Artikel

Rumah Ibadah Diawasi, Mungkinkah Kebebasan Beragama Masih Terjamin?

Oleh: Mariani Siregar M.Pd.I
Dosen Pendidikan Islam

Lagi-lagi, rumah ibadah dilirik. Setelah kepala BNPT terbaru dilantik, program mengejutkan ini ibarat shocked therapy bagi masyarakat. Meskpiun bukan pertama kali wacana atau narasi-narasi pengawasan atau penargetan menyasar keyakinan atau agama. Terlepas penafsiran kata agama itu multitafsir di kalangan pemilik kebijakan. Intinya, agama sedang dilirik dan ditarget.

Sebelumnya, ada kebijakan yang membuat sertifikat penceramah untuk mengawasi para “penceramah tak bersertifikat”. Kemudian menyusul “pengaturan volume azan“ di masjid, yang dinilai mengganggu ketertiban bagi kelompok tertentu.

Tetapi, ketika tafsir dimunculkan yang mengarah pada satu agama tertentu, justru dianggap berlebihan dan tidak benar. Bahkan dikakatan terlalu dini atau buru-buru menafsirkan. Padahal, kenyataan di lapangan sudah memperlihatkan makna-makna yang ditafsirkan.

Kini, rumah ibadah (the house of whorship) pun dianggap sebagai tempat “berbahaya” oleh BNPT. Seperti yang telah menjadi pemberitaan di berbagai media dan surat kabar (detik.com, 06/09/2023), bahwa  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia agar tidak menjadi sarang radikalisme.

Usulan untuk mencurigai rumah ibadah tersebut disampaikan oleh Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (4/9/2023). Alasannya, usulan disampaikan demi menanggapi pernyataan anggota DPR Komisi III Fraksi PDIP, Safaruddin, yang awalnya mengulas kisah karyawan BUMN yakni PT KAI yang diisukan terpapar paham radikalisme.

Kemudian Sarifuddin membeberkan hasil pengamatannya terkait masjid di BUMN, kawasan Kalimantan Timur, yang setiap hari mengkritik pemerintah.

Masihkan Kebebesan Beribadah Mampu Terjamin?

Rencana pengawasan atau pengontrolan rumah ibadah yang diusulkan oleh kepala BNPT terbaru, kini sedang menuai kontroversi di berbagai kalangan. Bahkan diantara anggota dewan sendiri, banyak yang tidak sepakat dengan usulan tersebut.

Sebagian menilai, jika itu diterima, maka negeri ini telah menghianati undang-undang dasar 1945, yang telah menjamin kebebasan beragama bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

Sebagian lagi menganggap, pemikiran tersebut justru kembali ke zaman kemunduran alias penjajahan. Sebab, kondisi pengawasan rumah ibadah adalah ciri khas penjajah. Bahkan, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom mengkritik usul BNPT tersebut. Ia menilai kebijakan tersebut hanyalah bentuk keputusasaan pemerintah dalam menyelesaikan kasus radikalisme.

Kepala BNPT mengatakan, bahwa usulan pengawasan rumah ibadah telah dipraktekkan di beberapa negara tetangga dalam menangkal paham-paham radikalisme. Rycko menyebut perlunya kontrol tempat ibadah di mana kerap dijadikan tempat penyebaran paham radikal.

Negara-negara yang dimaksud Rycko adalah seperti  Singapura, Malaysia serta negara-negara yang jauh, yaitu di Oman, Qatar, Arab Saudi, negara di Afrika Utara (Maroko). Menurutnya konten yang disampaikan saat tausyiah berada di bawah kontrol pemerintah.

Sedikit pelik memang dengan usulan BNPT tersebut. Di satu sisi, negeri ini terus mengeluarkan jargon demokrasi dengan kebebasan beragama (the freedom of religion). Tetapi di sisi lain, kebijakan dalam negeri tidak berlaku untuk mengurusi rakyatnya, malah melirik kebijakan luar negeri.

Sehingga tidak salah dan berlebihan, jika Gomar menyebutkan sebagai bentuk kegagalan pemerintah. Karena, jika pemerintah punya kebijakan yang berhasil dalam menanggulangi radikalisme, tentu tidak perlu melirik kebijakan negara-negara lain. Sebab kasusnya belum tentu sama.

Anehnya lagi, negara-negara yang diangkat jadi contoh oleh BNPT juga negara-negara dengan mayoritas penduduknya Muslim. Kenapa tidak disebutkan beberapa negara Barat, semisal Inggris, New Zealand, atau Amerika, yang juga gencar melawan terorisme atau radikalisme?

Apakah kepala BNPT menilai mereka tidak berhasil, sehingga tidak layak untuk ditiru? Atau memang, di negara pengusung WOT atau WOR itu sendiri, tidak pernah melakukan atau tidak punya kebijakan apapun dalam menjalankan agendanya? Lalu kenapa di neger-negeri Muslim aksinya heboh dan berlebihan, seperti Indonesia?

Seharusnya, kepala BNPT bercermin kepada negara yang berhasil menanggulangi radikalisme, tetapi tetap menjamin kebebasan beragama dalam negaranya. Bukan mencontoh negara-negara yang terkesan di sana adalah mayoritas Muslim, sehingga seola-olah sedang menohok “Muslim, Islam, dan Masjid”.

Di Indonesia, sudah ada pasal-pasal yang mengatur terkait dengan kebebasan beragama atau beribadah, yaitu terdapat dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.  Isinya sangat jelas dapat dibaca, adanya jaminan kepada pemeluk agama yang diakui di NKRI, untuk melakukan ibadah sesuai ajaran agamanya.

Lalu, jika rumah ibadahnya diawasi, penceramahnya diatur, isi ceramahnya sesuai kesenangan sesorang atau oknum-oknum tertentu, atau seperti yang disampaikan Saripuddin banyak mengkritik pemerintah, akhirnya harus ceramah yang menyenangkan pemerintah saja. Di mana letak kebebasan beribadah itu terwujud?

Apalagi jika yang dibahas adalah ajaran Islam. Masjid, adalah tempat yang tidak boleh diawasi. Masjid adalah rumah Allah, tempat umat Islam bermunajah. Masjid juga tempat menyampaikan dakwah yang seharusnya disampaikan, bukan sesuai keinginan penguasa atau manusia manapun.

Sebab isi dakwah adalah firmah-firman mulia Allah swt. Ada kalanya manusia senang mendengarnya. Sebaliknya, bisa terdengar seperti api yang membakar telinga dan hati. Apakah firman-firman Allah harus dipilih-pilih sesuai selera manusia? Apakah pemerintah dan BNPT kelak mampu mempertanggungjawabkannya di akhirat? Jika berani, silahkan saja lanjutkan usulan irasional itu.

Namun yang pasti, dengan usulan monitoring rumah ibadah, akan melahirkan dampak luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah hanya akan menambah kisruh dan bahkan sedang menggali potensi adu domba yang dulu hanya dilakukan oleh penjajah Belanda. Masyarakat akan terpola dengan kelompok-kelompok pro radikalisme anti pemerintah, atau pro pemerintah anti radikalisme. Jika demikian akhirnya, bukankah kebebasan beribadah hanya jargon dan dusta belaka?

Jelas, tidak akan terjamin lagi bagi pemeluk agama manapun untuk beribadah jika rumah ibadahnya ditarget atau diawasi.

Radikalisme, Tameng Politik Oportunistik Kapitalisme

Masyarakat dunia tidak akan lupa, bahwa narasi kehadiran terorisme muncul sejak peristiwa 911. Saat negara super power AS ingin memastikan posisi dan keberpihakan negara-negara di dunia, terlebih negara-negara ketiga (baca: dunia Islam).

Sehingga, peristiwa 911 atau Pentagon, menjadi momentum besar bagi AS sebagai kiblatnya ideologi kapitalisme, untuk mendapatkan dukungan hampir semua negara di dunia. Selanjutnya, atas nama WOT (war on terrorism), Barat dalam hal ini AS, menggandeng negara-negara maju seperti Eropa dan Australia untuk menjalankan program tersebut.

Semula sulit diketahui maksud dan tujuan WOT tersebut, tetapi pasca 911, AS dan negara-negara pendukungnya melakukan agresi militer ke berbagai negara, khususnya negeri-negeri Muslim, seperti Iraq, Afghanistan, Pakistan, dan juga menduduki banyak negara-negara di dunia tidak terkecuali di Afrika. Sehingga hegemoni AS, semakin hari, kian mencengkram banyak negara.

Negeri Muslim adalah sasaran atau target WOT dengan peristiwa 911 hingga porak-poranda. Katanya penjahaan dunia harus dihapuskan berdasarkan hukum internasional di PBB. Faktanya, AS sah-sah saja menjajah Iraq dan Afghanistan selama puluhan tahun.

Pasca narasi WOT terbaca oleh banyak pakar, bahkan masyarakat dan aktivis serta politisi dari negara-negara Barat sendiri, bahwa narasi tersebut menyasar Islam dan kaum Muslim, AS menyangkalnya dan tidak mengakui hal tersebut. Hingga AS bekerja lebih keras lagi mendapatkan legitimiasi dunia, bahwa AS bukan anti kebebasan beragama, atau anti Islam. Kerjasama-kerjasama dengan negeri Muslim pun kian ditingkatkan untuk menunjukkan bahwa narasi WOT bukan menyasar Islam.

Tidak sulit untuk mengetahui kebenaran yang disembunyikan oleh AS. Melalui lembaga tinktank AS, informasi pun bocor. AS memiliki RAND Coorporation yang merupakan lembaga untuk meneliti dan menaganilisis perilaku beragama masyakat dunia khususnya kaum Muslim. Sehingga mereka bisa memetakan kaum Muslim, bahkan dari sanalah mereka bekerja untuk memecah kaum Muslim dengan membagi-baginya menjadi kelompok radikal, tradisional, fundamental, maupun sekuler.

Walhasil, WOT gagal dengan meningkatnya partisipan dari Barat terhadap Islam hingga memeluk Islam, bahkan menjadi agama yang paling pesat pertumbuhannya pasca 911 dan WOT. Maka istilah radikal muncul menenggelamkan terorisme. Meskipun covernya beda, tetapi targetnya sama. Barat melakukan soft approach dengan carrot-nya hingga tidak semua maksudnya terbaca.

Mulailah ajaran-ajaran Islam pelan-pelan dibahas untuk dikriminalisasi atau dimonsterisasi.  Hinga kaum Muslim sendiri takut dengan ajaran agamanya. Jihad, khilafah, abaya, burqa, dijadikan simbol kekerasan terhadap manusia hingga tidak layak diamalkan.

Aneh bukan? Umat Islam diajari beragama oleh yang benci dan memerangi Islam. Tetapi lebih konyol lagi jika umat Islam rela dan ikhlas, tanpa penolakan yang serius. Justru karena ada kepentingan individu di sana, misalnya tidak mau berhijab atau mengkaji Islam, maka muncullah ide surga dan neraka urusan individu. Aurat dan maksiat adalah privasi sesorang yang tidak perlu diributkan.

Lalu, penguasa-penguasa di negeri Muslim, sama halnya di negeri ini, juga akhirnya memanfaatkan narasi-narasi WOT dan WOR untuk posisi mereka. Selain merupakan agenda global yang tidak bisa dihindari, tetapi juga dijadikan tameng untuk kepentingan politik.

Bukankah radikal di negeri ini artinya jika krtiik kepada pemerintah? Bukankah radikal artinya jika menyinggung kesalahan penguasa dalam mengambil kebijakan? Bukankah radikal artinya ketika terjadi kezaliman pada rakyat oleh penguasa ada yang bersuara dan menentang? Bukankah radikal juga artinya paham yang menolak investasi asing, utang luar negeri, kapitalisasi pendidikan, industrialisasi kesehatan, dan serba yang berbau penolakan terhadap kebijakan yang kapitalistik?

Adakah radikal itu diartikan bagi mereka yang korupsi uang negara triliuan rupiah? Adakah radikal itu diartikan bagi pembunuh seperti Sambo? Adakah radikal diartikan bagi perusak kesatuan NKRI seperti OPM di Papua?

Atau adakah radikal diartikan pada penghianat amanah undang-undang yang menggadaikan SDA negeri ini kepada swasta asing/korporat? Adakah radikal artinya suka film porno atau berzina?

Adakah radikal artinya bagi pebisnis judi online? Tentu radikalisme itu hanya diartikan untuk ajaran agama. Meskipun sulit untuk menerimanya, itulah agenda Barat dalam merusak kewarasaan umat Islam menjalankan agamanya, dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam kekuasan.

Oleh karena itu, seharusnya yang diawasi adalah hotel-hotel, warung remang-remang yang banyak maksiat di dalamnya. Atau para pejabat yang merugikan negara. Bukan rumah ibadah yang nilainya sakral bagi pemeluknya.

Dan tidak seharusnya, narasi radikalisme permainan Barat diamanfaatkan oleh penguasa negeri Muslim demi kepentingan mereka. Karena hal tersebut hanya akan menimbulkan kegaduhan, perselisihan, dan kerukunan di tengah-tengah masyarakat. Allahu a’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.