Artikel

Penyematan Satu Nama Ruas Jalan Dibarter Satu Pulau? SungguhTerlalu!

Oleh : Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik

Minggu lalu tersiar satu kabar yang diinformasikan oleh Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Merah Johansyah. Ia menuliskan dalam akun twitter pribadinya bahwa 1 ruas jalan nama Presiden Joko Widodo Street di Kota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab ditukar dengan 256 ribu Ha di Kaltim. Ia menyebutkan bahwa luas 256 ribu Ha yang dibarter dengan nama Presiden tersebut sama dengan empat kali luas Jakarta. Wow, kelihatannya bisa membangun satu dinasti untuk UEA di Kaltim.

Menurut Johan, hal tersebut berkaitan dengan putra Mahkota Abu Dhabi yang menjadi ketua dewan pengarah Ibu Kota. Ia juga menyebutkan bahwa hal tersebut adalah peragaan bisnis pasca omnibus law Cilaka yang melindas buruh dan lingkungan. Johan Mera Merah juga menilai bahwa dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah  upaya menggadaikan sumber daya alam di Kaltim dengan dalih pemindahan Ibu Kota. Ia menegaskan menuju omnibus penggadaian selanjutnya berkedok proyek ibukota baru.

Fakta yang dikabarkan Johan terkait penamaan satu ruas jalan dengan nama Presiden Jokowi benar adanya. Sebab sebelumnya, melalui instagram pribadi Jokowi menceritakan namanya menjadi nama seruas jalan di Kota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab yang diresmikan oleh Sheikh Khalid bin Mohammed bin Zayed Al Nahyan, Chairman Abu Dhabi Executive Office.

Presiden mengatakan bahwa penyematan namanya adalah bentuk  penghargaan dan kehormatan. Namun bukan semata-mata untuk pribadi Jokowi tetapi untuk Indonesia. Jokowi lanjut mengatakan hal tersebut adalah sebuah gambaran betapa eratnya hubungan di antara dua negara yang kini bekerja sama dalam berbagai bidang. Masih menurut Jokowi, di balik penamaan jalan itu, tersimpan harapan hubungan kedua negara semakin kokoh, saling menguatkan, dan bermanfaat bagi rakyat Uni Emirat Arab dan Indonesia. (kompas.com. 22/10/2020).

Presiden boleh saja menilai penyematan namanya sebagai hal positif menurut hematnya. Akan tetapi, penilaian juga harus sesuai fakta, bukti dan analisis. Jika  sekedar menilai, yang ada hanya tipuan berkedok pencitraan. Apakah memang benar, bahwa penyematan nama Presiden Jokowi di UEA akan membawa manfaat bagi rakyat dan negeri ini? Manfaat seperti apa yang akan didapat? Tentu saja orang lain juga punya hak kebebasan yang dijamin untuk menyampaikan argument-argumen rasional dalam menyikapi setiap peristiwa. Termasuk peristiwa ini.  Rasanya sangat sulit mengaminkan pernyataan Presiden Jokowi.  Hal itu dapat dianalisis sebagai berikut.

Pertama, seperti yang disampaikan oleh Johan, bahwa penyematan nama Jokowi berhubungan dengan transaksi pelepasan lahan ratusan ribu hektar di Kaltim untuk Putra Mahkota Abu Dhabi sebagai dewan pengawas proyek ibukota baru. Artinya, penyematan nama itu bukanlah free. Bayangkan, satu ruas jalan dengan satu nama dibarter dengan satu wilayah yang luasnya bias mencapai satu  pulau? Sungguh terlalu.

Kedua, barter seperti itu sangat irrasional. Pasti ada kesepakatan yang sebenarnya tidak terpublikasi antara pemerintahan Jokowi- UEA terkait kepentingan yang menguntungkan mereka. Terlebih jika dikaitkan dengan  syahwat rencana pemindahan ibukota ke pulau Kalimantan. Dan UEA terlibat  didalamnya  sebagai dewan pengurus sekaligus merangkap sebagai bagian investor yang akan memberikan utang bagi Indonesia. Prinsip simbiosis kapitalisme akan berjalan antara Indonesia- UEA. Jika alasannya demikian, baru rasional dibarter dengan ratusan ribu ha tanah. Sebab utang investasi yang ditanam oleh UEA pun tidak akan sedikit dan tentunya haram rugi. Begitulah watak kapitalisme sesungguhnya. 

Ketiga, tidak cukup hanya dengan barter tanah/pulau. Tanah-tanah yang dijanjikan juga tidaklah sembarang tanah kosong. Tetapi tanah yang subur untuk menanam investasi baik untuk tanaman maupun isi pulau berupa sumber daya alam yang tersimpan dalam perutnya. Dapat tanah, plus bonus sumber kekayaannya. Bukankah Indonesia memiliki 13 ribu pulau yang sebagian besar belum terjamah dan masih banyak menyimpan misteri kekayaan? Para investor asing, apakah itu China, USA, UEA, Korea, Autraslia jelas saja sangat bersemangat menjadi partner bisnis pembangunan ibukota baru. Karena keuntungan yang didapat berlipat-lipat dari modal yang dikeluarkan. Watak kapitalisme bukan?

Ketiga,  Presiden Jokowi mengatakan bahwa penyematan namanya adalah kebanggan bagi Indonesia dan bermanafaat dalam relasi bilateral kedua Negara. Oh really? Kebanggan bagi Indonesia maksudnya seperti apa? Bukankah yang ditulis jadi satu ruas jalan hanya nama Jalan Jokowi bukan Jalan Indonesia? Lalu, kenapa Indonesia harus bangga? Mungkin secara personal, Jokowi merasa tersanjung dan bahagia.Tetapi Jokowi jangan salah, sebelumnya juga sudah ada nama tokoh nasional yang namanya disematkan di ruas jalan Negara luar. Tapi tak memberi pengaruh apapun, selain hanya tulisan. Dan andai beberapa tahun kemudian, UEA mencabut nama Jokowi dari jalan tersebut, apakah itu menandakan hubungan jadi memburuk? Apakah baik-buruk relasi bilateral dipengaruhi oleh nama ruas jalan? Very imposibble! Darimana menilainya?

Keempat, secara karakter alamiah, masyarakat negeri ini memang suka disanjung dan dipuji. Khususnya para pejabat atau penguasa. Bahkan sampai lupa diri. Dulu juga pernah Ada mantan Presiden mendapat gelar kehormatan Ratu Inggris. Apakah semua itu membuat Indonesia lebih baik dimata dunia? Atau semakin kuat posisinya di panggung politik global? Atau ekonominya semakin membaik dari penyematan gelar-gelar tersebut? Dari sanjungan-sanjungan yang diberikan? Terkadang musuh sangat lihai membaca karakter lawannya untuk menguasai kelemahannya. Tetapi sayang, yang dikuasai malah merasa terlena seperti di atas awan. Hingga semakin bisa dikuasai dan terus dikuasai.

Inilah hakikat nyata karakter Penguasa negara – Negara yang mengadopsi ideologi kapitalis. Antar penguasa kapitalis akan memainkan dan menerima perannya dengan dua posisi. Sebagai peraih untung atau yang buntung. Jokowi merasa beruntung dengan investasi asing yang ditanamkan para pemodal dalam mega proyek ibukota baru, karena impian hadirnya infrasturktur supermegah dan modern segera terwujud. Namun yang sebenarnya posisi Jokowi dan Indonesia adalah buntung.

Disisi lain, para investor telah menghitung-hitung keuntungan yang akan diraih. Mulai dari keuntungan bagi negaranya, rakyatnya, pribadinya serta kelompoknya. Proyek diterima, modal ditanam, tenaga kerja dibawa, serta keuntungan pribadi masuk rekening. Sementara Negara yang dibangun seperti Indonesia, hanya fisik yang berubah, dan dibangun di atas utang yang akan membebankan rakyat. Memangkas lapangan kerja, menumpuk utang riba, menggadaikan tanah air, hingga menguasaia sumber daya alam yang seharusnya milik rakyat dan demi kesejahteraan hidup manusia didalamnya. Inikah keuntungan dari relasi bilateral atau multilateral dengan Negara-negara kapitalis?

Sungguh terlalu! Rakyat harus disuguhkan dengan informasi kecil dan menyembunyikan kebenaran yang pahit. Sudah seharusnya praktik-praktik kedzaliman kapitalisme segera diakhiri. Tentu saja harus dengan mencampakkan kapitalisme itu sendiri, lalu menggantinya dengan sistem Islam yang akan mensejahterakan dan membawa berkah bagi pertiwi. Serta mampu   memutus ketergantungan utang terhadap Negara-negara serakah kapitalis.

Dengan demikian, mengakhiri hubungan yang fasad dan batil kepada Negara asing kapitalis adalah kewajiban bersama masyarakat negeri ini. Saling mengajak untuk menerapakan aturan Islam bersama dari semua kalangan masyarakat. Tidak ada solusi lain untuk Indonesia lebih baik selain dengan Islam. Meskipun partner mega proyek pembangunan negeri ini bersama negeri muslim seperti UEA, hakikatnya juga termasuk Negara penganut kapitalisme tulen yang bahkan hanyalah boneka-boneka Tuan Amerika dan China. Wallahu a’lam bissawab.***

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.