Artikel

Waspadalah Menjatuhkan Vonis, Wahai Para Hakim!

Oleh: Nandoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik

Kasus Taipan Djoko Tjandra atau Djoksan Mujur dan Jaksa Pinangki sedang ramai dibincangkan. Pasalnya, masa hukumannya mendapat korting dari hakim Pengadilan Tinggi Jakarta. Pada peradilan tingkat pertama, Djoksan yang bertatus terpidana kasus pengecekan status red notice dan penghapusan namanya dari DPO di Ditjen Imigrasi Kemenkumham, divonis penjara 4 tahun 6 bulan. Setelah mengajukan banding, hakim memangkas masa hukumannya sebanyak satu tahun. Hal tersebut sebagaimana dilansir dari berita tirto.id (29/07/2021)

Alasan mereka mengorting vonis Djoksan, karena ia sudah menjalani masa pidana dalam kasus Bank Bali dan menyerahkan dana Escrow Account atas rekening Bank Bali qq. PT. Era Giat Prima miliknya sebesar Rp546.468.544.738. Hal yang memberatkan bagi sanksi Djoko Tjandra, majelis hakim menilai perbuatan sang taipan tercela.

Djoksan juga jadi tersangka  penyuapan dua jenderal Polri, yaitu: eks Kabiro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo dengan uang 100.000 dolar AS dan Eks Kadiv Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dengan uang 370.000 dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura. Serta penyuap bagi Jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan uang 500 ribu dolar AS.

Ironis bukan? Perbuatan dosa besar yang dilakukan oleh Djoksan hanya dianggap sebagai perbuatan tercela. Konotasi tercela sangatlah halus dan tidak layak bagi seorang pelaku kejahatan suap maupun korupsi. Kenapa bukan dikatakan penjahat? Atau kriminal?

Namun demikian, seorang pelaku kejahatan apapun sebutannya, dalam kacamata hukum buatan manusia tidak selamanya dianggap bersalah. Meskipun sudah terbukti. Karena hukum atau vonis berada di tangan Sang Pengetuk Palu alias Hakim. Sejahat- jahatnya terdakwa, nasibnya ada di tangan para hakim.

Para hakim yang mengorting masa hukuman Djoko Tjandra itu adalah Muhammad Yusuf selaku hakim ketua, serta hakim anggota: Haryono, Singgih Budi Prakoso, Reny Halida Ilham Malik, dan Rusydi.

Namun nasib Pinangki berbeda, hakim Pengadilan Tinggi DKI mengorting masa hukumannya menjadi 4 tahun dari 10 tahun—berdasarkan vonis pada peradilan tingkat pertama. Komposisi hakim pada sidang banding Pinangki tak jauh berbeda dengan Djoko Tjandra; minus Rusydi saja, empat lainnya diyakini tetap.

Keputusan korting dan komposisi hakim tersebut menuai sorotan. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari berpandangan peradilan sedang mengalami problematika dan mesti segera dibenahi.

Pasalnya, para hakim menangani kasus Djoksan dan Jaksa Pinangki bukanlah para pemula alias baru menjabat seperti Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, dan Reny Halida Ilham Malik, adalah nama-nama hakim yang sudah ratusan kali menangani perkara. Mereka bukan kali pertama memangkas masa hukuman terpidana pada tingkat banding.

Para hakim ini sudah berkali-kali menangani kasus yang juga ternyata disunat masa hukumannya. Sebut saja kasus Jiwasraya dan eks Ketua Umum PPP Romahumuziy alias Romi. Artinya, tidak berlebihan jika para hakim tersebut dinilai ahli dalam menyunat masa tahanan atau hukuman. Mereka juga dikabarkan memiliki harta kekayaan yang fantastis dari 1 M lebih hingga 8 M.

Keadilan dalam memutuskan perkara atau menjatuhkan vonis bagi terdakwa sangatlah sulit di dalam naungan sistem kapitalisme yang diadopsi negara ini. Bagi pelaku yang memiliki banyak relasi dan modal, hukuman alias vonis bisa diperjualbelikan melalui para hakim yang tidak amanah.

Hukum kapitalisme mengajarkan bahwa keuntungan materi adalah segala-galanya dari sumber kebahagiaan hidup. Maka untuk meraihnya, segala cara boleh dihalalkan. Termasuk menyunat hukuman atau melanggar undang-undang. Karena pemahaman hukum dalam budaya masyarakat kapitalisme diterapkan  untuk dilanggar.

Tidak ada rasa takut atau setidaknya bersalah bagi hakim-hakim yang sudah melanggar ketentuan hukum yang ditetapkan. Mereka sesuka hati dalam menafsirkan hukum untuk menjatuhkan dan memangkas ataupun menyunat hukumam bagi pelaku kejahatan yang sudah kongkalikong dengan mereka.

Gambaran para hakim seperti itu telah diberitakan oleh Rasulullah SAW sebagai salah satu tanda-tanda akhir zaman,

“Di akhir zaman nanti, akan ada para pemimpin yang zalim, menteri yang fasik, hakim yang khianat, dan ulama pendusta… ” (HR.At-Thabrani).  Bukankah kehadiran hakim yang khianat itu kini semakin nyata terlihat? Itulah kebenaran sabda Rasulullah SAW.

Sangat jauh berbeda tentunya dengan ajaran Islam. Hukum adalah metode menyelesaikan perkara kriminal. Sehingga mampu mencegah dan juga memperoleh ampunan dari Sang Pembuat Hukum, yaitu Allah SWT. Hukum akan digenggam erat oleh para hakim yang dipercaya kepala negara (Khalifah) untuk memberikan vonis bagi setiap pelaku tindak kejahatan. Para hakim tersebut tentulah harus amanah. Karena mereka menjalankan hukum sesuai Al-Quran dan Hadist.

Islam mengingatkan bagi mereka yang memiliki amanah sebagai hakim agar selalu memperhatikan nasehat Rasulullah SAW berikut,

” Hakim itu ada tiga. Dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak benar, padahal mengetahui mana yang benar dan salah maka ia akan masuk neraka. Seorang hakim yang bodoh dan menghancurkan hak-hak manusia juga akan masuk neraka. Seorang Hakim yang menghukumi dengan benar maka ia masuk surga “(HR.Tirmidzi).

Maka wahai para hakim, waspadalah dalam menjatuhkan vonis atau hukuman! Katakan yang haq itu haq dan batil itu batil. Sudah terlalu banyak kerusakan yang dilakukan oleh para hakim khianat dan bodoh sehingga mengundang kerusakan sosial juga peringatan dari Allah SWT di negeri ini.

Jadilah hakim yang adil dan amanah. Tentunya, dengan menghukumi secara benar. Dan kebenaran itu hanya bisa tegak secara kokoh dan totalitas jika ajaran Islam diterapkan di negara ini sebagai peraturan perundang-undangan. InsyaAllah. Wallahu a’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.