Cerpen: Rina Youlida Nurdina
Opuk ukuran dua kali tiga meter yang sudah berdiri miring namun masih digunakan berposisi di tengah kampung seiring usianya yang telah tua. Daun rumbia yang menutupi atap opuk itu tinggal setengah dan sudah ditempeli dengan seng sebahagiannya, sehingga keestetikan opuk legendaris ini sudah berkurang. Tiang-tiang penyangga opuk yang terbuat dari batang pohon kelapa kini berwarna hitam pekat sedikit berminyak menyimpan banyak kisah dari sejarah yang berkembang di desa itu. Jika ditanya usia dari opuk ini, mungkin saja sudah mencapai di atas ratus tahun.
Tobang Pikek pernah menceritakan jika opuk ini sudah ada sejak neneknya dulu di zaman penjajahan Belanda tinggal di kampung ini. Opuk ini dulunya digunakan sebagai tempat penyimpanan padi hasil panen warga desa. Ada bilik besar di bagian atas opuk ini sebagai ruang penyimpanannya. Dengan multi fungsinya, untuk bagian dasar bawah masyarakat menggunakannya sebagai tempat untuk bersosialisasi dengan yang lainnya.
Tobang Pikek nama sapaannya, tak banyak yang tahu jika nama aslinya adalah Fatimah Sari karena sejak kecil ia selalu dipanggil dengan nama Pikek. Menghabiskan masa senjanya dengan aktifitas menganyam amak bayuon dan haronduk yaitu tikar dan tas yang dianyam dari daun jenis pandan duri yang biasanya tumbuh di tanah berlumpur sekitar persawahan warga. Tobang Pikek menganyam sejak ia masih gadis dulu dan menekuninya sampai saat ini. Meskipun amak dan haronduk itu sudah tergerus dengan produk-produk hasil pabrikan dengan berbagai model dan warna, namun anyaman itu masih dicari oleh beberapa kalangan karena merupakan hasil kerajinan tangan yang indah.
Sambil mambayu (menganyam tikar) di tangannya, ia tak pernah lupa dengan tembakaunya, marsugi-sugi katanya. Giginya masih kokoh walau sudah berwarna kecoklatan. Tak bisa ia seharipun tanpa sugi-suginya, padahal justru jika diperhatikan terkadang ia jadi terlihat tidak bersih apalagi saat sedang berbicara. Kenapa tidak? Saat berbicara, air tembakaunya tak jarang ikut muncrat terbawa air liurnya. Bagi yang tidak mengenal, pasti akan merasa iba pada Tobang Pikek karena hanya tinggal sebatang kara di rumah tuanya itu. Tetangganya sering kesal kalau melihat Tobang Pikek selalu menolak jika anak-anaknya mengajak untuk tinggal bersama di kota. Anak-anaknya semua tergolong sukses dan berhasil di kota. Tobang Pikek selalu punya beribu alasan untuk menolak jika anak-anaknya mengajak ia untuk tinggal bersama, hingga akhirnya anak-anaknya hanya mengirimi uang belanja, dan jika ada waktu libur akan mengunjungi Tobang Pikek.
Di suatu pagi, gerimis masih turun, walau mentari sudah mulai menampakkan wajahnya setelah semalaman hujan deras mengguyur. Namanya juga bulan dober-dober katanya, akhir tahun yang biasanya selalu dihiasi hujan dan tak jarang banjir serta longsor menyertai. Tobang Pikek tiba-tiba dikejutkan dengan datangnya tiga orang tamu yang tak ia kenali. Bajunya bagus dan rapi, wajahnya bersih-bersih seperti orang kaya dan berpendidikan ditambah lagi mereka turun dari mobil yang bagus juga. Berkelaslah kelihatannya.
“Assalamualaikum Tobang !….. Apa kabar? ……. Sehatnya Tobang…. kan?”
Tobang Pikek heran kenapa ia tahu namanya. Tobang Pikek pun mempersilahkan tamunya untuk duduk di opuk yang tepat berada di depan rumahnya. Mungkin tempat itu diaggap lebih nyaman dan segar daripada rumah panggungnya.
“Tobang…….,minggu depan kita akan mengadakan pemilihan kepala daerah, bupati dan wakil bupatinya,” kata salah satu tamunya memulai percakapan.
Sambil menggosok-gosokkan gulungan tembakau di giginya kemudian menyempilkannya di sudut bibirnya bagian dalam, “Iya, aku sudah tau itu, Amang, bapak kepala desa sudah memberi tau kalau ada dua pasang calon bupati yang harus kami pilih. Surat pemilihnya sudahnya kusimpan itu di bawah taplak meja di dapur. Itu kan…., gambar-gambar orangnya yang akan dipilih?” jawab Tobang Pikek sambil menunjuk beberapa gambar calon kepala daerah yang sudah ditempel di beberapa sudut dan tiang-tiang sekitar rumah Tobang Pikek.
“Benar sekali, Tobang. Itulah nanti gambar orang-orang yang harus Tobang pilih,” sambil menyodorkan sebungkus besar gulungan tembakau ke tangan Tobang Pikek.
“Eeh, apa ini ??? ….. Kenapa aku kalian kasi tembakau ini, tau kau rupanya aku suka marsugi-sugi dengan tembakau ini? Aku saja tak kenal kalian, kok bisa pula kalian tau namaku?”.
“Iya Tobang, kami sudah tau nama Tobang dari daftar nama-nama pemilih yang ada sama kami. Bapak yang di seberang sana yang ngasi tau kami tentang data-data Tobang. Jadi nanti pas hari pemilihan Tobang pilihlah yang ini ya,” pemuda itu menyodorkan sebuah kartu yang tertera dua orang laki-laki berpeci dan memakai baju jas hitam dengan senyum di masing-masing wajah pada gambar itu.
Dibawah gambar, si pemuda juga menyematkan sebuah amplop air mail yang terlipat rapi.
“Pasti la. Mang, berarti kan bapak yang ada di gambar inilah yang menyuruh kalian mengasi aku tembakau sebanyak ini, tambah lagi ini ada amplopnya, kapanlah habisku tembakau ini marsugi-sugi, yang sekresek penuh ini,” dengan wajah merona bahagia Tobang Pikek menunjukkan kartu bergambar paslon serta tembakau dan amplop yang sudah ada di genggamannya.
Setelah kedua pria itu pergi berlalu, Tobang Pikek tak kuasa ingin membuka amplop yang membuatnya penasaran sejak ia terima tadi. Di dalamnya ada uang lima puluh ribu rupiah. Kaget bercampur senang pastinya Tobang Pikek rasakan.
“Lumayan la uang ini bisa untuk memenuhi kebutuhanku seminggu ini,” gumamnya dalam hati.
Sedang asyik menikmati betapa bahagianya mendapatkan tembakau di tas kresek yang ia genggam, tiba-tiba Reyhan, bocah berusia enam tahun, datang berlari sambil memanggil-manggil Tobang Pikek.
“Tobang, tadi ada datang udak-udak ke rumah kami, ayahku dikasi beras, gula dan ada juga duitnya. Aku saja dikasi dua permen ini,” kata Reyhan dengan polosnya sambil menunjukkan dua permen di tangan mungilnya itu.
Reyhan pun kembali berlari meninggalkan Tobang Pikek sendiri.
Belum hilang punggung Reyhan dari pandangan, dua orang pria muda muncul dari arah berlawanan dengan Reyhan. Tobang Pikek hanya tertegun dan berharap dalam hati semoga kedua pria itu adalah orang yang sama dengan yang Reyhan baru saja ceritakan, apalagi sepertinya mereka membawa sesuatu di tangannya masing-masing.
Tak meleset sedikitpun, benar saja mereka memang hendak menjumpai Tobang Pikek. Tanpa dipersilahkan, mereka berdua duduk di samping Tobang Pikek sambil meletakkan segoni beras sepuluh kiloan, gula pasir dan segulungan besar tembakau yang dibungkus tas kresek berwarna hitam.
“Tobang, ini ada sedikit bingkisan untuk Tobang, semoga bisa Tobang manfaatkan. Kami dari tim pemenangan Paslon yang gambarnya di sana itu,” katanya sambil menunjukkan gambar yang berhadapan dengan rumah Tobang Pikek, “Mudah-mudahan menjadi pilihanlah nanti untuk Tobang saat hari pencoblosan,” lanjutnya menguatakan.
Pria tampan itu menyodorkan bingkisan, amplop putih dan tak lupa juga kartu yang tertera gambar pasangan pria-pria berpeci berpakaian rapi dan mahal tentunya. Namun Tobang heran karena gambarnya berbeda dengan gambar di kartu yang barusan ia terima sebelumnya. Yang paling tak habis pikir ia merasa mengapa hari ini ia sangat terkenal karena mereka tau identitasnya dan nama panggilannya. Tak banyak bicara ia hanya bergumam dalam hati betapa banyak rezeki yang ia terima hari ini. Senang sekali hatinya apalagi setelah ia buka amplopnya juga berisi lima puluhan ribu rupiah.
Tibalah hari dimana pesta rakyat terjadi sekali dalam lima tahun. Hari-hari menjelang pemilihan dihiasi dengan berbagi berkah untuk masyarakat tambah lagi hiburan rakyat dangdutan yang meriah dan ramai dikunjungi warga yang memang jarang melihat konser dangdutan dengan artis-artis ibukota yang biasanya hanya dapat dijumpai di hape atau televisi. Kebahagiaan yang dirasakan oleh masyarakat terjadi beberapa kali dimana disetiap kunjungan para calon bupati dan wakilnya pasti akan ada sumbangan, baik sembako, amplop berisi uang, jilbab, kain solat dan macam ragam lainnya. Siapa yang tidak senang dengan itu?
Memakai pakaian terbaik yang Tobang Pikek miliki, sedikit taburan bedak merek Viva nomor 04 di pipinya yang tak dapat lagi menutupi guratan keriput di kulit tua itu, dengan penuh semangat berjalan dengan lambat ke TPS terdekat rumahnya. Sebuah dompet bling-bling berkilau buah tangan tetangganya dari Mekkah digenggam erat di tangannya. Tahu kan apa isi dompetnya? Ya, KTP seumur hidup, kartu pemilih, sejempol gulungan tembakau, amplop berisi lima puluh ribuan yang tinggal satu lembar dan dua kartu yang berisi gambar pasangan calon kepala daerah yang akan dipilih.
Setibanya di lokasi pemilihan, Tobang Pikek disambut oleh Pak kepala desa, ia mempersilahkan Tobang Pikek untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Di samping kursi Tobang Pikek terpampang gambar-gambar pasangan calon bupati yang akan dipilih. Tobang Pikek asyik memandangi wajah-wajah yang terpampang di didinding triplek itu dengan seksama.
“Pak Kades, teringatnya, kita kan mau memilih bupati, yang mana yang mau dipilih? Kenapa ada empat orang yang di gambar itu?”.
“Iya Tobang, tapi ini calon bupatinya dan yang disampingnya ini wakilnya, dan yang di bawah ini juga begitu. Jadi ada dua calon bupati, bukan empat itu dabo Tobang”.
“Jadi yang mana yang harus ku coblos ini?”.
“Terserah Tobang saja la mana yang Tobang rasa lebih baik. Yang penting kalau Tobang mencoblos, cukup yang ada di kertas yang nanti Tobang buka. Jangan tusuk yang lain-lain lagi ya. Mau coblos hidungnya, matanya atau pecinya juga boleh, tapi biar lebih sopan baiknya coblos bajunya saja ya Tobang, kan kasihan kalau wajahnya dicoblos bisa kesakitan dia”.
Tibalah giliran Tobang Pikek untuk memasuki bilik rahasia, bilik pencoblosan. Bukan baru sekali dua kali ia melakukan kegiatan ini, namun tetap saja ia gugup dan bertanya banyak pada petugas pemilihan di TPS itu. Mungkin karena hanya sekali dalam lima tahun tambah lagi usianya yang sudah sangat tua, jadi ia lupa bagaimana cara mencoblos ini.
Setelah menerima kertas suara, Tobang Pikek dengan langkah pasti memasuki bilik suara. Dengan lambat ia menggelar kertas suara itu. Ada empat gambar calon berpakaian jas hitam rapi dengan dasi yang tergantung mewah di leher baju, peci hitam di kepala yang membuat orang-orang di gambar itu terlihat gagah apalagi ditambah senyuman manis yang tersungging di bibir mereka. Terlihatlah mereka ini orang-orang yang hidupnya serba berkecukupan dan bahagia, tidak seperti rakyat ini yang harus berjuang dan bekerja keras sampai tua hanya untuk tetap bisa bertahan hidup.
Setelah sekian lama Tobang Pikek memperhatikan wajah mereka satu persatu, akhirnya ia mengambil paku besar yang disediakan untuk mencoblos. Ia mulai menusuk. Setiap gambar ditusuk di samping kepala, karena tak tega menusuk bagian peci, kepala apalagi wajahnya. Jangankan kepalanya, bajunya saja mahal, ‘masak ditusuk, rusaklah itu,’ pikirnya. Ya, yang pasti keempat gambar itu dicoblosnya semua. Ia tak dengarkan Pak kades karena ia merasa sayang sekali kalau baju bagus dicoblos.
Bukan tanpa alasan ia mencoblos semuanya. Ia ingat jika kedua pasangan itu sama-sama sudah memberinya masing-masing sebungkusan besar tembakau yang ia bisa simpan untuk setahun atau bahkan lebih sakin banyaknya, apalagi ia juga mendapat sembako yang bisa ia manfaatkan juga untuk beberapa bulan kedepan. Maklumlah ia kan hanya tinggal sendiri di rumahnya.
Jadi ia harus adil pada semua orang yang fotonya ada di kertas suara itu. Dalam hati Tobang Pikek bergumam “mereka sudah baik memberi aku tembakau sebanyak itu, jadi aku gak perlu lagi keluar uang beli tembakau untuk setahun ini”.
Melipat kembali kertas suara, Tobang Pikek keluar dari bilik suara setelah memasukkan kertasnya ke dalam kotak suara. Dengan senyum bahagia ia melangkah meninggalkan lokasi pemilihan. Ia merasa telah melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian lisan dengan kedua tim sukses yang sempat mendatanginya untuk barter suara dengan benda kebutuhan sang Tobang. Demikian juga kepatuhan kewajibannya pada Pak kades yang mewajibkannya harus datang untuk menusuk sebagai warga yang baik.
Dia sama sekali tidak lagi memikirkan apa yang akan calon terpilih lakukan nanti ke depannya, toh dia juga tidak paham apakah nanti kalau sudah duduk di kursi jabatannya, nasib mereka akan masih diingat atau tidak. Yang pasti Tobang telah turut serta menikmati lebih dini apa yang akan dijadikan pengganti tembakau yang diterima. Karena tahun-tahun sebelumnya juga, dia tidak merasa orang yang terpilih membawa manfaat yang bisa mereka rasakan dalam kehidupannya.
Ia pun kembali ke aktifitasnya sehari-hari mambayu sambil menikmati gulungan suntil tembakau di mulutnya yang mungkin setahun ini tidak akan beli lagi. Rasanya akan seperti itulah sampai akhir hayatnya.***
Rina Youlida Nurdina adalah cerpenis / tinggal di Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatera Utara / guru Bahasa Indonesia