Artikel

Melirik Gonjang Ganjing Produk Pendidikan Ala Kemendikbud

Oleh: Mariani Siregar, M.Pd.I
Dosen Pendidikan lslam

Pendidikan di Indonesia di bawah pimpinan Nadim kelihatannya terus berbebenah dengan inovasi-inovasi baru yang ditawarkan. Sehingga terkesan selalu memunculkan program-program yang menghidupkan dan mengikuti kemajuan atau arus globalisasi.

Tidak heran sebenarnya jika dikaitkan dengan background Pak Menteri yang seorang pengusaha sukses atau seorang CEO. Tentu saja ia mampu meluncurkan ide-ide baru dalam kementerian yang ia pimpin mirip pengembangan usaha atau sejalan dengan orderan pasar.

Kali ini, inovasi baru dimunculkan lagi bernama shadow organization atau organisasi bayangan. Hal tersebut seperti yang dilansir dari Republika.co.id, bahwa Nadim mengaku telah membentuk organisasi bayangan yang beranggotakan sebanyak 400 orang di Kemendikbud.

Nadim mengungkap bahwa yang dilakukannya adalah salah satu strategi dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia. Ia membawa tim sendiri dari luar untuk membantu Kemendikbud. Shadow organization yang disebutkan Nadim terdiri dari product manager, software engineer, dan data scientist.

Namun, strategi tersebut pastinya tidak lepas dari kritik, pro, dan kontra masyarakat. Sebagian menganggap positif atas nama kemajuan. Dan tidak sedikit yang mempertanyakannya.

Salah satu contoh pemilik akun twitter @ShamsiAli2, yang mempertanyakan keberadaan shadow organization ala Nadim. Ia menuliskan dalam twit-nya, ”di Kementerian ada shadow organization (organisasi bayangan) yang nampaknya menentukan segalanya. Apa organisasi itu? and who really the people in control? Kenapa harus ada organisasi itu? lalu kementerian dan jajarannya jadi apa?”

Banyaknya pertanyaan yang muncul menyerang menteri Pendidikan sebenarnya wajar saja. Apalagi jika ternyata, program atau produk- produk Kemendikbud adalah hasil eksekusi tunggal Pak Menteri. Kepemimpinan ala CEO bisnis dijadikan mode of the rule dalam mengelola dan menata sistem pendidikan di Indonesia.

Program atau dengan kata lain produk pendidikan yang diusulkan oleh Menteri Nadim termasuk organisasi bayangan sudah mendapatkan kritik dari DPR. Bukan hanya satu item, tetapi hampir seluruh kinerja Kementerian Pendidikan dipertanyakan pertanggungjawabannnya. Terlebih persoalan dana-dana pendidikan. Apakah dana pendidikan juga dianggarkan untuk memfasilitasi para shadow organization yang berjumlah 400 orang teresbut.

Produk Kemendikbud: Shadow Organization dan Kurikulum Merdeka Cerminan Kapitalisasi Pendidikan

Kebijakan membentuk program atau penggunaan produk dalam kementerian tidak mungkin lepas dari urusan anggaran. Dan urusan tersebut akan langsung berhubungan dengan keuangan atau kas negara, yang merupakan amanat rakyat dan dikelola oleh DPR. Pertanyaan realisasi anggaran terhadap kementerian bukan hal berlebihan, melainkan harus dan wajib. Karena dana atau uang rakyat bukanlah milik para pejabat.

Namun, fakta menunjukkan sebaliknya. Penggunaan anggaran atau dana selain dikorupsi, juga banyak untuk dimainkan dalam tender. Tentunya, bicara tender adalah bicara bisnis, dan bisnis golnya adalah keuntungan. Bagi siapa? Tentu bagi pengelola tender dan pengambilnya.

Seperti yang diketahui dari Kompasiana.com, bahwa shadow organization ternyata adalah vendor yang menurut penuturan Nadim ibarat mirroring dalam Kementerian yang ia pimpin. Nadim menyatakan bahwa shadow oragnizataion tersebut memiliki ketua tim yang posisinya hampir setara dengan Direktorat Jenderal.

Kemudian ia akhirnya mengakui bahwa tim bayangan (shadow organization) yang ia gembar-gemborkan itu adalah vendor yang bernama GovTech Edu. Vendor tersebut merupakan anak perusahaan PT Telkom. Kemendikbud-ristek dengan GovTech Edu sudah bekerjasama sejak 2020. Hal tersebut diakui oleh Direktur Digital Bisnis Telkom, Fajrin Rasyid. Menurutnya, GovTech Edu sudah berkali-kali menang tender.

CNBC Indonesia juga memberitakan terkait kabar adanya shadow organization bentukan Nadim. Sebab sempat menjadi sorotan saat ia menyatakan organisasi bayangan tersebut dalam pidatonya di rangkaian United Nations Transforming Education Summit di markas besar PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Pemilik aplikasi Gojek tersebut menjelaskan bahwa tim bayangan yang ia bentuk beranggotakan 400 orang terlibat dalam mendesain produk kebijakan yang dikeluarkan Kemendikburistek.

Kemungkinan salah satu yang dimaksud oleh Nadim adalah produk-produk aplikasi hasil kerjasama GovTech tersebut.  Ada lima produk yang telah dihasilkan dari kerjasama keduanya, yaitu aplikasi Merdeka Belajar, ARKAS, SIPLah, Kampus Merdeka, Rapor Pendidikan, dan Belajar.id.

Berdasarkan semua keterangan dan penjelasan menteri Pendidikan terkait dengan produk-produknya, apa sumbangsih signifikannya bagi dunia pendidikan yang telah nyata bisa membawa arah perubahan yang lebih baik? Dan kepentingan siapa tender atau program-program kerjasama itu diciptakan? Adakah kaitannya juga dengan model kurikulum merdeka ciptaan Pak Menteri?

Berpijak pada penjelasan-penjelasan atau keterangan yang disampaikan oleh Kemendikbud-ristek maka ada beberapa poin bisa dikritisi dan jawaban beberapa pertanyaan di atas. Setidaknya untuk membangun pemahaman yang kesannya tidak menghakimi namun lebih kepada analisis.

Poin pertama, yang layak untuk disorot adalah paradigma berfikir dari Menteri Pendidikan. Jika melihat pola pengelolaan Kementerian untuk pendidikan di Indonesia, tidak lebih seperti mengelola suatu proyek untung-rugi. Bukankah ada bukti dengan kalah-menang tender?

Istilah tender hanya dikenal dalam dunia market dan bisnis. Sebab, tender tidak lepas dari persoalan uang atau materi. GovThech yang disebut sebagai vendor dan pemenang tender berasal dari bagian bisnis Telkom bukan? Apakah pihak Telkom mau membantu kemajuan pendidikan dengan cuma-cuma tanpa mengkalkulasi untung-rugi?  Mereka punya produk yang ditawarkan untuk pasar bukan?

Produk-produk bahkan beserta orang-orangnya yang berjumlah 400 personil menurut penuturan Nadim sendiri juga diberi jabatan. Sudahlah produknya dipakai dalam pendidikan dengan jutaan pelanggan kalangan sekolah dan kampus, dapat jabatan lagi setara dirjen. Bisa dibayangkan, berapa lagi gaji yang mereka terima? Keuntungan berlipat-lipat didapatkan hasil memenangkan tender Kementerian Pendidikan. Dananya tentu saja dari anggaran Pendidikan Nasional.

Kedua, kehadiran para personil shadow organization kata Pak Menteri juga terlibat dalam mendesaian produk kebijakan di Kemendikbud-ristek. Fokus pada kalimat terlibat dalam mendesain produk kebijakan. Menurut penuturan beberapa ASN sendiri di lingkungan Kemendikbud, mereka tidak nyaman dengan kehadiran para pasukan bayangan tersebut. Alasan Menteri Nadim melibatkan bayangan (atau istilah yang dipakai “ mirroring”) karena tidak percaya dengan kinerja ASN.

Alasan ini memang tidak sepenuhnya salah serta tidak bisa dibenarkan begitu saja. Sebab, mereka yang bekerja di lingkungan Kementerian Pendidikan bertahun-tahun terang saja memiliki pengalaman secara administrasi, konseptual dan juga struktural. Kehadiran tim bayangan bisa saja mengebiri tugas mereka.

Walaupun ada benarnya, kinerja ASN wabilkhusus di Kemendikbud bahkan di instansi lainnya masih banyak masalah dan perlu dibenahi. Seharusnya, ASN yang sudah ada saja di-upgrade dan dilatih agar maksimal dan profesional. Tidak perlu buang anggaran menggaji tim bayangan.

Apalagi jika disebutkan dari asing. Siapa asing yang dimaksud? Orang dalam negeri/instansi atau luar negeri/intansi? Dan kepentingan apa mereka dilibatkan dalam hal menysusun ide-ide pendidikan? Jika dalam persoalan pendidikan internal negeri ini saja tidak mampu diselesaikan sebagai urusan dalam rumah tangga, itu menandakan pendidikan Indonesia pun dalam intervensi. Tiada kedaulatan dan kemandirian. Ada asing yang mendikte.

Ketiga, konsep-konspe Pak Menteri yang merupakan produk pemikiran/idenya dalam dunia pendidikan yang cenderung kapada pemberlakuan pendidikan digital dan serba internet bukanlah produk murni. Melainkan kapitalisme yang mengusung RI 4 hingga ke dunia pendidikan. Sehingga mau tidak mau setiap negara yang kategori terikat kerjasama global harus menyesuiakan diri.

Nadim merasa berhasil dengan meraih prestasi-prestasi aplikasi yang memudahkan dunia pendidikan dalam beropreasi. Tetapi tahukah Nadiem, akibat aplikasi seperti ruang guru, dan lainnya membuat banyak guru malas untuk membaca buku dan menjelaskan pelajaran kepada anak-anak. Mereka cukup membagi topik ke group-group orang tua lalu membuat tugas catatan dan soal dari video-video yang dibagikan.

Selanjutnya, bagaimana dengan orang tua yang tidak memiliki fasilitas untuk internet di pelosok? Membeli heanphone dan paket data atau wifi? Meskipun sebagian ada yang mampu, tetapi keadilan dan pemerataan hak pendidikan adalah kewajiban negara untuk diadakan, bukan? Jika ingin menyebut keberhasilan, maka seharusnya tidak ada yang mengeluarkan keluh kesah.

Jika diperhatikan lagi dari kacamata kapitalisme, yang paling diuntungkan dalam produk-produk pendidikan ala Nadim adalah mereka pebisnis atau pengusaha, baik swasta asing maupun dalam negeri. Berapa keuntungan aplikasi-aplikasi pendidikan yang didesain oleh inovatornya? Jutaan nitizen diarahkan melalui aturan institusi pendidikan, tentu keuntungan yang diraih menggiurkan. Sementara hasilnya, pelajar dan guru jadi candu gadget dan belum bijaksana mengelola media pembelajarannya.

Semua bermuara dari konsep kurikulum merdeka yang digaungkan dan dipaksakan dalam dunia pendidikan. Kurikulum atau sekolah merdeka atau kampus merdeka mengarahkan pelajar dalam satu arus, yaitu kerja mengikuti keinginan pasar.

Institusi pendidikan harus mengikuti kemerdekaan dalam segala hal termasuk belajar. Apapun yang ingin dipelajari siswa harus didukung tanpa memandang nilai-nilai luhur agama. Malas, tidak disiplin, lalai, rakus serta berfikir instan adalah habit yang diciptakan dalam budaya kapitalisme yang kini tercermin dalam kehidupan masyarakat terlebih generasi pelajarnya.

Merdeka yang dimaksudkan adalah mengarah kepada kebebasan ide dan keinginan pelajar untuk menentukan kebutuhannya tanpa diarahkan dengan standar-satndar yang benar. Kurikulum hanya memfasilitasi kemerdekaan, bukan menjamin keberhasil peserta didik menjadi manusia sejati dan seutuhnya sesuai tujuan pendidikan nasional. Hanya akan menjadi kuli kapitalisme dan terus akan membebek dengan kemajuan pasar global.

Begitulah kenyatannya kebijakan pendidikan yang diarahkan oleh ideologi kapitalis yang menciptakan robot-robot bernyawa di dunia pendidikan. Produk-produk dihasilkan tanpa mempertimbangkan kemampuan dan standar pendidikan nasional yang seharusnya menjadikan manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa serta berdaya saing global. Bukan jadi pembebek dan budak globalisasi kapitalisme. Allahu a’alam bissawab.***

Judul diubah oleh redaktur Mandailing Online dari judul asli artikel “Gonjang Ganjing Produk Pendidikan Ala Kemendikbud?”

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.