Serba Serbi

Padi Varietas IF16, Menghasilkan 12 Ton/Ha

Padi varietas IF16

 

Petani di Mandailing Natal (Madina) bisa bergembira. Saat ini sudah ada varietas padi yang mampu menghasilkan gabah 12 ton per hektar.

Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) yang memperkenalkan varietas padi unggul IF (Indonesian Farmers) 16.

AB2TI adalah asosiasi yang didirikan petani.

Selain disebut tahan hama penyakit seperti wereng batang cokelat, penggerak batang padi dan blast, varietas ini mempunyai produktivitas mencapai 12 ton/hektar (ha) gabah kering panen (GKP).

Selain itu, rasanya juga lebih pulen saat diolah menjadi nasi.

Lahirnya IF16 sebenarnya berawal April 2019 lalu saat diselenggarakan Festival Padi di Indramayu.

Sebelum kegiatan itu AB2TI mengundang jejaring di seluruh Indonesia untuk mengirimkan benih lokal unggul dari daerahnya masing-masing.

Saat itu terkumpul 360 varietas yang diperkenalkan. Namun setelah dilakukan seleksi, terutama kemiripan antar varietas tersebut, dipilih 90 varietas yang diuji melalui “nandur bareng”.

Dwi Andreas mengungkapkan, ke-90 varietas tersebut kemudian ditanam bersamaan di satu lokasi dan dipanen saat Festival Padi 2019 tanggal 28 – 30 April 2019.

Dari 90 varietas tersebut ada tiga varietas unggul yang didapatkan dan kemudian diberinama IF16 dengan produktivitas 14,06 ton/ha, IF17 sebesar 10 ton/ha dan IF18 sebanyak 9 ton/ha.

“Karena IF16 menjadi varietas yang paling tinggi produktivitasnya, kemudian petani jejaring AB2TI di Indramayu menanam kembali varietas tersebut,” ujarnya.

Dwi Andreas menjelaskan, bukan hanya petani AB2TI di Indramayu saja yang tertarik menanam varietas IF16, tapi petani sekitar lainnya.

Bagi petani lain, varietas IF16 dikenal dengan sebutan Ciherang Tuban karena merupakan hasil seleksi dari Tuban.

“Dari hasil pertanaman di desa Kalensari, kecamatan Widasari menjadi pelajaran kita semua, varietas tersebut bisa dikembangkan lebih lanjut,” katanya.

Aryanto dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat saat panen IF16 juga mengakui, keunggulan varietas tersebut.

Meski jumlah rumpun IF16 dalam satu ubinan hanya 48, ternyata produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan Inpari 32 yang mempunyai rumpun hingga 60. “Dari hasil ubinan produktivitas IF16 mencapai 12 ton/ha, padahal rata-rata di Jawa Barat hanya 5,8 ton/ha,” katanya.

Tim dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman, Kementerian Pertanian juga mengunjungi lokasi penanaman IF16 pada tanggal 14 Agustus 2019 dan menyatakan kekagumannya terhadap IF16.

Prof Erizal Jamal, Kepala Pusat PVT setelah merima laporan tim yang berkunjung juga menyatakan  “kami takjub dengan hasilnya, luar biasa”.

Jika dibandingkan dengan varietas IF16, IF8 memang berbeda, terutama dari sisi rasa. IF8 lebih cocok untuk konsumsi masyarakat Sumatera yang menyukai beras agak pera.

Sedangkan IF16 untuk masyarakat Jawa yang menyenangi beras pulen.

Namun demikian jika dibandingkan dengan varietas yang biasa di tanam petani yakni Ciherang, IF8 mempunyai produktivitas hampir dua kali lipat dibanding Ciherang, meski umurnya lebih panjang.

Karena kelebihan itu Dwi Andreas mengakui, varietas IF8 tersebar dengan cepat di kabupaten Aceh Utara dan kabupaten lainnya yang akhirnya menimbulkan kontroversi.

Dwi Andreas menyatakan, varietas IF8 berasal dari petani Karanganyar yang berhasil menyelekasi beberapa galur sejak tahun 2012. Sejak itu dilakukan beberapa kali pertanaman dan hasilnya relatif stabil. Kemudian tahun 2014, AB2TI melepas IF8.

“Sejak tahun 2014 hingga 2015, varietas IF8 ditanam petani di 13 kabupaten jejaring AB2TI di Indonesia. Hasilnya produktivitas IF8 lebih tinggi 57,36 persen dari petani sekitar,” tuturnya.

Dengan hasil itu, lanjut Dwi Andreas, sebanyak 9 kampung di Aceh berniat untuk menanam IF8 dengan menyediakan lahan seluas 400 ha. Bahkan varietas IF8 diserahkan langsung ke Gubernur untuk kemudian disalurkan ke petani untuk lahan seluas 200 ha.

“Panen pada April 2018, produksinya lebih tinggi hampir dua kali lipat varietas lainnya, sehingga menjadi sangat dikenal di Aceh Utara,” katanya dalam keterangan pers tertulis kepada Tribunnews, Rabu (21/8/2019).

Jangan Salahkan Petani

Dwi Andreas menegaskan, sikap petani untuk membudidayakan varietas IF8 tidak bisa disalahkan. Sebab secara konstitusi, UU No. 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman, petani bebas membudidayakan tanaman yang mereka inginkan.

Berdasarkan hasil yudicial review terhadap UU No. 12 Tahun 1992, Mahkamah Konstitusi melalui keputusannya Nomor 99/PUU-X/2012, mengubah Pasal 12 ayat (1) UU No 12/1992 menjadi “Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah kecuali pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri”.

“Karena petani kecil yang memproduksi dan mengedarkan. Jadi saya lihat tidak ada UU yang dilanggar. Apalagi penyebaran tersebut sebatas di komunitas AB2TI sehingga tidak melanggar peraturan pemerintah,” tegasnya.

Karena itu Dwi Andreas menyayangkan sikap adanya petani yang ditangkap karena menyebarkan benih padi unggul.

Sebab, secara aspek hukum, mereka tidak melakukan pelanggaran.

Bahkan petani Aceh yang menanam padi IF8 pendapatannya bertambah, selain karena produktivitasnya hampir dua kali lipat varietas lainnya harga gabah IF8 dibeli Rp 1.000/kg lebih tinggi dari gabah lainnya.

Dwi Andreas mengungkapkan, kasus penangkapan petani karena memproduksi dan menyebarkan benih unggul pernah terjadi tahun 2005-2017. Saat itu ada belasan petani yang mengembangkan jagung hibrida mendapatkan masalah hukum.

“Pemerintah juga harus melihat cepatnya petani mengadopsi varietas IF8 menjadi pelajaran. Selama ini tidak ada varietas padi atau tanaman pangan yang dalam 1 tahun diadopsi sedemikian cepat,” katanya.

Dwi Andreas menegaakan, seharusnya pemerintah mendorong dan mendukung petani yang menghasilkan benih unggul. Selain itu harus diakui “penilai varietas” yang sesungguhnya adalah petani.

Varietas yang tidak bisa diterima petani misalnya karena tidak tahan hama dan/atau penyakit, produksi rendah atau tidak memiliki karakter unggul lainnya pasti akan ditolak petani dan tidak pernah lagi dikembangkan. Petani kecil yang berjejaring dalam AB2TI memiliki tujuan yang sama dengan pemerintah yakni untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani. Apalagi benih yang dihasilkan berasal dari dalam negeri, bukan impor.

Dwi Andreas juga melihat proses sertfikasi benih oleh pemerintah cukup lama hingga 4 tahun. Kemudian untuk mendapatkan ijin edar masih perlu 2 tahun lagi. Belum lagi persyaratan untuk bisa mengedarkan, petani harus mempunyai badan usaha resmi.

“Untuk pendaftaran varietas tanam serta mendapatkan ijin edar bagi petani akan sangat sulit dan berat, dengan biaya yang sangat tinggi,” katanya.

Sumber : Tribun News com

 

 

 

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.