Budaya

IBUKU LEBARAN DI SYURGA

Cerpen
Rina Youlida

 

“Santi, ayo bangun, mari bantu mamak menyiapkan sahur kita, kamu panaskan air di periuk kecil itu supaya masak nasinya lebih cepat”.

“iya mak”, jawabku dengan suara lembut sambil mengucek mataku karena masih terasa sangat berat untuk beranjak dari tempat tidurku yang hanya beralas sebuah tikar tipis dari anyaman daun pandan berduri dilapisi sepotong kain panjang.

Sambil merebus air untuk menanak nasi, kulihat ibuku keluar rumah membawa sebuah baskom kecil menuju kolong rumah panggung kami yang terbuat dari papan dan kini terlihat sudah mulai lapuk dimakan usia. Mamakku dengan teliti dan hati-hati mencari telur itik yang setiap hari berada di kolong rumah untuk dijadikan santapan hidangan sahur kami hari ini.

“Alhamdulillah”, gumam mamak dalam hatinya karena mendapati dua butir telur itik yang masih sangat segar. Dengan cekatan mamak menyiapkan hidangan sahur kami dengan lauk sepiring telur itik dadar yang sangat gurih dan nikmat.

“Sana bangunkan ayah dan adikmu supaya kita segera makan, waktu imsak tinggal setengah jam lagi”, kata mamak sambil melihat jam dinding merk Saiko yang tergantung lusuh peninggalan nenekku dulu.

Selesai bersantap sahur, ayahku keluar rumah untuk duduk sejenak menanti imsyak dan adzan subuh sembari menyulut sebatang rokok karena nikmat sekali kata ayah jika sehabis makan itu merokok.

Di dalam rumah aku dan ibu membereskan sisa makanan dan piring kotor yang nanti akan kubawa ke surau dekat rumahku untuk dicuci dan sekalian sholat subuh di surau itu.

Sambil memasukkan piring-piring kotor itu ke dalam ember, kusempatkan bertanya pada mamakku yang terlihat sedang mempersiapkan diri juga untuk pergi bekerja dengan teman-teman ibu lainnya di desaku sebagai buruh tani.

“Mak, empat hari lagi kita sudah lebaran, aku pengen punya baju baru, gak usah yang mahal-mahal, asalkan ada aja yang baru aku pasti senang mak. Di pasar dekat kampung kita ada buka toko pakaian baru yang murah-murah lho mak, aku tau karena kemarin aku diajak si Ijah menemani dia belanja di toko itu mak”, rayuku ke mamak yang hanya terlihat senyum-senyum saja.

“Yaa, mamak usahakan ya, mamak juga kasihan melihat kamu dan adikmu itu belum punya baju dan sandal baru untuk lebaran ini. Doakan nanti mamak memperoleh rezeki yang lebih hari ini ya, biar nanti kita sama-sama beli baju barunya. Kemaren mamak diajak sama wak Ifah dan kawan-kawan ibu mencari serpihan emas sisa mandompeng di tambangnya Pak Jakayo. Biasanya hasilnya bagus di lahan tambangnya itu”, jawab mamak dengan penuh semangat ingin menyenangkan kami belahan hatinya.

Waktu berjalan dengan cepat, sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi, mamak pun pamit untuk berangkat bekerja dengan ibu-ibu kawannya yang sudah berkumpul untuk berangkat bersama. Ayahku yang sedari selesai sholat subuh kembali tidur tidak sempat melihat mamakku berangkat kerja karena masih sangat ngantuk, semalam suntuk begadang di warung kopi seberang rumah.

Mentari terik menyengat kulit, waktu sudah menjukkan pukul 13.00 siang, kuangkati kain jemuran yang sudah kering mengeras akibat terpaan sengatan matahari. Kuajak adikku Rohim yang masih berusia lima tahun untuk duduk disebelahku sambil bercerita tentang kancil yang cerdik. Rohim sangat senang mendengarnya dan ia tidak pernah bosan, walaupun cerita itu telah berulang-ulang kuceritakan.

Seperti biasa iapun mengantuk mendengar ceritaku sambil menahan suara keroncongan di perutnya yang sedari tadi sering terdengar di telingaku.

Rohim yang sudah terpejam tetapi belum terlelap berbicara dengan nada lemah, “Kak, mamak masih lama pulang? Aku rindu sama mamak. Tadi pagi waktu sahur telur dadar mamak enak sekali kan kak”.

Aku menatap wajah polos adikku dan membelai rambutnya yang sudah mulai memanjang menutupi keningnya.

“Sebentar lagi mamak pulang dek, kamu tidur saja dulu, pas bangun nanti pasti mamak sudah pulang dan akan kakak minta dimasakin lagi telur dadar seperti tadi pagi”.

Adzan Ashar berkumandang dari menara masjid menunjukkan waktu persiapan untuk keperluan berbuka. Mentari mulai meredup tapi aku belum melihat tanda-tanda mamakku akan pulang.

Pikek anak wak Ijah yang mengajak mamakku kerja ke tambang itu sempat bertanya apa mamakku sudah pulang. Tentu saja aku jawab tidak, mamakku belum pulang apalagi perginya dengan wak Ijah pasti pulangnya juga akan bersama wak Ijah dan teman mereka.

Hari semakin petang, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, aku mulai memasak beras yang tinggal satu muk lagi di kaleng tempat penyimpanan beras kami. Khawatir jika nanti mamak pulang kesorean, sudah ada yang dimakan waktu berbuka puasa tiba.

“Santi, santi..!! ayahmu dimana?’

Tiba- tiba terdengar suara teriakan bang Hasan yang bekerja sebagai kuli panggul di tambang emas pak Jakayo.

“Ada apa bang? Ayahku ada di warung seberang bang. Kenapa bang ? kok abang kliatan aneh amat”.

Tanyaku melihat abang itu tidak bersikap seperti biasanya.

Dengan wajah yang pucat, nafasnya ngos-ngosan dan terbata ia berkata, “Tolong dibuka pintu rumah adek lebar-lebar dan gelarkan tikar ya, sebentar lagi mereka akan sampai”.

Dengan gugup aku menuruti perintah bang Hasan, apalagi mamak belum datang, sementara aku belum biasa menghadapi tamu banyak-banyak menjelang lebaran seperti ini. Tapi wajah bang Hasan membuatku makin penasaran. Jadi, aku beranikan lagi bertanya “Ada apa sebenarnya bang? Siapa yang mau datang ke sini bang?”.

Tapi bang Hasan sama sekali tidak menyahutiku, ia hanya meraih tangan adikku Rohim dan memeluknya dengan erat, membuatku makin bertanya dan semakin bingung.

Ayahku yang mendengar suara teriakan bang Hasan dari warung seberang bergegas pulang dan kebingungan melihat rumah kecil kami terbuka lebar dengan hamparan tikar yang sudah digelar.

Belum sempat ayah bertanya apa gerangan yang terjadi, dari arah jalan menuju rumahku terlihat beberapa pria yang menandu sesuatu dalam kain sarung yang disematkan pada dua bilah kayu.

Mereka dengan cepat berjalan menuju ke arah rumahku. Tanpa menggunakan alas kaki dan dengan pakaian yang kotor diselimuti lumpur, mereka masuk ke dalam rumahku secara hati-hati agar benda yang mereka angkat tidak terjatuh. 

Dengan perlahan mereka meletakkan benda yang mereka tandu itu di atas tikar anyaman. Pelan-pelan salah seorang dari mereka membuka kain sarung yang menutupi benda besar dan panjang itu. Betapa terkejutnya aku melihat sosok yang ada dibalik kain sarung basah berlumpur itu adalah wajah mamakku yang sedari tadi kunantikan kehadirannya.

“Maaaak….maaaaak…..bangun maaaak!!”.

Teriakanku pecah melihat wajah pucat, yang tak kupercaya telah tak bernyawa terbaring dingin di hadapanku. Adikku Rohim yang sedari tadi ketakutan juga ikut berteriak dan melompat memeluk tubuh mamakku yang masih basah berlumpur.

Ayahku hanya mampu terpaku tak percaya dengn apa yang ia lihat di hadapannya. Dengan tetesan air mata yang tak bisa ia bendung, terlihat tegar menyambut para warga yang mulai berdatangan untuk melihat mamakku yang sudah terbujur kaku.

Mentari pagi, tiga hari menuju lebaran Idul Fitri yang suci, aku dan adikku melepas kepergian mamakku yang sangat mulia ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ayahku turut memandu ibuku untuk yang terakhir kalinya.

Dalam pelukku, Rohim yang sedari kemarin sore selalu bertanya tentang keadaan mamak terlihat sangat lemas dan tetap bertanya, “kak.. mamak mau kemana? Orang-orang itu mau bawa mamak kemana kak?”

“Mamak mau ke syurga dek, mamak mau lebaran di syurga”.

Jawabku dengan rasa yang sangat hancur, aku sangat menyesal mengingat permintaanku untuk dibelikan baju baru. Andai aku tak meminta baju baru, mungkin mamak tidak akan pergi ke tambang, mungkin mamak tidak akan tertimbun longsoran tambang dan mungkin mamak masih ada di sini bersamaku dan Rohim dan mungkin kami akan lebaran bersama dengan sederhana tanpa baju baru.***

 

 Rina Youlida – FKP Madina

Cerpen ini didedikasikan untuk 12 almarhumah Pertiwi Madina di Linggabayu, yang meluluhlantakkan hatiku dalam perjuangannya, dengan harap menjadi penyadar bagi semua lini di PETI.

 

foto grafis cerpen diambil dari UcBrowser / Kluban.net

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.