Budaya

YATIM KINI GELARNYA

Karya: Rina Youlida Nurdina

Siang jelang sore, di keramaian pasar tardisional di kotaku, masih terasa terik meski waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Para pedagang masih banyak yang sibuk dengan dagangannya masing-masing. Namun ada pula yang mulai menyusun rak-rak kayu tempat sayuran karena sudah mulai kosong karena terjual. Terlihat pula pedagang yang membersihkan kulit bawang yang mengering agar bawangnya tetap terlihat bersih dan segar.

Namanya pasar, yaaa……. pastilah ada yang berteriak-teriak menjajakan barang pecah belah yang dihamparkan di atas tikar pelastik. Di salah satu  pojokan pasar terlihat pedagang daging yang memotong-motong bagian isi perut sapi sisa-sisa daging yang belum datang pembelinya. Dan di bagian pojok pasar lain, terlihat pula para penjual ikan yang sesekali menyirami sisa ikan yang belum laku dengan air es agar ikannya tetap segar.

Ampunlah, namanya pasar tradisional. Bolehlah dibayangkan aromanya, begitu pula kondisi yang becek dan tak tertata dengan baik, mulai dari aroma amis, asin, apek hingga aroma busuk yang menyebar beradu menyerang tiap lobang hidung pengunjung pasar. Anehnya, hal seperti ini tidak menjadi penghalang bagi warga pasar untuk bertransaksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing.

Di bawah tenda dari goni pelastik yang disatukan dengan jahitan tali rapia dengan sederhana agar lebih lebar, dibentang dengan seutas tali di empat sudut, berdiri seorang wanita paruh baya. Penampilannya sangat mentereng, apalagi ia mengenakan perhiasan yang cukup mencolok sedang menawar harga cabai yang kini harganya sudah anjlok lagi.

Si pedagang lusuh yang sudah terlihat lelah menawarkan cabai dengan harga Rp 25.000 sekilonya, namun masih ditawar lagi sebasar Rp 20.000 oleh si nyonya kaya.
Silusuh sang penjual, merelakan harga tersebut meski kurang masuk akal.

Jumlah dagangannya yang masih banyak, menjadi perhitungan yang biasa dilakukan oleh pedagang terlatih ini. Dari pada rugi banyak karena tak terjual, si pedagang harus merelakan sesuai harga yang diinginkan si nyonya kaya meski tahu bahwa harganya sudah termakan modal. Tapi ia berpikir itu lebih baik dari pada dagangannya harus busuk karena tidak laku.

Iba sangat hati melihatnya. Nyonya kaya yang menjinjing tas bermerek dengan isi dompet yang berlapis-lapis lembaran uang kertas merah dan biru, ternyata tetap saja masih menawar murah pada pedagang susah itu, padahal dari baju, sendal dan tasnya saja sepertinya dibeli di mall dengan harga yang fantastis, dan pasti saja itu tidak akan ada proses tawar menawar. “Ya…. begitulah hidup. Yang besar makin di besarkan dan yang kecil semakin terpuruk dan tergencet keadaan, gumamku dalam hati”.

Dari gang kecil tepat di belakang si nyonya berdiri, muncul seorang pria berbadan kurus dengan celana jeans sedengkul dengan banyak tempelan dan sobekan di celananya, bukan karena trend makin banyak robekan makin mahal harganya, namun karena sudah usang dan sudah buruk. Mimik wajahnya terlihat seperti sedang ketakutan dan kebingungan. Entah apa yang ada dalam saku celananya yang seolah-olah sangat dijaga sekali.
Tiba-tiba terdengar teriakan “pencuri…, pencuri…., pencuri…………!”
Seorang wanita berteriak dari dalam gang kecil tempat pria tadi barusan keluar. Sontak saja suara teriakan itu mengalihkan perhatian setiap orang yang mendengar di pasar itu.

“Pencurii…… pencuri …….. Itu orangnya…. tangkapppppp….. !” Wanita itu berteriak sambil menunjuk pria bercelana ponggol tadi.

Orang di pasar pun berhamburan berkeluaran menuju gang pasar. Mereka berdesakan membuat kondisi pasar lebih ramai. Gang di pasar itupun jadi sempit. Pria itu tidak punya ruang bahkan tidak punya celah untuk melarikan diri.

Sejumlah tangan pun mengekangnya dengan sangat ketat. Maklumlah bagaimana kuatnya tangan-tangan orang di pasar. Sudah pasti tak sebanding dengan kondisi badan pria lusuh itu, tidak akan kuat membela diri dan menghindar dari amarah warga pasar yang tersulut karena teriakan wanita yang dompet kecilnya baru saja dicopet oleh pria lusuh itu dari dalam tas tangan.

Usai ditangkapnya pria lusuh yang mencopet, dompet kecil milik sang ibu itu pun sempat dibuka untuk melihat keutuhan isisnya. Alhamdulilah, dompet itu berisi uang-uang kecil yang ternyata digunakan sang ibu kaya untuk belanja khusus kebutuhan dapur yang kecil-kecil. Terlihat jumlahnya memang sudah tak seberapa, tapi katanya masih utuh isinya.

Pria yang tertangkap tangan mencuri di pasar rakyat yang penuh sesak itu, gagal melarikan diri dari sergapan warga yang sigap dengan keadaan itu. Tanpa ada komando yang pasti, pria itu langsung saja  dihakimi beramai-ramai hingga tergeletak di jalan tak bernyawa. Sungguh tak ada rasa iba sedikitpun dari mereka yang menggebuki saat pria itu meminta ampun dan merintih kesakitan sampai keadaan berubah tanpa rintihan bahkan tanpa suara. Hilang satu nyawa sudah.

Tiba-tiba terdengar dering HP dari bagian tubuh tanpa nyawa itu. Dari bawah tubuhnya terlihat sebuah HP jadul bermerk Nokia yang tercecer. Hampir pudar sudah tulisannya yang bertulis 3310. HP-nya diikat dengan karet, mungkin sebagai pengaman agar tetap bisa berfungsi. Seorang warga pasar yang memberanikan diri mengambil dan mengangkat telepon tersebut dengan meloud speker agar semua orang bisa mendengar percakapan itu.

Terdengar oleh semua warga yang baru saja menggebuki pencuri, agaknya suara anak kecil berujar dengan lembut “haloo, Ayah….. kata ibu apakah ayah sudah dapat uang untuk membeli beras? Kalau sudah dapat cepat pulang ya, Yaah…… Jangan lupa supermi satu bungkus untuk lauk. Kami sudah lapar sekali, dari pagi belum makan.”

Bagai guntur meruntuhkan bumi, mendadak semua yang mendengar terdiam. Satu persatu mereka mulai memandangi tubuh pencuri yang sudah tak bisa dikenali lagi karena wajahnya lembam, habis babak belur dimassa. Simbahan darah yang berbaur dengan lumpur menjalar dan mengotori siapa saja yang ada di sekitarnya. Entah apa yang ada di benak para orang-orang hebat yang mengadili secara brutal si pria pencopet itu.

Mungkinkah mereka ada yang merasa puas karena telah merasa mampu menaklukkan pria copet, atau mungkin juga kasihan dan ingin membantu menyelamatkan namun tak berdaya karena massa yang mengamuk lebih kuat. Atau adakah mereka yang menyesal karena telah melakukan tindakan kasar itu.
Bagaimana kira-kira para hakim dadakan itu, mampukah mereka menatap wajah-wajah polos yang sedang kelaparan menantikan harap makan dari sang poncopet lusuh malang yang nyawanya hanya seharga isi dompet kecil sang Ibu kaya?

Apakah mereka akan mampu menjawab pertanyaan para bocah yang telah mereka naikkan status gelar dari miskin menjadi anak yatim? Bagaimana bisa menjawab dengan mudah harga nyawa pria lusuh ayahnya anak yang miskin itu?

Dompet kecil telah di tangan pemiliknya kembali. Lalu…., mahal sekalikah nyawa orang-orang hebat di sana yang disebut dengan terhormat dan terpandang yang dengan pintar dan lihai mampu mencuri uang yang rakyat yang tak bisa dihitung jumlahnya, dapat hidup senang dan bahagia? Tak kuat dan tak mampu aku memikirkannya.

Aku hanya mampu berdoa dan berharap banyak pada-Nya, semoga saja anak-anak kelaparan yang sedang menantikan ayahnya itu akan mendapatkan balasan bukan hanya sebungkus tetapi ribuan bungkus supermi yang menjadikan mereka anak yang hebat dan kuat sehingga mampu memposisikan dirinya kelak dalam hidup yang lebih adil.

Rina Youlida Nurdina adalah cerpenis / tinggal di Panyabungan, Mandailing Natal / guru Bahasa Indonesia

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.