Seputar Madina

BKKBN Sumut Jangan Bikin Resah di Madina

dr Nondang (tengah) didampingi Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat, Hotmadeli Siregar (kiri) dan Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Badan Perencanaan Pembangunan Madina, Lesti Mafitri, SE (kanan), Rabu (9/2/2022) memperlihatkan tabel data stunting di Madina kepada wartawan.

PANYABUNGAN (Mandailing Online) – Pihak BKKBN Sumut diminta memeriksa kembali data mereka tentang angka stunting di Mandailing Natal (Madina).

Hal itu sangat penting agar data BKKBN tidak menimbulkan keresahan di Madina.

Pasalnya angka 47,7 persen yang dirilis BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional)

Sumut jauh panggang dari api.

Sebab, justru data ril di Madina pada tahun 2021 hanya 8,0. Menurun dari tahun 2020 yang berada di angka 9.65 persen.

Bahkan, pada akhir tahun 2022 prosentase itu ditargetkan bisa turun menjadi 6-7 prosen,” ungkap Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Dinas Kesehatan Madina, dr. Nondang Eflita menjawab wartawan di Panyabungan, Rabu (9/2/2022).

Nondang didampingi Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat, Hotmadeli Siregar; dan Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Badan Perencanaan Pembangunan Madina, Lesti Mafitri, SE.

Berdasar data terakhir yang mereka miliki, jumlah anak balita (bawah lima tahun) di Madina 28.831 jiwa, sebanyak 8,0 persen atau 1.618 jiwa di antaranya menderita stunting.

“Secara keseluruhan angka stunting di Madina belum mengkhawatirkan. Bahkan kami optimis angka 8.0 prosen masih bisa ditekan pada akhir tahun ini,” katanya.

Nondang menjelaskan hal itu sehubungan adanya pernyataan Kepala Perwakilan BKKBN Sumut Muhammad Irzal kepada Gubernur Edy Rahmayadi yang menyebutkan angka stunting Madina sudah tahap mengkhawatirkan karena mencapai 47,7 prosen.

Nondang tidak menyalahkan data BKKBN, namun pihaknya perlu memberi penjelasan agar masyarakat paham kondisi riil penderita stunting di Madina.

“Data BKKBN yang menyebutkan angka stunting di Madina 47,7 persen tidak akurat. Dengan kata lain, margin error-nya tinggi,” ujar Nondang.

Sumber data yang dipegang BKKBN Sumut berasal dari SSGI (Survey Status Gizi Indonesia) yang hanya dilakukan secara random terhadap 22 desa dari 377 jumlah total desa di Madina dari 404 jumlah total desa/kelurahan di Madina.

Informasi yang diperoleh wartawan, sewaktu petugas SSGI mereka tidak koordinasi dengan Dinas Kesehatan Madina. Saat itu, petugas survey yang turun ke desa berpenampilan seperti mahasiswa. Setelah mengambil sampel, langsung entry secara online ke pusat.

Proses pengambilan data itu dinilai kurang menggambarkan kondisi riil di lapangan. Untuk melihat data stunting sejatinya harus berdasarkan EPPGBM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).

“Ini yang sebenarnya kami lakukan di Dinas Kesehatan Madina. Ada ukur-timbangnya di setiap Posyandu. Saat ini jumlah Posyandu 420-an,” jelas Nondang.

Secara rinci berdasar data Dinas Kesehatan Madina, pada tahun 2020, penderita stunting ada di 20 desa atau lokus stunting. Lokus stunting adalah  kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK).

Ke-20 desa tersebut terdapat di tujuh kecamatan. Yaitu: Kecamatan Pakantan (4 desa), Muarasipongi (2), Tambangan (3), Hutabargot (2), Ulupungkut (1), Batang Natal (5), dan Muara Batang Gadis (3).

Pada 2021, penderita stunting terdapat di 20 desa dari tiga kecamatan, yaitu: Ulupungkut (7 desa), Kotanopan (2), Tambangan (11).

Pada tahun 2022, penderita stunting ada di delapan kecamatan, meliputi: Kotanopan (1 desa), Hutabargot (4), Pakantan (7), Panyabungan (1), Muara Batang Gadis (1), Rantobaek (1), Batang Natal (1), dan Siabu (1).

Peliput: Dahlan Batubara

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.