Artikel

Wacana Amandemen UUD 1945 dan Urgensinya

Oleh: Halvionata Auzora Siregar
Putra Batang Natal. Saat ini kuliah di Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh / Kader HMI Cabang Lhokseumawe

 

Seminggu yang lalu ketua MPR RI, Bambang Soesatyo mewacanakan tentang amandemen UUD 1945 dengan menambah Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan menambah kewenangan MPR untuk menyetujui rancangan dari PPHN tersebut dengan payung hukum yaitu Tap MPR yang termasuk dalam hierarki  peraturan perundang undangan.

Sekarang kita perlu bertanya, apakah urgensinya wacana tersebut ketika semua masyarakat dan bangsa kita yang sedang dilanda pandemi? Saya menganggap apa yang diwacanakan oleh MPR tidak menyambung dengan apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini.

Saya juga melihat ini adalah ketidakromantisan para elit politik dikarenakan apa? Pada saat ini akses publik sangat terbatas, dan ini mengingatkan kita pada Pemilu 2019 lalu banyak para caleg dari berbagai  partai politik tetapi tak ada satu pun yang berjanji tentang amandemen UUD 1945 tentang PPHN seperti yang diwacanakan ketua MPR RI tersebut. Artinya apa kalimat yang keluar dari seorang pemangku kekuasaan yaitu demi kepentingan publik itu hanyalah mencakup lembaga-lembaga dan ormas-ormas saja. Wacana ini seperti yang saya katakan di awal adalah kepentingan para elit politik saja untuk membuka ruang bergerak lebih leluasa.

Kalau kita kaji secara teoritik yaitu tentang living constitution dari tulisan David Claws, tanpa diubah pun konstitusi itu bisa menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan zaman kecuali terdesak, ingat terdesak!!

Ketika ketua MPR RI memberikan wacana tersebut, apakah yang lebih mendesak untuk bangsa ini, PPHN ataukah selesai dari pandemi? Pokok-pokok haluan negara atau nama lain dari GBHN dulu akan berdampak pada konsep dari ketatanegaraan dan memberikan peluang untuk MPR menjadi kembali sebagai lembaga tertinggi negara.

Saya melihat tidak ada urgensinya mewacanakan hal itu karena kita masih mempunyai UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai landasan dan UU Nomor 17 Tahun 2007  tentang Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional tahun 2005-2025 yang berfungsi sebagai arah dan prioritas pembangunan yang akan dilakukan secara bertahap selama 20 tahun.

UU tentang pembangunan bangsa kita sudah ada, kenapa harus PPHN dan penambahan kewenangan? Dari itu saya menilai amanat dari UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005-2025 gagal dilaksanakan, dengan itu lebih baik pemerintah melakukan evaluasi selama 20 tahun ini pembangunan kita sebagai bangsa sudah dilaksanakan dan diselesaikan?

Kalau alasannya hanya perbedaan visi dan misi antara periode presiden yang menjabat, itu sudah dijelaskan dalam Pasal 5 Ayat 1 UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP yaitu: Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan dan untuk menghindarkan kekosongan rencana pembangunan nasional, Presiden yang sedang memerintah pada tahun terakhir pemerintahannya diwajibkan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tahun pertama periode pemerintahan Presiden berikutnya.

Kalaulah pasal 5 ini diabaikan, pasti akan terjadi bangunan terbengkalai dan terjadi inkonsistensi, makanya  RPJP ini sebagai arah dan prioritas pembangunan untuk bangsa kedepannya. Kalau pembangunan bangsa kita belum terlaksana tak perlu kiranya mereinkarnasikan yang sama halnya dengan GBHN tanpa PPHN. Apabila pemerintah konsisten, cukup merevisi UU Nomor 17 Tahun 2007.

Maka dari itu, saya harapkan kepada MPR RI dan lembaga pemerintah lainnya untuk fokus terlebih dahulu menangani pendemi covid-19 daripada membahas yang tidak sama sekali ada urgensinya bagi masyarakat.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.