Artikel

Islamisasi Nusantara (Indonesia) atau Nusantaraisasi (Meng-Indonesiakan) Islam?

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik

Janggal! Ahistoris! Tanpa bukti dalil! Itulah sederetan kata yang tepat disematkan untuk pernyataan salah satu menteri yang menjabat saat ini. Karena mengeluarkan pernyataan yang mengundang bingung publik dan juga sempat viral belum lama ini. Sebagai seorang pejabat bahkan dianggap punya kapasitas intelektual secara keilmuan tentu setiap ucapannya menuai perhatian.

Seperti dilansir dari beberapa media, menteri tersebut menyatakan bahwa  sebenarnya yang harus dilakukan adalah menusantarakan atau ia sebut meng-Indonesiakan Islam bukan mengislamisasi Nusantara. Pernyataan ini menjadi kontroversi lagi di kalangan intelektual khususnya umat Islam. Bukankah selama ini yang dipahami dari aspek hisroris adalah Islamisasi?

Setiap wilayah yang didatangi oleh kaum Muslim semata-mata adalah dorongan syiar dawah, yang berarti ada proses untuk mengenalkan sesuatu yang baru hingga mendapat tempat pada objek sasaran yang dituju (dakwah). Jika demikian, manakah sebenarnya pernyataan yang tepat baik secara historis maupun secara syariah? Karena tentu saja, standar kebenaran harus dikembalikan kepada syariah sebagai hukum yang ditetapkan oleh As-Syari’ ( Allah SWT)

Antara Mengislamkan Nusantara dan Menusantarakan Islam

Jelasnya, pernyataan menteri tersebut bermakna bahwa Islam harus mampu menyesuaikan diri dengan budaya setempat (kearifan lokal). Seperti di Indonesia yang sangat kaya dengan adat istiadat, budaya, dan kebiasaan. Sehingga yang perlu itu adalah meng-Indonesiakan Islam (menusantarakan Islam).

Andai harus memaksakan kehendak si Menteri untuk mengaplikasikan pernyataan tersebut, lalu Islam seperti apakah yang cocok di Nusantara (Indonesia) sesuai kearifan lokal? Apakah budaya buka aurat harus diterima dan Islam menyembunyikan dalil kewajiban menutup aurat?

Lalu khomar. Budaya lokal yang menghalalkan khomar haruskah diterima Islam hingga jadi halal? Dan sebagainya. Apakah termasuk korupsi yang sudah jadi budaya nasional harus diterima Islam? Hingga Islam harus dibungkam dan dipaksa menerima kondisi negeri ini yang sudah mendekati hancur.

Dalih pendekatan normatif selalu jadi senjata andalan untuk menepis kewajiban menerapkan syariat Islam secara kafah. Kalimat “yang penting substansinya bukan istilah atau namanya”. Padahal, substansi itu bisa dipahami dari istilah (bahasa) juga bukan? Syariat adalah istilah/bahasa.

Substansinya adalah hukum yang diturunkan oleh Allah SWT untuk diterapkan dalam kehidupan manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Jika tidak diterapkan, bagaimana substansi itu bisa dipahami dan diperoleh?

Mengindonesiakan Islam dengan maksud menjadikan Islam harus tunduk pada nilai-nilai lokal di Indonesia adalah pemikiran yang keliru dan ahistoris. Sebab sejarah telah membuktikan bahwa Islam datang ke Nusantara dan terjadi Islamisasi pada semua aspek kehidupan.

Para ulama yang membawa Islam ke Nusantara mempelajari kebiasaan masyarakat pra Islam, dan melakukan pendalaman dalil-dalil Al-Quran terkait kebiasaan-kebiasaan tersebut. Menandai mana kebiasaan atau pemikiran yang bertentangan dengan Islam sehingga harus dibuang total, mana yang boleh diambil tanpa harus mengganggunya dan tetap original karena sifatnya mubah, dan mana yang bisa dihiasi dengan islami.

Tidak semua kearifan lokal sifatnya mubah/boleh, ataupun haram. Setiap daerah punya pemikiran dan adat istiadat yang berbeda. Sehingga harus diteliti lebih mendalam. Jika dalil penolakannya sudah jelas dalam Islam, maka tidak perlu mengkompromikannya dengan hukum Islam agar bisa diterima.

Oleh karena itu, yang benar-benar terjadi baik secara historis dan perintah dari Allah swt adalah mengislamkan Nusantara atau Indonesia. Artinya, Islam harus jadi standar baik-buruk, benar-salah ketika masyarakat Indonesia telah menerima dan memeluk Islam sebagai keyakinannya.

Dan sungguh provokatif jika terus dibenturkan dengan kearifan lokal. Karena sudah jelas, Islam datang membawa syariat. Dan dalam hukum syariat, ada perkara yang haram, sunah, mubah, makruh, haram.

Karenanya, menusantarakan atau mengindonesiakan Islam sama saja mengatakan Islam itu tidak tinggi karena harus tunduk pada kearifan lokal. Padahal Allah SWT telah menjamin ketinggian Islam seperti yang disampaikan Rasulullah SAW dalam hadis:
“Alislamu ya’la wala yula” (Islam itu tunggi dan tidak ada yang melebihnya) oleh karena itu, stop penghinaan terhadap Islam dan argumen-argumen yang bisa membawa kekeliruan terhadap khalayak.

Islam tidak perlu dipoles dengan apapun. Karena Islam sudah sempurna. Indonesia atau Nusantara dan negeri muslim lainnya berkewajiban untuk menegakkan Islam secara Kafah (totalitas). Allahu a’lam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.