Oleh: Dr. M. Daud Batubara, MSi
Si-Gotap Ulu, merupakan kata yang cukup mengerikan dan dirasakan sebagai ancaman bagi anak-anak di masa sekitar 60 sampai 70-an.
Karena kata ini berasal Gotap (bahasa Mandailing) artinya potong atau penggal, sedang ulu artinya kepala. Bila kata ini digabungkan, artinya menjadi penggal kepala. Sedangankan penggunaan kata Si pada awal kata sebagai penguatan sebutan atau panggilan yang menyatakan bahwa yang disebut itu mempunyai sesuatu atau menyerupai sesuatu yang sama dengan sebutan itu, sehingga keseluruhannya diartikan sebagai Si Pemenggal Kepala.
Pantas disebut bahwa sebutan ini mengerikan bagi anak-anak masa itu, karena Si-Gotap Ulu ditafsirkan dibenak anak-anak sebagai mahkluk yang bekerja sebagai pencari anak-anak untuk memenggal kepala. Artinya mahkluk yang memotong leher manusia hingga lepas kepala dari tubuhnya. Begitu mendengar kata Si-Gotap Ulu, yang muncul adalah traumatik ketakutan, karena persepsi yang buruk dan menakutkan terhadap makna kata tersebut.
Entah siapa yang memulai menggunakan kata-kata itu, namun di daerah Mandailing terutama di wilayah Ulupungkut kata-kata tersebut kerap terdengar dari orang-orang yang lebih tua. Munculnya kata-kata ini biasanya saat-saat adanya pembangunan jalan dan jembatan.
Bahasan ini muncul ketika di sela-sela kombur (bergurau) di lopo, kata-kata ini tak sengaja terungkap kembali, tanpa tujuan tertentu, yang hanya menyebut salah satu dari anggota kombur sebagai Si-Gotap Ulu.
Kosa kata yang sudah lama tidak pernah terdengar itu, tiba-tiba melintas begitu saja, hingga mengundang rasa ingin tahu apa dan mengapa kata-kata Si-Gotap Ulu ada pada masa lalu sedang sekarang sudah sangat jarang terdengar lagi.
Namanya juga sedang kombur, jawaban tentang Si-Gotap Ulu banyak yang muncul, namun dominan bentuk kelakar sehingga tidak ada makna yang jelas.
Sukurnya, seorang yang dituakan menjelaskan arti dan makna serta histori munculnya kata tersebut.
Penjelasan beliau yang telah disusun kembali, menyebut bahwa dahulunya anak-anak di pedesaan terutama di Ulupungkut, bila ada fenomena baru terutama yang datang dibawa orang lain dari luar kampung, akan menjadi perhatian bagi orang di pedesaan. Masa itu pesulap dan pengelana masih dirindukan dan diladeni dengan baik di kampung. Di tahun 60-an ini kenderaan roda empat yang datang ke pedesaan Ulupungkut-pun akan disambut meriah oleh anak-anak.
Bagaimana tidak meriah, karena di tahun-tahun tersebut angkutan untuk orang dan barang untuk jarak jauh masih didominasi pedati. Kenderaan yang ditarik dengan kerbau itu, tentu uniknya tidak sebanding dengan kenderaan yang memiliki mesin sehingga bersuara khas. Warna cat yang begitu menarik, mampu mengangkut banyak orang pula. Jangankan anak-anak, orang tua pun banyak yang ikut mendekat.
Banyak hal yang diperiksai dan diamati mereka dengan rasa keheranan dengan semangat keingintahuan atas hal yang jarang bagi mereka. Jangankan bodi kenderaan, asap kenderaan pun diakomodir sebagai perdebatan tentang baunya. Ada yang mengatakan wangi, ada pula yang mengatakan tidak.
Responsibnya anak-anak yang sangat tinggi untuk menambah pengalaman membuat mereka sering tidak mengontrol diri terhadap kondisi baru. Bahkan tidak jarang sampai menganggu terhadap benda atau pekerjaan jenis baru yang ada. Inilah yang mengawali munculnya kata-kata Si-Gotap Ulu, yang biasanya muncul pada saat pembangunan jalan atau jembatan.
Pembangunan di masa lalu dilakukan dengan dominan sistem yang manual, mulai dari pembukaan, pelebaran maupun peningkatan kapasitas jalan dan jembatan yang menggunakan tenaga manusia. Sehingga tidak jarang, secara tidak sengaja anak-anak mengganggu proses pengerjaan jalan. Di sisi lain, pengerjaan tersebut juga sangat beresiko tinggi dan membahayakan bagi anak-anak.
Disebut saja contohnya pemecahan batu kali untuk peningkatan sarana kapasitas jalan/Onderlagh (orang Ulupungkut biasa menyebutnya onderlak) yang dilakukan dengan pukulan martil besar, sangatlah beresiko terpercik serpihan batu yang dapat melukai anak-anak. Atau aspal panas yang sangat beresiko saat memasaknya dan atau saat menyebarkan aspal mendidih tersebut yang disiramkan di atas permukaan onderlak.
Di sisi lain para orang tua saat itu, sejak pagi sampai sore hari berada di ladang atau di sawah untuk bekerja mencari nafkah. Artinya mereka sebagai orangtua dengan rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap anak, maupun terhadap kemungkinan terganggunya pekerjaan pihak lain, sehingga berusaha mencegah anak-anak dari berbagai kemungkinan risiko dan gangguan tersebut.
Mengatasi kondisi inilah, munculnya pemikiran arif para pendahulu kita untuk menghindarkan anak-anak dari risiko yang akan timbul dan juga meminimalisir terganggunya pekerja dari kontraktor yang ada di desa mereka. Sesuai dengan kapasitas pendidikan masyarakat saat itu yang masih kuat mistis, muncul lagi pemikiran menggunakannya dengan pendekatan seakan adanya penumbalan dari pihak perusahaan.
Orang-orang tuapun mulai cerita bahwa pembangunan jembatan yang pondasinya dengan galian lubang yang cukup dalam, akan menggunakan tumbal untuk jaminan kekuatan jembatan. Tumbal yang paling baik adalah kepala manusia. Sehingga perlu kepala manusia untuk ditanam dibagian paling dalam pondasi. Pemikiran mistis ini diserap anak-anak sesuai batas pemikiran mereka.
Keperluan inilah yang membutuhkan kepala manusia menurut versi cerita yang sesungguhnya diciptakan sebagai kearifan. Kepala manusia ini – dipersepsikan oleh orang-orang tua – dicari oleh orang tertentu untuk kepentingan jembatan yang digambarkan dengan sebutan Si-Gotap Ulu. Inilah munculnya kata-kata Si-Gotap Ulu.
Jelas sudah bahwa kata-kata Si-Gotap Ulu, munculnya hanya sebagai upaya mempersepsikan mahkluk menakutkan bagi anak-anak yang merupakan bagian dari pencegahan anak-anak dari risiko pada proses pembangunan jalan dan jembatan.
Bila dilihat dari nilai pendidikan, maka ini bagian dari kearifan lokal sebagai pendidikan luar sekolah pada keluarga dalam mendidik anak. Kearifan seperti ini dapat berfungsi efektif sesuai dengan kondisi adat dan karakteristik pemahaman orang di daerah. Dipahami bahwa pola pendidikan tersebut kurang tepat karena adanya nilai mistis di dalamnya, namun efektif untuk mencegah anak-anak dari resiko yang lebih fatal.
Sedemikian banyak kearifan lokal di Mandailing yang masih tersimpan bahkan terkadang hampir terkubur, padahal masih dibutuhkan dan efektif dugunakan dalam mendidik anak dengan pendekatan pendidikan luar sekolah yang dilakukan keluarga.
Rasanya saat ini perlu kembali digali untuk mendapat tempat dengan cara yang lebih baik. Terutama dengan adanya pendekatan praktik di sekolah-sekolah dalam implementasi kurikulum merdeka.
*Penulis adalah Pembina Forum Kajian dan Penulis Madina