidak akan lahir generasi pemimpin negara dan pejabat-pejabat lainnya.
Namun, jika kebijakan yang berlaku tidak memuliakan guru alangkah meruginya suatu bangsa dan negara. Tanpa guru, generasi suatu negeri tidak akan melahirkan peradaban baru.
Oleh karena itu, solusi untuk menyelesaikan kasus kriminalisasi guru adalah dengan mengubah paradigma sistem pendidikan yang sekarang menggandrungi sekuler-kapitalis agar berasaskan akidah Islam. Kenapa harus akidah Islam?
Pertama, Islam adalah deen dengan segala perangkat syariat yang sempurna dan paripurna bahkan dalam mengurusi persoalan pendidikan. Guru dalam paradigma ajaran Islam adalah sosok yang memiliki ilmu dan profesinya sangat dihargai. Selain gaji yang memadai oleh negara sesuai tugasnya mengenalkan manusia kepada Rabb-nya dan menghidupkan akalnya, para guru juga dikenal dengan ulama yang dinobatkan oleh Nabi saw sebagai pewarisnya.
Guru dalam sistem pendidikan Islam adalah sosok yang memang layak jadi uswah dan dipercaya dalam memberikan ilmu bagi generasi. Orang tua akan memiliki rasa percaya pada guru-guru dan menyerahkan anak-anak mereka hingga memiliki ilmu seperti para guru, bahkan bisa melebih gurunya.
Guru adalah sosok yang memiliki adab yang tinggi. Sehingga para siswa akan melihat langsung ketinggian adab guru. Adab juga menjadi pelajaran pertama dalam pendidikan Islam sebelum memperoleh ilmu-ilmu lain. Karena dengan adab, anak akan menghargai guru, mencintai ilmu, dan memahami proses pembelajaran. Sebab selain ilmu, berkah dan doa guru juga sangat dinanti.
Kedua, peran negara dalam mensejahterakan guru juga bagian yang tidak bisa diabaikan. Bahkan Nabi saw juga menjadikan guru sebagai profesi yang layak dihargai berdasarkan akad ijaroh (kerja). Bukan berarti para guru dalam Islam mata duitan, tetapi Islam adalah agama yang memahami hakikat manusia. Negara tidak hanya mendorong para guru agar senantiasa menjaga keberkahan pekerjaannya, tetapi juga membayar mereka dengan gaji tinggi.
Harusnya sekarang lebih banyak lagi. Mustahil? Tentu tidak! Karena gaji para guru dalam Islam diambil dari harta kepemilikan umum seperti hasil tambang. Bukankah Indonesi sangat kaya dengan hasil tambang? Tentu tidak mustahil jika menggaji guru dengan layak. Pertanyaannya hanya satu, mau atau tidak?
Ketiga, peran negara mengadopsi ajaran Islam sebagai aturan bermasyarakat akan melahirkan interaksi sosial yang harmonis. Dengan demikian, akan lahir keluarga-keluarga yang religius. Anak-anak dari rumah diajarkan adab oleh orangtua terlebih dahulu sebelum diserahkan ke guru di sekolah. Sehingga guru tidak lagi mengalami kesulitan dalam melanjutkan proses pendidikan. Selain itu, masyarakat juga menjadi benteng bagi individu-individu untuk mencegah terjadinya kejahatan dan kemaksiatan.
Dengan kata lain, pilar pendidikan antara keluarga, masyarakat, dan negara akan terwujud sempurna jika yang diterapkan adalah paradigma pendidikan Islam, bukan paradigma sekuler-kapitalis seperti sekarang.
Oleh karena itu, sudah menjadi kebutuhan bagi guru, siswa, dan seluruh perangkat pendidikan agar dikelola dengan paradigma akidah Islam. Karena hanya Islam yang mampu menjadikan negara bersungguh-sunggguh menyelesaikan setiap problematika kehidupan manusia, tidak terkecuali kriminalisasi guru. Allau a’alam bissawab.