Oleh: Ari Nurainun,SE
Aktivis Muslimah, Pemerhati Kebijakan Publik
Di negeri ini tak hanya suhu politik yang memanas, suhu di permukaan bumi juga memanas. Hal ini diungkapkan oleh Mardiono (54), petani sayur dari Kampung Baru, Kelurahan Teluk Bayur, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kenaikan suhu di Berau yang mencapai 0,95 derajat celsius dalam 16 tahun terakhir, membuat dirinya dan para petani di Kampung Baru terpaksa harus mengubah jam kerja menjadi pagi sebelum jam 09.30 dan sore hingga malam hari untuk menghindari paparan panas.
Panas yang terlalu terik karena kenaikan suhu yang mencapai 0,95 derajat celsius dalam 16 tahun terakhir, membuat para petani di daerah tersebut tidak sanggup lagi bekerja di siang hari. Mereka mengganti jam kerja di pagi dan sore hingga malam hari.
Nicholas Wolff peneliti The Nature Conservancy, Nicholas Wolff, dalam laporannya menunjukkan terjadi kenaikan suhu permukaan tanah di Berau mencapai 0,95 derajat celcius dalam 16 tahun atau setara dengan 0,59 derajat celcius per dekade. Pengamatan ini didasarkan rekaman satelit dari periode tahun 2002-2018. Selain itu, menurut pengamatan yang dilakukan oleh BMKG selama 40 tahun terakhir di berbagai stasiun di Indonesia dan ditemukan laju kenaikan tertinggi terekam di Samarinda, Kalimantan Timur. Hal ini disampaikan oleh peneliti perubahan iklim sekaligus dosen Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (STMKG), Dodo Gunawan.
Krisis Iklim Buah dari Deforestasi Hutan
Tak sulit mencari penyebab terjadinya peningkatan suhu dan krisis iklim yang kini melanda tak hanya di berau, juga melanda wilayah lain di Indonesia bahkan dunia.
PBB menyatakan sejak tahun 1990, dunia telah kehilangan 420 juta hektare hutan.
Sementara itu, menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020. Dampak deforestasi ini sangat mengerikan. Berdasarkan kajian Wolff dan tim, peningkatan suhu harian di Berau ini telah meningkatkan 7,3–8,5 persen kematian dari semua penyebab, atau sekitar 101–118 tambahan kematian per tahun pada 2018. Di sisi lain, peningkatan suhu ini juga menyebabkan peningkatan waktu kerja yang tidak aman sebesar 0,31 jam per hari di daerah yang terjadi deforestasi dibandingkan dengan 0,03 jam per hari di daerah yang mempertahankan tutupan hutan.
Ike Anggraini, pengajar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman Samarinda, yang ikut serta dalam tim kajian Wolff di Berau mengatakan, deforestasi telah menghilangkan fungsi pendinginan dari hutan. Hilangnya tempat berteduh, mengganggu evapotranspirasi, dan siklus air. Dalam jangka panjang, penggundulan hutan juga meningkatkan emisi karbon sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global. Hal ini juga berdampak pada kesehatan, terutama dari meningkatnya paparan panas yang bisa memicu dehidrasi hingga gangguan ginjal.
Sebuah kajian terpisah yang dipublikasikan jurnal Global Environmental Change pada 2019, Ike dan tim juga menunjukkan, perubahan pola kerja yang dialami petani di Berau, sebagaimana dipaparkan Mardiono. Produktivitas pekerja di luar ruangan, seperti petani menjadi menurun, karena waktu istirahat makin banyak di siang hari.
Jelas bahwa panas dari deforestasi telah menurunkan kemampuan untuk bekerja dengan aman. Hutan-hutan yang menghilang dalam hitungan hari hingga tahun itu telah memperdalam dampak krisis iklim di Berau.
Terjadinya krisis iklim dan terus menurunnya ketersediaan air hingga menuju kekeringan ini dipicu industrialisasi yang digalakkan dalam era kapitalisme. Industrialisasi menjadi penyebab utama terjadinya deforestasi. Industrialisasi menyebabkan kesalahan pola penggunaan air. Air yang seharusnya mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga di suatu daerah, disedot untuk kepentingan industri tertentu. Akhirnya warga kesulitan air. Industri-industri tersebut mengambil air tanah sehingga mayoritas penduduk yang berada di sekitarnya mengalami kesulitan mendapatkan air. Secara sadar, telah terjadi pelanggaran PP 43/2008 tentang Air Tanah dan Kepmen ESDM No. 31/2018 tentang Zona Konservasi Air Tanah, namun tidak ada sanksi.
Tak hanya merusak kualitas air, pembuangan limbah juga mencemari sungai, merusak kawasan tangkapan air dan sumber air. Tak hanya itu, atas nama peningkatan perekonomian, banyak terjadi alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, perumahan, pergudangan, industri, dan lain-lain.
Demikianlah kapitalisasi SDA menjadi penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang berujung pada ancaman kekeringan.
Islam Penjaga Paru-Paru Dunia
Pengelolaan SDA yang kapitalistik menyebabkan krisis lingkungan dan krisis iklim. Hal ini diakibatkan pengelolaan SDA yang serampangan oleh swasta. Kapitalisme membolehkan SDA diprivatisasi atau dikelola oleh pihak swasta demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Setiap individu dapat memiliki semua hal, tidak ada larangan dan batasan sama sekali.
Bertolak belakang dengan aturan Islam. Islam menjadikan SDA yang menentukan hajat hidup orang banyak sebagai kepemilikan milik umum, milik bersama yang tidak boleh diprivatisasi. Misalnya hutan, sumber air yang langka, tambang minyak dan gas maupun tambang lain yang kandungannya cukup banyak, serta hal lain yang sifatnya tidak dapat dimiliki individu, seperti laut, sungai, dan jalan. SDA tersebut harus dikelola negara dan tidak boleh diserahkan kepada individu atau swasta.
Negara bertugas sebagai pelindung dan melaksanakan fungsi pelayanan bagi rakyatnya. Oleh karenanya, SDA yang ada akan dikelola sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat. Hutan misalnya, akan dijaga karena fungsinya sebagai paru-paru bumi, sebagai daerah tangkapan dan cadangan air tanah, serta pencegah bencana banjir dan longsor. Jika ada hutan yang rusak, negara akan melakukan reforestasi dan akan menindak tegas jika ada yang melakukan deforestasi.
Hanya menerapkan ini saja, perubahan iklim dan pemanasan global akan dapat dihindari. Karena Islam adalah rahmatan lil alamin. Tak hanya menjaga paru-paru dunia. Namun juga melindungi alam semesta.
Wallahu’alam bi showab