Budaya

B A B I A T (Episode 3)

Karya: Halak Kotanopan

 

Pembicaraan tersebut rupanya menarik perhatian si Burhan, seorang pemuda desa tersebut, seorang pemuda yang baru meraih gelar sarjananya di tanah Jawa.

Kebetulan dia sedang pulang, mengantar pulang orang tuanya yang baru menghadiri wisudanya. Pagi itu sengaja datang ke kedai kopi hendak membeli nasi ketan dan pisang goreng kesukaannya. Sudah lama dia tidak merasakan sarapan dengan ketan dan pisang goreng. Di tanah Jawa, sarapan favoritnya itu terpaksa harus digantikan oleh sebungkus atau dua buangkus nasi kucing, nasi bungkus khas Jogja yang sudah menjadi pilihan utama anak anak kos. Apalagi diakhir akhir bulan saat uang kiriman orang tuanya sudah menipis.

Sambil menunggu ketannya di bungkus, si Burhan mencoba memberikan pendapat.

“Tapi Tulang, apa benar harimau ini sudah mengganggu?”, tanya si Burhan sambil duduk di dekat si Lubis.

“Apa maksudmu Burhan?, ya jelaslah! Coba tanya sipapaun disini, apa ada yang tidak merasa terganggu dengan kehadirannya?” seru si Lokot.

“Maksud saya Tulang, apa tidak dipikirkan kemungkinan lain?”, kata si Burhan pelan. Pemuda ini mencoba menenangkan si Lokot yang kelihatan terganggu dengan pertanyaannya.

“Misalnya, kenapa harimau ini sampai masuk ke wilayah pemukiman?, ya… katakanlah ke pinggiran desa kita”.

“Apa maksudmu Burhan, coba kau jelaskan dulu!”, Si Lubis yang duduk di dekat si Burhan mencoba memberikan kesempatan untuk si Burhan menjelaskan pendapatnya.

Si Lubis memang sangat terbuka terhadap pendapat siapa saja. Apalagi dia tahu pemuda ini sudah menyelesaikan sekolahnya, tentu dia sudah belajar banyak di rantau sana.

“Begini Udak, kalau menurut saya harimau ini masuk ke wilayah pemukiman karena terpaksa”, lanjut si Burhan.

“Terpaksa bagaimana maksudmu Burhan?”, tanya si Lokot.

“Iya, mereka terpaksa turun ke desa kita karena mereka sudah terdesak. Terdesak karena ulah kita semua. Tulang dan Udak kan tahu bahwa penebangan liar banyak di dareah kita belakangan ini. Bukan rahasia lagi kalau banyak kayu kayu illegal diangkut dari daerah kita”, lanjut pemuda tersebut.

“Kadang kita tidak sadar kerusakan yang telah diakibatkan penebangan liar ini. Dari desa ini kita memang masih melihat kehijauan saat kita memandang ke bukit sana. Tapi tahukah Tulang sama Udak, seperti apa hutan di balik bukit sana? Sudah habis Tulang! Hutan tempat harimau harimau itu sudah habis dibabat oleh tangan tangan yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, hewan hewan sumber makanan si Harimau juga pada hilang. Jadi wajar dia mencari daerah baru untuk mencari makan, kebetulan dia mencoba ke desa kita”, papar si Burhan.

“Oh, itu maksud mu Burhan”, kata si Lubis. “Tidak cuma itu”, lanjut si Lubis seolah sudah mengerti arah pembicaraan si Burhan.

“Bahkan sekarang ini sedang marak penambangan emas. Sebulan lalu hampir selama seminggu ada helikopter hilir mudik ke balik bukit itu. Sehari bisa lima kali helikopter turun naik membawa barang. Entah apa kegiatan mereka”, si Lubis menceritakan apa yang dia lihat sebulan lalu.

“Betul itu…”, timpal yang lain. “Kalau tidak salah katanya itu kegiatan penambangan oleh PT. Bukit Barisan Mas”, lanjut lelaki di seberang meja itu.

“Benar Burhan, saat ini usaha tambang emas lagi marak di daerah kita”, kata si pemilik warung mencoba menjelaskan pada si Burhan. Maklum si Burhan baru datang dari pulau jawa. Dia seolah ingin memberikan informasi terbaru pada pemuda itu.

“Bahkan si Pulan sudah menebang pohon cokelatnya”, lanjut pemilik warung itu.

“Loh, kenapa?, bukannya coklatnya sudah berumur 2,5 tahun. Seharusnya sudah masanya dia memetik hasilnya kan?, tanya si Lokot penasaran.

“Itulah, tapi kalian kan tahu kebunnya dia itu tidak jauh dari bekas tambang emas jaman Belanda dahulu. Sekarang di kebunnya sudah dibuka tambang emas, dia kerja sama dengan penambang dari Jawa Barat. Semacam bagi hasil lah… Sekarang sudah ada lobang lobang sepanjang puluhan meter di bawah kebunnya itu”, lanjutnya.

“Kebunnya itu hampir 24 jam tidak sepi dari aktifitas. Area tambang tersebut senantiasa terang siang malam dengan genset yang mereka bawa”, kata si pemilik warung menceritakan kembali apa yang pernah dia dengar langsung dari si Pulan.

“Apa lagi demikian udak”, kata si Burhan sambil berdiri menerima bungkusan ketan pesanannya.

“Suara helikopter yang menderu deru tentu sangat menakutkan bagi harimau tersebut. Apalagi suasana terang selama 24 jam sehari, tentu itu membuat sang harimau maupun binatang lain terganggu, tidak bisa istirahat”, kata si Burhan sambil membayar pesanannya.

“Bisa jadi.., tidak heran mungkin justru Na Gogo i lebih merasa aman di pinggir desa kita dari pada di tengah hutan sana”, sambut si Lubis seolah menyimpulkan penjelasan si Burhan.

“Iya Udak, kalau saya justru melihat kemunculan harimau ini belum merupakan suatu ancaman, tapi baru peringatan. Kalau kita tidak bisa lebih bijaksana, bukan hanya harimau yang datang menyambangi desa kita, tapi bisa bisa suatu saat, di tengah malam buta, desa kita diserbu oleh banjir bandang, menyapu sawah dan rumah rumah kita, mungkin juga akan menyergap dan membawa anak anak dan ibu ibu yang sedang tertidur lelap”, kata si Burhan dengan penuh kekhawatiran.

Semua terdiam.

“Saya duluan Tulang, Udak! Assalamualaikum!”, pemuda itupun pamit sambil menyudahi pembicaraan mereka.

“Waalaikum salam…”, jawab mereka serentak. Sesaat suasana di warung kopi tersebut sepi, mungkin mereka sedang mencoba membayangkan bahaya lain yang sedang mengancam desa itu. Bahaya yang mungkin lebih mengkhawatirkan dibanding seekor harimau. (bersambung)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.