TENTANG STANDAR HARGA SATUAN REGIONAL : SENTRALISASI FISKAL DAN KETIMPANGAN KEBIJAKAN ANGGARAN ANTAR DAERAH
Oleh : Rahmad Daulay, ST*
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan karakteristik geografis, ekonomi, dan sosial yang sangat beragam memerlukan pendekatan kebijakan anggaran yang adaptif dan responsif terhadap dinamika wilayah. Dalam konteks tersebut, hadirnya Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional menjadi salah satu instrumen penting dalam sistem penganggaran nasional.
Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional mengatur tentang satuan biaya honorarium, satuan biaya perjalanan dinas dalam negeri, satuan biaya rapat/pertemuan di dalam dan di luar kantor, satuan biaya pengadaan kenderaan dinas dan satuan biaya pemeliharaan. Namun dalam implementasinya, Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional mendapat banyak kritik, terutama dalam hal perjalanan dinas dalam kota/kabupaten yang dianggap tidak merefleksikan realitas biaya hidup dan operasional di daerah secara proporsional dan kontekstual.
Tujuan utama dari penerbitan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional adalah:
1. Efisiensi anggaran negara melalui standarisasi biaya untuk belanja pemerintah.
2. Transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran.
3. Konsistensi penganggaran antar daerah dan antar kementerian/lembaga.
4. Pengendalian belanja perjalanan dinas dan kegiatan operasional.
Namun, implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional ternyata menunjukkan berbagai persoalan struktural dalam sistem penganggaran nasional, terutama karena ketidakmampuan standar biaya ini mencerminkan kompleksitas geografis, ekonomi, dan kebutuhan pembangunan daerah yang berbeda-beda.
Adapun beberapa kritik terhadap Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional meliputi sebagai berikut :
1. Pendekatan “One Size Fits All” yang Tidak Kontekstual
Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional menggunakan pendekatan klasifikasi daerah secara umum, tanpa menyelami faktor-faktor lokal seperti:
A. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
B. Indeks Harga Konsumen (IHK)
C. Ketersediaan akses transportasi dan logistik
D. Kondisi infrastruktur daerah
Contoh konkret sebagai berikut : Biaya logistik ke daerah-daerah seperti Mentawai, Kepulauan Aru, atau Pegunungan Papua jauh lebih tinggi dibandingkan kota-kota besar di Pulau Jawa. Namun, biaya perjalanan dinas, akomodasi, dan honor kegiatan dibatasi dengan nilai yang tidak jauh berbeda, sehingga menyulitkan pelaksanaan kegiatan pemerintahan di daerah tertinggal, terdepan dan terluar.
2. Kontradiksi antara Sentralisasi Biaya dan Desentralisasi Pemerintahan
Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional mencerminkan semangat sentralistik dalam pengaturan biaya, padahal Indonesia telah mengadopsi sistem desentralisasi fiskal yang memberikan kewenangan luas kepada daerah untuk mengelola anggaran. Kebijakan ini secara tidak langsung menekan fleksibilitas daerah dalam merancang dan mengeksekusi program sesuai kebutuhan lokal. Pemerintah daerah cenderung menyesuaikan diri dengan standar pada Perpres nomor 33 tahun 2020 demi menghindari temuan BPK atau Inspektorat, bukan berdasarkan efisiensi lokal.
3. Menurunnya Kualitas dan Efektivitas Program Pemerintah
Batasan standar biaya regional sering kali tidak realistis sehingga menyebabkan:
A. Kualitas pelatihan dan kegiatan teknis menurun, karena tidak bisa mendatangkan narasumber berkualitas akibat honor yang terlalu rendah.
B. Penghematan biaya tidak disertai dengan efisiensi substansi, sehingga hanya menjadi pengurangan kuantitas kegiatan, bukan peningkatan kualitas.
Studi lapangan menunjukkan bahwa banyak program pemberdayaan masyarakat, pelatihan, hingga monitoring dan evaluasi (monev) tidak terlaksana maksimal karena keterbatasan alokasi biaya perjalanan dan konsumsi.
4. Kurangnya Partisipasi Daerah dalam Penyusunan Standar Biaya Regional
Standar biaya regional ditetapkan sepihak oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan tanpa melibatkan pemerintah daerah, asosiasi pengusaha swasta, atau lembaga independen. Akibatnya tidak ada mekanisme bottom-up budgeting dalam penetapan standar biaya regional dan pemerintah daerah hanya menjadi objek, bukan subjek dalam penyusunan kebijakan anggaran regional.
Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional memberi dampak terhadap kebijakan daerah yang meliputi sebagai berikut :
1. Daerah Tertinggal dan Kepulauan Daerah-daerah seperti NTT, Maluku, Papua, dan Kalimantan pedalaman menjadi korban terbesar kebijakan ini. Transportasi udara dan air menjadi kebutuhan utama, namun biaya dinasnya dipatok terlalu rendah.
2. Pemerintah Daerah Menjadi Canggung Dalam Penganggaran Pemerintah daerah kesulitan menyusun APBD yang realistis karena tertekan mengikuti standar biaya regional, sementara kebutuhan daerah sangat spesifik. Hal ini menyebabkan banyak kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan karena tidak sesuai biaya dan pegawai enggan menjalankan tugas lapangan karena biaya yang tidak mencukupi.
3. Penurunan Kinerja Birokrasi
Motivasi ASN dalam bekerja ke daerah/lapangan turun, terutama bagi ASN yang bekerja di wilayah perbatasan dan pedalaman. Mutasi dan penempatan ASN di daerah tertinggal menjadi masalah, karena biaya tugas lapangan yang tidak mencukupi.
Dari pendekatan kebijakan publik dan ekonomi politik anggaran, Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional menunjukkan kegagalan dalam menerapkan prinsip keadilan fiskal antar wilayah, kurangnya evaluasi kebijakan berbasis dampak riil di lapangan dan kecenderungan manajemen keuangan negara yang bersifat teknokratis namun tidak adaptif. Padahal prinsip kebijakan publik yang baik seharusnya kontekstual, partisipatif, dan berorientasi hasil.
Dalam menyikapi persoalan yang muncul sesuai uraian di atas perlu dilakukan Rekomendasi Strategis sebagai berikut :
1. Penyesuaian Kembali Standar Biaya Regional secara Dinamis
A. Perlu penyesuaian standar biaya regional yang mempertimbangkan data empiris daerah seperti Indeks Kemahalan Konstruksi, Indeks Harga Konsumen, dan data transportasi/logistik.
B. Sistem zonasi perlu diperluas dan diperbarui secara berkala.
2. Pelibatan Pemerintah Daerah dan Akademisi dalam Penyusunan Kebijakan
A. Kementerian Keuangan perlu membentuk task force bersama Kementerian Dalam Negeri dan perwakilan daerah yang representatif.
B. Kajian independen dari akademisi dan lembaga pengkajian perguruan tinggi harus menjadi dasar ilmiah dalam penyusunan standar biaya regional.
3. Harmonisasi Kebijakan antara Pusat dan Daerah
A. Perlu sinkronisasi antara Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional dengan regulasi Permendagri tentang pedoman penyusunan APBD dan Peraturan Gubernur/Bupati terkait belanja daerah.
B. Pemerintah daerah diberi ruang untuk menyesuaikan standar biaya secara legal dan formal.
4. Evaluasi Menyeluruh Terhadap Dampak Implementasi Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional
A. Audit implementasi kebijakan oleh BPKP perlu dilakukan untuk menilai bagaimana dampak dampak penerapan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional terhadap kualitas layanan publik dan efisiensi anggaran.
B. Indikator keberhasilan kebijakan harus mengukur output dan outcome, bukan sekadar penghematan biaya input.
Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional mengandung semangat efisiensi dan akuntabilitas keuangan negara. Namun, pendekatan yang terlalu sentralistik dan tidak kontekstual terhadap kondisi daerah justru menimbulkan ketimpangan dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan, khususnya di daerah-daerah dengan tantangan geografis dan ekonomi tinggi. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi menyeluruh dan reformulasi standar biaya regional yang berkeadilan, partisipatif, dan adaptif terhadap kebutuhan daerah. Kebijakan fiskal yang adil tidak cukup hanya mengatur distribusi dana, tetapi juga harus mampu menyesuaikan alat ukur pembelanjaannya sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing. Standar biaya regional bukan hanya sekadar angka, melainkan representasi dari penghargaan negara terhadap kompleksitas dan keberagaman Indonesia.
Salam Reformasi.
Kaki Pengunungan Bukit Barisan, 3 juni 2025.
*Penulis adalah mahasiswa Magister Terapan Sistem Informasi Akuntansi Politeknik Negeri Medan dan pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com