Oleh: Djumriah Lina Johan
Aktivis Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan pemerintah daerah segera melakukan langkah tanggap darurat setelah terjadi gempa bumi 6,1M di Jawa Timur (jatim) pada Sabtu (10/4/2021). Instruksi yang sama juga diberikan Jokowi kepada kementerian serta lembaga negara terkait.
“Saya telah memerintahkan kepada Kepala BNPB, Kepala Basarnas, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Menteri PUPR serta Panglima TNI dan Kapolri beserta seluruh jajaran aparat terkait lainnya juga pemprov, pemerintah kota, dan kabupaten untuk segera melakukan langkah-langkah tanggap darurat,” ucapnya. (iNews.id, Minggu, 11/4/2021)
Sedang menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Azis Syamsuddin menekankan pentingnya mitigasi bencana melalui pemanfaatan teknologi. Menurutnya, ini poin penting yang harus mulai diterapkan oleh pemerintah.
Ini berkaca dari bencana alam yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) maupun musibah gempa di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Selain mitigasi bencana, sistem informasi peringatan dini bencana harus mudah diakses masyarakat. Khususnya di daerah pegunungan dan pesisir pantai. (Merdeka.com, 11/4/2021)
Sesungguhnya bencana yang menimpa negeri ini terus berulang dari tahun ke tahun dan semakin meluas. Wajar jika kita menilai, kalau penguasa negeri ini lambat menangani bencana dan sangat minim upayanya penanggulangan terhadap bencana. Hal ini tidak terlepas dari pemerintah negeri ini yang mengusung sistem kapitalis sekuler sehingga sulit untuk diharapkan bisa memperhatikan nasib rakyatnya.
Kontras sekali dengan Islam. Islam sangat memperhatikan rakyatnya, individu per individu maupun masyarakatnya secara keseluruhan. Dalam Islam, seorang muslim tentu memiliki kewajiban untuk menolong dan membantu saudara-saudaranya yang sedang ditimpa kesulitan, termasuk akibat banjir, gempa dan bencana lainnya.
Namun demikian, tanggung jawab terbesar sesungguhnya ada di pundak negara sebagai pengurus, pelayan dan pelindung rakyat. Sudah seharusnya negara mengupayakan penanggulangan bencana dan senantiasa stand by dalam menangani bencana dan korbannya.
Sabda Rasulullah saw., “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari Muslim)
Artinya, negara wajib mengelola bencana yang menimpa secara langsung dan tidak menyerahkan urusannya kepada pihak lain. Pengelolaan bencana yang dilakukan negara ini meliputi penanganan pra bencana, ketika dan pascabencana.
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Tirmidzi)
Islam memandang bahwa makanan, pakaian dan tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok umat, sedangkan keamanan, kesehatan dan pendidikan termasuk kepada masalah pelayanan umum dan kemaslahatan hidup yang terpenting, karenanya negara berkewajiban memenuhinya bagi seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu.
Pengadaan dan jaminan terhadap kebutuhan pokok dan pelayanan mendasar ini ditanggung sepenuhnya oleh negara, baik untuk orang miskin atau kaya, muslim maupun nonmuslim. Terlebih lagi ketika terjadi bencana, negara yang berkewajiban untuk memenuhinya sampai rasa laparnya hilang, tercukupi pakaiannya sehingga tertutup auratnya, dan terpenuhi tempat tinggalnya sehingga ia terlindungi dari hal-hal yang bisa membahayakannya. Demikian pula dengan kesehatan dan keamanan serta pendidikannya.
Lantas bagaimana negara Islam menangani bencana?
Keberadaan potensi bencana alam di suatu tempat merupakan ketetapan Allah yang tidak bisa dihindari. Akan tetapi ada ikhtiar yang harus dilakukan untuk menghindar dari keburukan yang dapat ditimbulkan, dan hal ini sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat. Sehingga potensi bencana alam dengan izin Allah dapat dihindari dengan kebijakan negara Islam yang tidak lepas dari nash (dalil hukum syara) dan pertimbangan aqliyah (akal).
Dalam konteks penanganan terhadap musibah, negara Islam menggariskan kebijakan-kebijakan komprehensif yang tegak atas akidah Islamiyah. Prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam dan ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Penanganan bencana ini meliputi penanganan prabencana, ketika, dan pascabencana.
Penanganan prabencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana, hal ini sering disebut mitigasi.
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana baik bencana alam, bencana ulah manusia maupun gabungan dari keduanya.
Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain sebagainya. Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain.
Negara Islam membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih, seperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana, dan lain-lain, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-daerah bencana.
Tim ini juga bergerak secara aktif melakukan edukasi terus-menerus kepada masyarakat, hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, menangani, dan me-recovery diri dari bencana.
Adapun manajemen ketika terjadi bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian material akibat bencana.
Kegiatan-kegiatan penting yang dilakukan adalah evakuasi korban secepat-secepatnya, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban, serta memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke tempat-tempat yang tidak dihuni manusia, atau menyalurkannya kepada saluran-saluran yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Kegiatan lain yang tidak kalah penting adalah penyiapan lokasi-lokasi pengungsian, pembentukan dapur umum dan posko kesehatan, serta pembukaan akses-akses jalan maupun komunikasi untuk memudahkan tim SAR untuk berkomunikasi dan mengevakuasi korban yang masih terjebak oleh bencana.
Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya kegiatan ini tergantung pada berhasil tidaknya kegiatan pra bencana.
Sedangkan penanganan pascabencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk: (1) me-recovery korban bencana agar mereka mendapatkan pelayanan yang baik selama berada dalam pengungsian dan memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi, stres, ataupun dampak-dampak psikologis kurang baik lainnya.
Adapun kegiatan yang dilakukan adalah kebutuhan-kebutuhan vital mereka, seperti makanan, pakaian, tempat istirahat yang memadai, dan obat-obatan serta pelayanan medis lainnya.
Recovery mental bisa dilakukan dengan cara memberikan tausiah- tausiah atau ceramah-ceramah untuk mengukuhkan akidah dan nafsiyah (kejiwaan) para korban; (2) me-recovery lingkungan tempat tinggal mereka pascabencana, kantor-kantor pemerintahan maupun tempat-tempat vital lainnya, seperti tempat peribadahan, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya.
Jika negara Islam memandang tempat terkena bencana masih layak untuk di-recovery, negara akan melakukan perbaikan-perbaikan secepatnya agar masyarakat bisa menjalankan kehidupannya sehari-harinya secara normal seperti sedia kala. Bahkan jika perlu, khalifah akan merelokasi penduduk ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif.
Untuk itu, negara Islam akan menerjunkan tim ahli untuk meneliti dan mengkaji langkah-langkah terbaik bagi korban bencana alam. Mereka akan melaporkan opsi terbaik kepada khalifah untuk ditindaklanjuti dengan cepat dan profesional.
Inilah gambaran mitigasi dan penanganan bencana di dalam Islam. Namun, konsep di atas hanya akan bisa diwujudkan kala syariat Islam diterapkan secara total dalam bingkai aturan bernegara. Wallahu a’lam.