Artikel

Demokrasi Suburkan Korupsi, Islam Punya Solusi

 

Oleh : Anita Safitri, S.Pd
Aktivis dakwah & anggota komunitas Madina Menulis

 

 

Korupsi di Indonesia saat ini sudah tidak terkendali, dari tahun ke tahun semakin meningkat seolah menjadi tren dimana-mana. Di tahun 2021 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengantongi sebanyak 3.708 laporan dugaan korupsi sejak Januari hingga November 2021. Dari 3.708 laporan tersebut, sebanyak 3.673 telah rampung di proses verifikasi oleh KPK. (SINDONEWS.com, 17/12/2021)

Kemudian, berdasarkan hasil penelusuran dari laman resmi KPK, laporan dugaan korupsi terbanyak berasal dari DKI Jakarta. KPK mengantongi sebanyak 471 aduan dugaan korupsi dari wilayah DKI Jakarta. Kedua, wilayah Jawa Barat sebanyak 410 aduan; disusul Sumatera Utara 346 aduan; Jawa Timur 330 aduan; dan Jawa Tengah dengan 240 aduan. (SINDONEWS.com, 17/12/2021)

Pelaku korupsi sudah tidak mengenal kelas dan strata lagi. Sepanjang tahun 2021, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan 6 kepala daerah terjerat korupsi, mulai dari mantan Gubernur Sulawesi Selatan hingga mantan Bupati Banjarnegara. (suara.com, 25/12/2021)

Dikutif dari TEMPO.co, ICW menyebut nilai kerugian negara akibat korupsi meningkat. Pada semester 1 2020, nilai kerugian negara dari kasus korupsi sebesar Rp 18, 173 triliun, kemudian di semester 1 2021 nilainya mencapai Rp 26, 83 triliun. Dengan kata lain, terjadi kenaikan nilai kerugian negara akibat korupsi sebesar 47,6 persen. (14/09/2021)

Bukan mengejutkan lagi, korupsi di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Sistem politik demokrasi telah menciptakan politik biaya tinggi. Para politisi harus mengeluarkan modal besar dari diri mereka sendiri atau dibiayai berbagai cukong politik demi menduduki kursi kekuasaan. Setelah berkuasa, mereka harus mengembalikan modal politik juga membalas budi para cukong yang telah membiayai mereka. Nah, jalan satu-satunya adalah korupsi karena gaji dan tunjangan resmi saja tidak akan cukup.

Permasalahan korupsi sudah menjadi penyakit kronis dalam pemerintahan. Korupsi bukan hanya persoalan individu, melainkan persoalan sistemik dan endemik yang berdampak besar. Akibatnya, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merampas hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Itulah sebabnya korupsi disebut sebagai tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crimes).

Tingginya angka korupsi membuktikan bahwa solusi-solusi yang diupayakan oleh pemerintah tidak mampu mengatasi kasus korupsi di negeri ini termasuk KPK. Lembaga anti rasuah ini merupakan lembaga negara yang bertugas memberantas korupsi bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, namun sampai sekarang korupsi masih berkeliaran dan tumbuh subur.

Selain itu, hukuman yang diterima para koruptor berupa penjara dan denda tidak setimpal dengan kejahatan yang mereka lakukan. Mirisnya, penjara yang disediakan untuk pelaku korupsi di design bak hotel bintang lima. Alih-alih memberikan efek jera justru korupsi semakin masif.

Korupsi di Indonesia tidak akan pernah hilang selama masih mengadopsi sistem kapitalisme demokrasi sebagai pangkal berbagai persoalan termasuk maraknya korupsi. Sistem kapitalisme yang berasaskan sekuler atau pemisahan agama dari kehidupan telah menghasilkan individu tamak akan materi serta tidak lagi mengenal halal haram perbuatan.

Sistem demokrasi memberikan hak membuat hukum kepada manusia telah menimbulkan berbagai kerusakan, maka solusi tepat hanyalah penerapan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan termasuk politik. Sesungguhnya Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an bahwa “hak membuat hukum hanyalah milik Allah SWT” (QS. Yusuf : 40). Dengan berhukum pada hukum-hukum Allah secara total merupakan bukti keimanan dan wujud ketaqwaan umat Islam yang akan mendatangkan kebaikan kepada umat manusia.

Dalam Islam politisi dan anggota majelis umat tidak turut menentukan UU, kebijakan, proyek, anggaran dan pengisian jabatan, tetapi fokus pada fungsi kontrol dan koreksi termasuk Mahkamah Mazhalim. Kepala daerah ditunjuk langsung oleh khalifah. Keberlangsungan kepala daerah ditentukan oleh khalifah juga penerimaan masyarakat termasuk anggota majelis wilayah. Tentu kepala daerah yang terpilih berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi, sehingga tidak perlu sistem balik modal ketika jabatan diperoleh sebagaimana sistem demokrasi.

Syariah Islam memberikan hukuman berat kepada pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram yakni berupa ta’zir atau sanksi yang jenis dan kadarnya sesuai berat ringannya kejahatan untuk memberikan efek jera kepada pelaku korupsi. Sanksi ringan itu seperti sekedar nasehat atau teguran berupa penjara dan pengenaan denda, pengumuman pelaku di depan publik, hukuman cambuk dan sanksi paling berat adalah hukuman mati.

Islam juga melakukan pencatatan harta terhadap harta pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin al-Khattab ra. Jika khalifah Umar merasa ragu akan kelebihan harta pejabatnya maka hartanya dibagi menjadi dua dan memasukkan separuhnya di Baitul Mal. Khalifah Umar juga tidak segan merampas harta yang diberikan oleh para pejabatnya kepada karib kerabat mereka. Hal ini pernah dilakukan Umar bin al-Khaththab ra. kepada Abu Bakrah ra. karena kerabatnya bekerja sebagai pejabat Baitul Mal dan pengurusan tanah di Irak.

Mencampakkan demokrasi kemudian menggantinya dengan sistem Islam adalah satu-satunya solusi pemberantasan korupsi. Islam adalah agama sekaligus aturan dalam kehidupan. Sudah saatnya umat Islam kembali kepada tuntunan dan aturan yang berasal dari Allah SWT dibawah sistem pemerintahan Islam atau khilafah yang menerapkan syariah Islam secara sempurna.

Wallahu A’lam Bish-shawab

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.