Budaya

GARA-GARA “GANTI SURAT”

Cerpen: Rina Youlida N

“Praaang…… praaaang….….”

Suara piring berdentang sahut-sahutan dari arah dapur. Tak asing lagi jika suara itu sudah menjadi langganan setiap kali Rahma, istri Udin menyuci piring. Seolah itu adalah pekerjaan yang sangat melelahkan atau memalukan, Rahma tidak pernah ikhlas untuk mengerjakannya.

Bukan itu saja, memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya yang lazim dikerjakan oleh seorang wanita yang berstatus sebagai seorang ibu rumah tangga pun sulit untuk Rahma terima. Tak ada yang tahu pasti apa alasannya. Mungkin saja Rahma berontak dengan kebiasaannya sebagai karyawan bank sebelum ia menikah yang selalu tampil cetar dan fashionable dengan riasan makeup yang sempurna setiap hari.

Hampir tak pernah memikirkan melakukan pekerjaan rumah sehingga tangan dan kukunya tetap sley setiap saat, namun berbanding terbalik dengan keadaannya setelah berumah tangga, apalagi sudah dikaruniai dua orang anak nan lucu dan menggemaskan yang masih balita membuat ia jauh berbeda dengan kebiasaan sebelumnya. Jangankan merias diri, mandipun ia keteteran.

Udin berusaha memaklumi kemampuan istrinya dalam mengurus rumah tangga karena ia tahu jika istrinya adalah putri tunggal di rumahnya yang selalu mendapat perlakuan berlebih dari orangtuanya. Apalagi ia adalah anak dari toke karet yang terkenal kemasyhuran keluarganya yang segala sesuatu di rumah dilakukan oleh asisten rumah tangga.

Namun, cinta yang bersemi dan terjalin selama kurang lebih empat tahun antara Udin dan Rahma membawa mereka hingga sah ke pelaminan.

Udin yang bekerja sebagai staf di salah satu instansi pemerintahan belum mampu untuk membiayai asisten untuk bekerja di rumah apalagi istrinya kini sudah resign dari pekerjaannya dan fokus mengurus keluarga saja agar menghemat biaya. Udin tidak ingin jika dianggap suami yang tidak bertanggungjawab jika harus menerima suntikan biaya rumahtangga dari mertua yang sangat ia hormati itu.

Ia selalu berusaha sabar dan menenangkan hati istri tercintanya agar sabar dan belajar lebih ikhlas dalam mengurus anak dan rumah, karena itu Udin tidak pernah sungkan untuk melakukan pekerjaan rumah sebelum ia berangkat bekerja untuk membantu istrinya meringankan beban tugas rumah tangga seperti menyapu rumah, menjemur pakaian, memandikan anak-anak dan lainnya.

Merasa bising dengan suara peralatan dapur yang terdengar hingga ke rumah tetangga, Udin terbangun dari tidurnya. Sambil mengucek-ngucek matanya ia menatap ke arah jam dinding yang terpajang tepat lurus arah kakinya.

“Hmmm…. sudah setengah enam rupanya” gumam Udin seraya beranjak dari tempat tidurnya.

Sambil mengusap-usap kepala yang rambutnya sudah memanjang karena belum sempat memotong rambut selama dua bulan ini, ia langsung menuju kamar mandi, bukan mengabaikan istri tercintanya, tetapi ia hendak menghadap dan “melapor” pada sang pencipta terlebih dahulu memenuhi kewajiban utama Udin sebagai umat muslim.

Selesai solat, ia melihat istrinya yang sedang mencuci piring dengan muka masam dan bibir manyun.

“Selesaikan saja piring kotor itu, biar abang yang buatkan sarapan. Nanti adek urus anak-anak saja supaya tidak terlambat mereka makannya”.

Dengan sabar Udin mengambil alih pekerjaan dapur hingga tuntas semua, ia pun berangkat kerja dengan terburu-buru mengejar apel pagi di kantornya.

Saat sibuk bekerja di kantornya, tiba-tiba terdengar suara HP berdering, ternyata ada panggilan masuk dari istrinya yang menyatakan bahwa ia telah kena tilang polisi saat belanja tadi. Pajak di STNK sudah mati karena belum bayar dan ternyata SIM-nya juga sama, sudah lama mati izinnya. Udin belum memiliki uang yang cukup untuk mengurus kembali surat-surat kendaraannya.

“Yaa…., nanti abang pulang, dan akan langsung ke kantor Lantas untuk mengurus sepeda motornya, adek pulang saja naik becak ya….”, saran Udin pada istrinya.

Sesampainya di rumah, wajah Udin terlihat kusut karena ia harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menutupi kesalahannya sehingga sepeda motornya kembali. Bukannya disambut baik, Rahma justru marah-marah sambil mengatakan jika ia sangat malu dengan keadaannya ini. Tak pernah ia bayangkan akan sesulit ini hidupnya berumahtangga. Ia juga menyalahkan suaminya yang terlalu gengsi menerima bantuan dari orang tuanya.

“Okeee ….., aku akan ganti surat!, biar adek puas !”.

“Adek mau kapan ganti suratnya? Segera akan abang ganti ! Abang juga sudah cukup lelah memikirkannya!”.

Sontak saja Rahma terkejut mendengar kalimat dari mulut suaminya itu. Belum pernah ia mendengar suaminya berbicara dengan nada tinggi kepadanya. Ditambah lagi ia menafsirkan lain kalimat yang suaminya itu ucapkan.

Selepas waktu Magrib, di pintu terdengar suara ketukan. Udin bergegas membukakannya. Udin terkejut karena melihat kedua mertuanya sudah berdiri dengan tatapan tajam pada Udin.

Rahma yang sedari sore mengurung diri di kamar, pun keluar mendengar suara ibunya yang memanggil namanya yang telah sampai di rumah. Tanpa dipersilakan, kedua orangtua Rahma sudah mengambil posisi duduk tepat di hadapan Udin.

“Udin….., saya sudah mendengar semua penjelasan permasalahan kalian berdua dengan Rahma. Saya sulit terima perlakuan dan ucapanmu kepada putri saya ini. Dia adalah harta kami yang paling berharga, saya tidak sangka kamu tega sekali menyakitinya dan berniat menceraikannya tanpa alasan yang jelas”, ucap ayah mertua Udin berapi-api sambil menunjuk ke arah Udin.

“Jika memang betul niatmu mengganti surat segeralah urus perceraian dengan anakku, lakukan secepatnya karena aku tak akan rela melihat anakku menderita hidup denganmu”, lanjut ayah mertuanya lagi.

Dengan wajah melongo, Udin tak sanggup menjawab ayah mertuanya. Ia bertanya-tanya dalam hati apa gerangan yang terjadi sehingga kedua mertuanya datang dan membicarakan soal perceraian. Tetapi setelah ibu mertuanya berbicara dan menjelaskan jika tadi Rahma menghubungi mereka melalui telefon yang menyatakan bahwa Udin akan segera mengganti surat-surat agar istrinya puas barulah Udin faham.

Ternyata kalimatnya pada istrinya, “Okeee ….., aku akan ganti surat!, biar adek puas !” “Adek mau kapan ganti suratnya? Segera akan abang ganti ! Abang juga sudah cukup lelah memikirkannya!”, telah salah tafsir. Mungkin karena sering bertengkar belakangan ini.

Istri dan mertuanya telah salah menanggapi apa yang telah Rahma laporkan pada orangtuanya.

Dengan tenang Udin menarik nafas dalam dan mulai berbicara pelan dan hati-hati, setelah mertuanya berhenti berbicara.

Tulang dan Nantulang….. saya mohon maaf sebelumnya dengan keadaan ini. Saya benar-benar tidak tau akan serunyam ini masalahnya. Tak ada sedikit pun terbersit di hati saya untuk bercerai dengan Rahma. Saya sangat menyayangi keluarga saya. Masalah mengurus surat yang saya maksudkan adalah tentang surat-surat kenderaan kami yang sudah lama mati dan harus segera diganti dan diperbaharui, bukan mengurus surat cerai”, Udin menjelaskan dengan sopan.

“Tapi jika Rahma berkeinginan demikian dan Tulang, Nantulang juga merestui perpisahan, saya tidak bisa berbuat banyak. Mungkin Rahma tidak bahagia hidup dengan saya yang hanya mampu memberi kesederhanaan untuk Rahma”, tambah Udin sambil menatap ke arah istrinya yang sudah menunduk malu karena telah salah menyampaikan informasi pada orangtuanya.

Di dalam hati Udin merasa sedikit lega menyampaikan kalimat-kalimat itu sebagai pengobat hatinya karena sering dicap suami takut istri oleh teman-temannya.

Dengan mata melotot, kedua orangtua Rahma serentak memandangnya dan menyuruh putri kesayangannya itu meminta maaf pada Udin.

Dengan rasa lega dan sedikit dapat membusungkan dada, sambil tersenyum Udin berkata, “segera kita ganti surat-suratnya ya dek”, kali ini mertua juga setuju, sambil tarik kocek untuk menutupi pajak kenderaan dan SIM yang sudah lewat waktu itu.***

Rina Youlida N adalah guru di SMP Negeri 6 Panyabungan, Mandailing Natal

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.