Catatan : Dahlan Batubara
Lasiak dari Lumban Dolok termasuk cabai yang populer. Terutama di kalangan pedagang. Keterkenalannya itu serupa dengan keterkenalan lasiak Sibanggor.
Lasiak dalam bahasa Mandailig. Cabai bahasa Indonesia-nya.
Desa Lumban Dolok berada di Kecamatan Siabu. Mandailing Natal. Sumatera Utara.
Lasiak Lumban Dolok tak sepedas lasiak Sibanggor.
Tapi, tak sepedas Sibanggor ini pula penyebab lasiak Lumban Dolok disukai tanah Minang.
Alhasil, mayoritasnya justru “diekspor”” ke Sumatera Barat.
Lasiak Lumban Dolok lebih cocok untuk saus. Untuk sambal balado. Boleh jadi, sambal yang melumuri Kerupuk Sanjai Balado. Yang dari Minangkabau itu. Cabainya dari Lumban Dolok. Perlu ditelusuri.
Berdasar pengakuan petani Lumban Dolok. Produksi lasiak mereka bisa lebih 1 ton per minggu. Data detailnya tak saya peroleh. Saya tak berhasil berjumpa dengan saudagar lasiak di sana.
Karena “ekspor” itulah, makanya tak banyak lasiak Lumban Dolok beredar di Mandailing Natal.
Dan, lasiak Lumban Dolok yang hanya sedikit beredar di sini itu, ditambah lasiak Sibanggor serta cabai dari berbagai kawasan di Mandailing Natal tak sanggup memenuhi kebutuhan konsumsi cabai di Mandailing Natal.
Coba pantau pagi hari. Sekitar pukul 4.00 WIB. Di Pasar Baru Panyabungan. Akan ada selalu truk yang bongkar muatan. Membongkar cabai. Dari daerah Siborong-borong. Untuk disebarkan di pasar-pasar Mandailing Natal.
Cabai dari Soborong-borong ini. Memberikan fakta. Bahwa cabai masih kurang di Mandailing Natal. Untuk kebutuhan rumah tangga, rumah makan dan segala kuliner yang bersentuhan dengan bahan baku cabai.
Tetapi, mungkin cukup, jika lasiak Lumban Dolok tak “diekspor”.
Saya tak tahu berapa kebutuhan cabai di Madina. Per hari.
Saya juga belum tahu berapa produksi cabai lokal. Per hari. Mendatanya sangat rumit.
Tetapi, lasiak Lumban Dolok selalu berproduksi. Nyaris tiada henti. Dari tiga hamparan yang berbeda. Dengan cara : aplusan menanam cabai.
Saat ini. Bulan Pebruari ini. Hamparan Saba Sialang yang dapat giliran nanam cabai.
Sebelumnya hamparan Saba Padang dan Saba Aek Latong yang nanam cabai.
Aplusan alias bergilir alias gantian.
2 hamparan lawan 1 hamparan.
Jika giliran hamparan Saba Salang bercabai, maka hamparan Saba Padang dan Saba Aek Latong menanam padi.
Jika giliran Saba Padang dan Saba Aek Latong yang bercabai, maka hamparan Saba Salang bertanam padi.
Makanya cabai dari Lumban Dolok tak pernah berhenti.
Kok aplusan?
Ya, karena desa itu kekurangan air untuk pertanian. Sumber air hanya ada satu : Aek Latong. Yang debitnya tak mampu mengairi tiga hamparan itu sekaligus.
Makanya dilakukan gantian.
Awal Pebruari lalu saya ke Lumban Dolok. Rapat KTNA. Kontak Tani Nelayan Andalan. Rapatnya di rumah ketua KTNA Madina, Rosmala Dewi Nasution. Lalu rapat berlanjut ke pinggir sawah. Di satu saung.
Usai rapat itu, saya bertemu sejumlah petani. Petani cabai, eh..juga petani padi dong. Bertanya : sudah berapa lama aplusan ini?
Sudah lebih 30 tahun.
Padi butuh air mengalir ke hamparan sawah. Cabai tak butuh air mengalir, meski wajib untuk kebutuhan menyiram tanaman.
Karena air kurang. Maka diputuskan bergantian memakai air. Keputusan itu dulu. Hampir setengah abad lalu. Keputusan berdasar kearifan lokal.
Kekurangan air ini sebenarnya membawa berkah. Bukan membawa kesulitan.
Tanah yang ditanami padi harus basah. Harus digenangi air. Tetapi, tanah yang ditanami palawija pastinya kering. Tidak digenangi air.
Unsur hara akan semakin bagus di dalam tanah yang kering selama 6 bulan. Selama berpalawija.
Itu akan menyuburkan ketika giliran bertanam padi. Jumlah batang di tiap rumpun padi akan banyak. Padi subur. Panen melimpah. Dibanding yang senantiasa bertanam padi.
Saya teringat masa kecil. Dulu. Akhir 70-an. Petani di Panyabungan hanya bersawah sekali setahun. 6 bulan bersawah. 6 bulan berpalawija. Pupuk kimia belum terlalu dominan. Rumpun-rumpun padinya gemuk-gemuk. Malai padi rimbun-rimbun.
Aplusan padi-palawija itu berakhir di Panyabungan. Juga di Mandailing secara luas. Juga se-Indonesia secara nasional. Ketika pemerintah Indonesia di akhir 70-an mengumandangkan Revolusi Hijau. Di sektor pertanian.
Revolusi Hijau menekankan kepada petani memakai pupuk kimia, pestisida, bibit impor. Ujung-ujungnya : padi ditanam 2 kali setahun. Tak ada lagi selingan berpalawija.
Terhenti pula penyuburan tanah melalui pengembangan unsur hara selama berpalawija.
Dampak I : tanaman padi kecanduan pupuk kimia dan pestisida. Ibarat narkoba, kecanduan ganja atau sabu-sabu.
Dampak II : tanah jadi gersang. Akibat dampak negatif kimiawi. Padi tak akan subur lagi jika tak dibius sabu-sabu eh pupuk kimia.
Belakangan pemerintah sadar. Lalu muncul kampanye pupuk organik. Agar unsur hara kembali normal.
Tetapi Lumban Dolok tetap berpadi dan berpalawija. Seperti sebelum 70-an itu. Gara-gara debit Aek Latong yang kurang debit itu.
Dan, petani di Lumban Dolok kian mahir menguasai hama cabai, penyakit cabai, parasit pengganggu akar tanaman cabai, pola pupuk, pengaruh perubahan cuaca terhadap cabai. Dan itu tadi, lasiak Lumban Dolok merambah Sumatera Barat. Untuk sambal. Untuk saus.
Jadinya : Lumban Dolok selain menghasilkan padi, juga tukang “ekspor” lasiak ke negeri Minangkabau.
Tetapi, Lumban Dolok tak hanya bertanam cabai.
Ada juga petani yang bertanam kacang, tomat dll yang tidak membutuhkan air mengalir. Ketika giliran berpalawija.***