Oleh : Roy Samsuri Lubis
Editor / tinggal di Madina
Pendidikan secara umum diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran untuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, pendidikan adalah upaya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak.
Secara gamblang tidak ada kata menambah “Ilmu” (teori-pen) dalam arti pendidikan, melainkan mengembangkan pikiran, yaitu memacu anak-anak berpikir jauh ke depan, menemukan hal-hal baru, atau membaca apa yang ada dengan cara berbeda sehingga keterampilan berpikir terasah. Namun, pada kenyataannya sekolah sebagai unit pendidikan justru fokus pada satu hal; menjejali otak anak-anak dengan segudang teori. Teori-teori ini semakin hari semakin bertambah tanpa satu pun dipikirkan, ditelaah, disimpulkan, dan dikembangkan.
Kapan terakhir Anda temukan anak SMA melakukan kajian sejarah di daerah ini dan bagaimana kesamaannya dengan sejarah Nasional? Atau seperti apa masyarakat Madina dalam kajian sosiologi serta apa latar belakang yang membentuk karakter masyarakat Madina? Kapan terakhir Anda menonton pertunjukan teater anak-anak SMA? Siapa saja di antara kita yang ketika di bangku SMA sering diskusi isi buku sastra yang kita baca? Padahal itu merupakan ornamen penting yang sering diabaikan.
Sekolah secara mengejutkan menjadikan anak-anak sebagai objek penghafal teori dari berbagai bidang ilmu dengan satu kewajiban; berhasil mencapai nilai minimal ketuntasan dari semua disiplin ilmu yang diajarkan. Sedangkan pengambil kebijakan, jika tidak bisa disebut pemangku kepentingan proyek, sibuk menciptakan teori pendidikan (kurikulum) sehingga terkesan bekerja. Teori-teori ini setiap tahun diujicobakan di setiap unit pendidikan. Tak penting berhasil atau tidak selama dokumen kepentingan pencairan dana dapat diisi.
Berkali-kali terjadi perubahan dalam kurikulum sejak KBK diperkenalkan pada tahun 2004 menggantikan CBSA yang melegenda. Sejak saat itu kita mengenal KTSP dan K13 dengan segala bentuk revisi yang seakan tiada pernah selsesai. Kurikulum-kurikulum ini-sepanjang pengamatan saya-dipaksa berlaku meski secara draf belum siap pakai. Sekolah seolah diperkosa para pembuat kebijakan. Pada akhirnya menimbulkan kekacauan di sekolah-sekolah; terlebih yang ada di daerah. Guru-guru banyak yang bingung dalam menerapkan kurikulum yang berubah-ubah ini sedangkan pemerintah terlihat setengah hati memberikan sosialisasi dan pelatihan secara intens.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah kerap menyampaikan bahwa kurikulum yang digunakan merupakan adopsi dari kurikulum negara-negara sahabat yang telah “direvisi” sehingga siap pakai dan sesuai dengan anak-anak kita. Meski pada kenyataannya tidak demikian. Australia, Jepang dan Kanada merupakan negara-negara yang sering menjadi bahan komparsi kebijakan kurikulum itu.
Namun, saat ada yang bertanya kenapa tidak dicoba mengadopsi sistem pendidikan Finlandia yang berkali-kali menjadi nomor satu dalam peringkat pendidikan terbaik, pembuat kebijakan dengan sangat yakin akan menjawab “Kita belum siap”. Anomali