Pemerintah dan DPR akan mengesahkan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam waktu dekat. Namun, keduanya dinilai otoriter karena tertutup dalam proses pembahasannya. Baik Pemerintah maupun DPR seperti menutup hak rakyat untuk memberikan saran atau mengkritik materi RKUHP tersebut.
Apalagi dalam RKUHP tersebut terkandung pasal yang mengancam warga negara yang dianggap melakukan penghinaan terhadap Pemerintah, Gubernur, DPR dan Polisi. Warga yang disangka melakukan tindakan tersebut diancam hukuman penjara. Banyak pihak menilai RKUHP ini akan membawa negeri ini ke era lebih otoriter.
Selain pembahasannya tertutup, RKUHP tersebut berisi pasal yang bisa membungkam warga yang mengkritik pemerintahnya sendiri. RKUHP tersebut juga berpotensi menutup kewajiban mengoreksi penguasa.
Bahaya Pasal Karet
Pasal-pasal yang berisi ancaman terhadap warga yang dituduh melakukan penghinaan dikhawatirkan akan menjadi pasal karet. Artinya, penafsirannya mudah ditarik kesana-kemari secara sepihak oleh penguasa. Bisa saja orang yang mengkritik Pemerintah ditafsirkan sebagai menghina sehingga pelakunya dapat dijebloskan ke dalam penjara.
Padahal selama ini rakyat Indonesia sudah merasakan kejamnya pasal-pasal karet dalam UU ITE yang banyak menelan korban. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2008-2018 ada sekitar 35,92% pejabat negara (seperti menteri, kepala daerah, kepala instansi dan aparat keamanan) melaporkan warga dengan memanfaatkan UU ITE. Banyak ulama, tokoh Islam ataupun oposisi yang masuk tahanan dengan tuduhan menghina pejabat atau berencana melakukan makar.
Anehnya, hukum justru berlaku tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Sejumlah orang ditangkap karena sikap kritis terhadap kekuasaan dan para pendukungnya. Namun, tidak banyak penangkapan terhadap para buzzer yang menghina ulama, tokoh Islam dan ajaran Islam.
Hasilnya, menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2020, tingkat ketakutan warga negara dalam penyampaian kritik dan pendapat terhadap Pemerintah cukup tinggi. Dalam laporan akhir tahun tersebut disebutkan sebanyak 29 persen responden takut memberikan pendapat dan mengkritik Pemerintah. Sebanyak 36,2 persen responden atau warga negara merasa takut menyampaikan pendapat dan kritik di dunia maya.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat sedikitnya ada 29 kebijakan Pemerintah sejak 2015 yang dipimpin Presiden Joko Widodo yang dinilai mencerminkan tanda-tanda otoritarianisme. Kebijakannya pun bermacam-macam; mulai dari kebijakan ekonomi negara, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat, kebijakan dwi fungsi pertahanan keamanan hingga kebijakan politik yang memperlemah partai oposisi.
Jika RKUHP ini jadi disahkan, kekuasaan Pemerintah dan DPR makin otoriter. Keduanya makin sulit dikritik. Padahal selama ini banyak kebijakan dan undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR tidak berpihak kepada rakyat.
Inilah tipudaya demokrasi; mengklaim kedaulatan di tangan rakyat, tetapi justru membungkam suara kritis rakyat terhadap penguasa.
Wajib Mengoreksi Penguasa!
Di dalam Islam sudah diajarkan aktivitas muhâsabah (mengoreksi kesalahan) sesama Muslim yang pahalanya besar di sisi Allah SWT. Itulah amar makruf nahi mungkar yang menjadikan umat ini mendapat gelar umat terbaik dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
كُنتُمْ خَيرَ أُمَّةٍ أُخرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأمُرُونَ بِٱلمَعرُوْفِ وَتَنهَوْنَ عَنِ ٱلمُنْكَرِ وَتُؤمِنُوْنَ بِٱللَّهِ
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah (TQS Ali Imran [3]: 110).
Umat Muslim berbeda dengan kaum Bani Israil yang dilaknat oleh Nabi Dawud as. dan Nabi Isa as. karena senantiasa mendiamkan kemungkaran (Lihat: QS al-Maidah [5]: 78-79).
Amar makruf nahi mungkar yang terbesar adalah yang ditujukan kepada penguasa, yakni mengoreksi kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Begitu mulianya amal ini sehingga disebut oleh Nabi saw. sebagai jihad yang paling utama. Beliau bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa zalim (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Dailami).
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. menyebutkan orang yang beramar makruf nahi mungkar di hadapan pemimpin zalim akan mendapatkan kedudukan sebagai pimpinan para syuhada di akhirat. Beliau bersabda:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ
Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muththalib dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintah (dengan kemakrufan) dan melarang (dari kemungkaran) penguasa tersebut, kemudian penguasa itu membunuh dirinya (HR al-Hakim dan ath-Thabarani).
Sering orang mendiamkan kemungkaran penguasa dengan dalih menaati ulil amri atau menyebut hal itu sebagai amal menutupi aib sesama Muslim. Padahal mendiamkan kemungkaran penguasa adalah kemungkaran yang besar. Nabi saw. menjelaskan bahwa meninggalkan amar makruf nahi mungkar, terutama terhadap para penguasa, akan berdampak pada terhalangnya doa dan munculnya para pemimpin jahat. Beliau bersabda:
لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ ثُمَّ لَيَدْعُوَنَّ خِيَارُكُمْ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ
Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menguasakan atas kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian, lalu orang-orang baik di antara kalian berdoa dan doa mereka tidak dikabulkan (HR al-Bazzar).
Mengoreksi penguasa bukanlah penghinaan atau pelecehan, juga bukan membuka aib sesama Muslim. Pasalnya, obyeknya adalah kebijakan mereka yang zalim pada rakyat, bukan pribadi mereka. Kebijakan zalim tersebut seperti memperjualbelikan kepemilikan umum (BBM, gas, air, listrik, dll) kepada rakyat, padahal itu adalah hak mereka; menyerahkan kepemilikan SDA kepada pihak asing-aseng; mengkriminalisasi ajaran Islam seperti jihad dan khilafah; mencurigai dakwah sebagai aktivitas terorisme; dsb. Semua ini tentu wajib dikritik dan dikoreksi. Begitu pula kelicikan penguasa seperti mencari keuntungan pribadi atau oligarki dari jasa layanan publik semisal pendidikan, kesehatan, dsb juga wajib diluruskan.
Menghalang-halangi amar makruf nahi mungkar adalah kemungkaran. Ini berarti akan melanggengkan kezaliman penguasa sekaligus bisa menyebabkan kerusakan yang sangat besar sebagaimana diingatkan oleh Rasulullah saw.:
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي ثُمَّ يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوا إِلَّا يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ
Tidaklah ada suatu kaum, yang di tengah-tengah mereka berbagai kemaksiatan dilakukan, yang mampu mereka ubah, tetapi tidak mereka ubah, melainkan sangat mungkin Allah meratakan atas mereka azab-Nya (HR Abu Dawud).
Jika mendiamkan kemungkaran di depan mata bisa mendatangkan siksa Allah SWT, apalagi jika dibuat undang-undang yang menghalang-halangi aktivitas amar makruf nahi mungkar? Jelas lebih besar lagi kemungkarannya.
Adapun menghina pribadi seseorang, termasuk penguasa, maka ada dua kategori: Pertama, mencela seorang Muslim dengan mengungkap aib yang ada pada dirinya. Kedua, mencela Muslim tanpa mempedulikan apakah aib itu ada pada saudaranya ataukah tidak. Kedua hal ini haram. Nabi saw. bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ
Mencela seorang Muslim merupakan kefasikan (HR Muttafaq ‘alayh).
Terhadap aib-aib pribadi siapapun, termasuk aib penguasa, ada perintah untuk menutupinya dan larangan menyebarkannya. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللَّهُ فِي اَلدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Siapa saja yang menutupi aib seorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat (HR. Muslim)
Warisan Romawi
Sesungguhnya Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di tengah-tengah umat hari ini adalah warisan dari kaum imperialis Belanda. Sementara Belanda menggunakan undang-undang pidana tersebut berdasarkan turunan dari code penal Prancis, dan Prancis adalah negara yang melakukan kodifikasi terhadap hukum Romawi.
Ironis, di tengah kriminalisasi terhadap seruan penerapan syariah dan khilafah karena dianggap ide asing, transnasional, justru negeri ini memberlakukan undang-undang pidana yang berasal dari negara asing, bahkan imperialis. Hal inilah yang telah diingatkan Nabi saw.:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah saw., “Apakah mereka itu mengikuti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi.” (HR al-Bukhari).
Padahal Allah SWT telah menunjukkan kepada umat ini syariah-Nya yang pasti memberikan kebaikan dan membuka banyak keberkahan. Sudah seharusnya umat kembali pada syariah Islam sebagai bukti keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah SWT. Mereka wajib meyakini bahwa tidak ada aturan terbaik selain syariah-Nya.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb.
—*—
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
أَفَحُكمَ ٱلجَٰهِلِيَّةِ يَبغُونَۚ وَمَنْ أَحسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكمًا لِقَومِ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Dicopy dari: Buletin Kaffah No. 248
(24 Dzulqa’dah 1443 H/24 Juni 2022 M)