Budaya

Bayangan di Ujung Lorong


 

Karya : Leli Marito

Kereta api menuju Jakarta berwarna biru tua dipadu jingga berhenti tepat di depan mata. Kedatangan kereta itu seakan mengunggah perih di hati. Malam mulai sepi, hanya beberapa penumpang yang berdiri di peron menunggu kereta berangkat. Kupeluk erat tubuh kekar berwarna coklat, membenamkan wajahku tepat di dadanya yang bidang. Tanganya yang kasar pertanda pekerja keras mendarat tepat di pinggulku yang ramping membalas hangat pelukanku.

Angin malam bergemuruh mengantarkan kepergian pujaanku menuju rantau sana. Rambutku terhempas terberai menutupi wajahku yang tirus, dengan sigap tanganya menyingkapnya dan menyelipkanya di balik telingaku. Kutatap nanar penuh arti mata coklatnya yang indah, dibalasnya dengan penuh rasa cinta

“Ayu…aku akan kembali, aku pergi bukan untuk menghilang, dikau tunggu setiap tanggal pertemuan kita, aku akan mengirimkan sepucuk surat padamu. Percayalaah Rahayu..akuuu Hidayat Rohmatulloh Panggabean, aku anak tak bertua, aku berjanji atas nama tuhan, aku tidak akan menikah jika bukan denganmu, Rahayu. Tunggu aku pulang, aku akan pulang tiga tahun lagi, percayalah”.

Suara mesin kereta yang semakin berpacu membuat Ahmad sahabat karib Rohmat melambaikan tangan pertanda agar segera memasuki kereta. Tangan kasarnya melepaskan tanganku, berlari kencang menuju kereta yang sudah berjalan pelan. Tepat di ujung lorong kereta, dia menoleh lagi padaku dan melambaikan tangan yang tak lagi bisa kusentuh. Bayangannya semakin terlihat jauh, jauh, jauh hingga lenyap sudah ditelan kegelapan malam. Aku tersungkur lesu di peron, lututku serasa lemas. Koran-koran bekas penumpang yang bertebaran dilantai terhembus angin meliuk-liuk tanpa arah. Dinginya malam dan sepinya kegelapan membuatku bangkit dan coba berjalan menuju keluar stasiun kereta api.

***

Pagi itu serasa buram. Langit biru yang setiap harinya kutatap biru cerah, kini berubah kelam, mendung tak bercahaya. Petir mengulung di angkasa membuat semakin lengkap sudah kurasakan kesepian dan kehancuran di hati. Bagaimana tidak, semalam aku baru melepas kepergian pelipur laraku. Kini kudengar sudah kabar buruk menegaskan kereta api menuju Jakarta yang berangkat semalam, hangus terbakar.

Memang tak ada kabar yang mengatakan Rohmat kekasihku meninggal. Namun, rasa resah dan cemas yang menghantui hati tak kunjung terlerai. Tetesan hujan pun akhirnya menuruni bumi. Anak kecil berlarian menyambut rahmat ilahi ini. Dari balik jendela rumah, mataku memandang jauh pada persawahan yang basah ditelan air.

Dengan jiwa melambung jauh, dan hati tak tentu arah, pikiranku mulai kacau. Berulang kali aku mengusap dadaku yang sesak mendengar kabar itu. Satu harapan tentang benar tidaknya berita buruk itu “Jika abang Rohmat tidak meninggal, aku yakin abang akan mengirimkan sepucuk surat padaku sesuai janjinya”.

****
Senin 08 Pebruari 1998
Assalamu alaikum cintaku Rahayu. Sehatkah kabarmu di sana..??? Kuharap dikau baik saja. Pasti adik sedang menanti surat dariku dan kabar kepastian tentang kebakaran itu..? Tak usah kau khawatir akan hal itu. Aku sudah sampai di Jakarta dengan selamat. Aku juga sudah menemukan pekerjaan. Betul kata orang dikampung tentang kota Jakarta, Ayu. Kota ini sangat ramai, bahkan ketika larut malam pun masih terlihat ramai layaknya siang. Rahayu, banyak gadis cantik di sini. Tak usah khawatir, Rahayu. Meski mereka cantik, aku lebih suka gadis desaku yang memakai kebaya, rok panjang dengan rambut ikat duanya..hahaha..Tahukah dikau, aku menulisnya sambil menatap senyum indahmu di pikiranku.
Sekian kiranya surat dariku
Kutitipkan rindu yang tak bertalu
Meski dikau tak merasa pilu dilanda rindu
Tak apa sungguh bagiku
Cukuplah engkau tetap menantiku
Wahaii Rahayuku
Hidayat Rohmatulloh

Senyum kembali terukir di wajahku. Tak bisa kulukiskan bagaimana rasa senangku. Kakiku menari-menari melompat di atas tempat tidur. Kuraih kembali surat berwarna merah jambu itu. Ingin rasanya saat ini aku berbagi bahagia dengan sahabatku Yusrina, Farizah, Fuji, Rukiah..! Kusebut nama keempat sahabatku dengan gembira.

Mereka terlihat asing dan aneh melihat tingkahku yang berbeda jauh dibanding hari-hari lalu yang murung.

“Ada apa denganmu, Ayu..?,” tanya Yusrina sambil menempelkan tanganya di keningku.

“Aku tidak apa-apa, aku bukan sedang sakit, aku sedang bahagia kawan, bukan sedang sakit..!,” tegasku meyakinkan.

“Apa yang berhasil membuat wajah murungmu menjadi wajah ceria seperti ini, Ayu..??,” tanya Izah meraih kertas berwarna merah jambu ditanganku dan membacakanya. Keempat sahabatku ikut tersenyum seraya memeluk erat tubuhku. Mungkin mereka ikut merasakan bagaimana bahagia dan girangnya hatiku saat ini. Dari hari ini, tak lelah aku menunggu Hidayat Rohamtulloh untuk kembali, meski pertanda cintanya yang masih mekar hanya sepucuk surat. Aku tak pernah lelah untuk menunggunya.

3 tahun kemudian
Suara kicau burung di atas pepohonan samping rumahku yang rimbun di pagi yang cerah untuk memulai hari. Hari ini bukan sekedar hari baik, karena empat hari yang lalu aku menerima surat dari abang Rohmat. Dia menuliskan bahwa hari ini dia akan kembali dan akan datang ke  rumahku untuk melamarku. Kupoles lagi bedak bertuliskan FANBO ke wajhku. Kuikat rapi dan menempelkan penjepit rambut berbentuk bunga mawar di kedua ikatan rambutku. Kutatap wajahku di cermin memutar dan memiringkan wajahku melihat apa sudah terlihat sempurna, aku tak ingin pujaanku kecewa melihatku.

Tok!Tok!Tok! “Assalamualaikum….”.

“Mari masuk” ucap ibu dari ruang depan. Aliran darahku rasanya berdesir deras. Jantungku bertedak tak menentu. Sesak di dada. Bukan karena aku takut, tapi karena aku tak tahu bagaimana ekspresiku ketika pertama berjumpa dengan abang Rohmat setelah sekian lama tak bertemu. Kurapikan bajuku, dan kutaril nafas panjang, kakiku melangkah menuju ruang tengah.

“Nak..Ayu..ayo duduk, ini loh..masmu Ahmad, pulang dari Jakarta. Katanya mau lamar kamu..”.

Deg!!
Hening kurasa seketika. Jantungku seketika berhenti berdenyut. Bagaimana tidak, senang sangat kurasa menerima surat abang Hidayat Rohmatulloh Panggabean yang mengatakan akan melamarku hari ini. Namun, mengapa bukan bang Rohmat yang datang….??? Dan, dan kenapa yang datang malah bang Ahmad..???.

“Maaf Rahayu…Hidayat Rohmatulloh sesungguhnya telah meninggal tiga tahun lalu. Dia meninggal saat kebakaran dalam kereta api”.

“Tidakkk..!!! Bang Hidayat Rohmatulloh tidak meninggal. Dia baru saja mengirimku surat dan akan melamarku hari ini. Dia tidak kenapa-kenapa saat kebakaran ituu…..Dia mengirimiku surat setiap bulanya….hikss hikss,” air mataku mengalir deras. Aku tersungkur di lantai beralas tikar yang hampir rusak. Wajahku tertunduk membuat air mataku mengalir berjatuhan membasahi tanganku. Kudengar suara langkah Ahmad mendekat padaku. Tanganya mendongakkan wajahku dan menghapus bersih air mataku dengan jemarinya.

“Ayu….maaf sekali lagi..Akulah yang selalu mengirimimu surat itu. Akulah yang memberikanmu ribuan puisi cinta itu. Hidayat Rohamtulloh yang memintaku untuk melakukan itu. Ia berpesankan itu padaku saat dia akan meninggal. Dia tak ingin engkau menikah dengan lelaki yang salah, Rahayu. Hapuslah air matamu itu, berdirilah bersamaku. Aku di sini bukan untuk menghapuskan Rohmat di hatimu, namun aku di sini untuk menggantikanya. Menggantikanya menemani sisa hidupmu bersamaku. Bangkitlah dan katakan bila kau setuju, karena ini amanah Hidayat Rohmatulloh”.

Kudongakkan wajahku dan kutatap wajahnya yang berkata “aku cinta kamu”. Kulirik tanganya yang mengulur tepat di depanku. Kusambut uluran tanganya itu dan berdiri sambil menghapus lututku yang kotor.

“Hidayat Rohmatulloh…selamat tinggal kekasihku…aku yakin engkau mengirimkan seorang laki-laki yang terbaik untukku. Akan kujaga cintaku, kujaga bersama Ahmad”.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.