Budaya

Lagu Mandailing Tak Seistiqomah Lagu Toba

KOLOM

Dahlan Batubara
Pemimpin Redaksi Mandailing Online

Dahlan Batubara
Dahlan Batubara

Para pencipta lagu-lagu Toba itu sangat setia kepada bahasa Toba, bahasa mereka, bahasa leluhur, jati diri mereka. Kesetiaan mereka kepada bahasa mereka itu sebagai sebuah keistiqomahan pada kebudayaan mereka, budaya Toba.

Para pencipta lagu-lagu Minangkabau itu sangat setia kepada bahasa Minang, bahasa mereka, bahasa leluhur, jati diri mereka. Kesetiaan mereka kepada bahasa mereka itu sebagai sebuah keistiqomahan pada kebudayaan mereka, budaya Minangkabau.

Para pencipta lagu-lagu Karo itu sangat setia kepada bahasa Karo, bahasa mereka, bahasa leluhur, jati diri mereka. Kesetiaan mereka kepada bahasa mereka itu sebagai sebuah keistiqomahan pada kebudayaan mereka, budaya Karo.

Tetapi, para pencipta lagu-lagu Mandailing masa kini tak lagi setia kepada bahasa Mandailing, bahasa mereka, bahasa leluhur, jati diri mereka. Ketidaksetiaan mereka kepada bahasa mereka itu sebagai sebuah ketidakistiqomahan pada kebudayaan mereka, budaya Mandailing.

Bahwa bahasa adalah elemen terluhur dari suatu bangsa, suatu etnis, suatu kaum. “Tidak ada elemen terluhur dari suatu bangsa selain bahasa” kata Ernst Moritz Ardnt.

Bahasa adalah hasil budidaya para orang-orang terdahulu selama berabad-abad dan diwariskan secara generasi ke generasi.

Orang-orang masa kini boleh-boleh saja berbahasa dari hasil pengasimilasian bahasa, hasil pengaruhisasian bahasa, perkawinanisasian bahasa dalam percakapan sehari-harin sebagai bahasa pasar. Tetapi, nyanyian tak boleh melibatkan diri atau mengorbankan diri dalam pengasimilasian- pengaruhisasian dan  perkawinanisasian bahasa itu, karena nyanyian adalah salah satu sub kebudayaan dari suatu etnis atau bangsa.

Kalau orang-orang mencakapkan “ho maia cintaku”, maka para pencipta lagu Mandailing tak seharusnya mencakapkan kata “cintaku” di dalam nyanyian yang mereka karyakan. Karena nyanyian adalah sub kebudayaan suatu etnis, karena nyanyain adalah sang penjaga kebudayaan suatu etnis.

Si penjaga tak boleh ikut mengorbankan diri dalam pengaruhisasian bahasa itu, karena si penjaga kebudayaan itu berposisi sebagai “kiper”.

Mempertahankan bahasa asli dari serbuan pengaruh bahasa lain bukanlah suatu perbuatan demodernisasi atau kekolotanisasi, atau bukan anti termutakhir, atau bukan anti yang terbaru.

Nyanyian tak boleh dikatakan nyanyian kolot atau tak gaul atau ketinggalan zaman jika bahasa di nyanyain itu mempertahakan bahasa asli kaumnya. Tidak..!!!. Sebab, nyanyian itu adalah jati diri kebudayaan, bukan barang mainan yang harus dikorbankan sesuai dengan selera pasar, selera kaula muda, selera perdagangan album lagu, selera pasar album Tapsel-Madina, selera nafsu komersialisme.

Tentu, mengadopsi kata atau kosa kata bahasa Indonesia atau bahasa asing ke dalam bahasa Mandailing sah-sah saja, wajar saja bahkan berhukum wajib, sepanjang kata atau kosa kata dimaksud tidak ditemukan di dalam bahasa Mandailing. Adopsi diperlukan agar bahasa Mandailing itu tidak kaku, tidak statis, bahkan dinamis dalam dinamika perjalanan kebudayaan Mandailing, agar bahasa Mandailing tak menyandera kebudayaan Mandailing dalam posisi stagnan atau di “katak dalam tempurung”-nya budaya Mandailing di cakrawala geliat ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Karena, bahasa Indonesia sendri juga berkewajiban mengadopsi bahasa daerah, bahasa Inggris, bahasa Arab hingga bahasa Sansekerta. Bahasa Indonesia harus mengadopsi kata “kuantitas” dari  “quantity”-nya Inggris; kata “ramadan” dari “ramadhan”-nya bahasa Arab.

Karena bahasa Indonesia sendri juga berkewajiban mengadopsi dari luar dirinya, maka bahasa Mandailing juga berkeharusan mengadopsi bahasa dari luar dirinya. Bahasa Mandailing harus mengadopsi kata “televisi” karena televisi dahulu kala tak ada di Mandailing, sehingga ketika tehnologi televisi datang di hadapan masyarakat Mandailing maka bahasa Mandailing juga harus mengadakan bahasa-nya dengan menyebutnya “televisi” atau “talevisi”.

Tetapi mengadopsi bukanlah menukar. Keduanya berbeda. Mengadopsi dilakukan disebabkan ketiadaan, kebelumadaan. Dari tiada menjadi ada. Karena belum ada, maka diadakan, sehingga ada. Sedangkan menukar itu dari ada menjadi ada, sudah ada tapi diadakan lagi dengan yang  lain.

Ketika para pencipta lagu memakai kata “sayang” dari bahasa Indonesia, maka pencipta lagu itu telah menukar kata, karena sudah ada kata “holong” di dalam bahasa Mandailing. Mereka telah menukar “horjami” dengan “pesta pernikahanmi”. Menukar bahasa sedemikian itulah yang menjadi takaran penilaian bahwa para pencipta lagu tak beristiqomah kepada bahasa Mandailing, tak setia kepada bahasa Mandailing di lagu yang mereka sebut lagu Mandailing atau lagu Tapsel-Madina.

Para pencipta lagu-lagu Mandailing masa kini itu sudah begitu familiar dengan “kasihsayangku tu ho”; “ulang siksa batinku” – “kerinduanku sabagas ni laut”; “apalagi dung sannari”; “percintaanta”; “pesta pernikahanmi” dan lain-lain yang menggantikan bahasa Mandailing dengan bahasa Indonesia.

Ketidakistiqomahan para pencipta lagu Mandailing terhadap bahasa Mandailing itu tak sesetia para pencipta lagu Toba, tak sesetia pencipta lagu Mingangkabau.

“Holong na ias dibahen ho / Mangarahut holong hi di ho / Roha na serep dipelehonho / Mangaririt rohaki di ho / Gomos do tangiangmu tu Tuhan I / Asa ho saut di ahu / Godang di bahenho nauli nadenggan / Tu damang dohot sisolhot I / Tagam si tutu dipatuduhonho / Burjumi tu natua-tuaki” kata si pencipta lagu Toba “Sirokkap ni Tondi”

“Bukiktinggi Koto Rang Agam oi andam oi / Mandaki janjang ampek puluah / Basimpang jalan ka Malalak / Sakik sagadang bijo bayam o andam oi / Sakik nan raso ka mambunuah / Diubek indak amuah cegak” kata si pencipta lagu Minang “Andam Oi”.

“Aso ma songoni / kejamna dirimu / sampai hati ma ho maninggalkon au” kata si pencipta lagu Mandailing (judul lagunya saya lupa, karena lagu ini sudah ada sejak saya masih kanak-kanak). “kejam”-“dirimu”-“sampai hati” dan kata “maninggalkon” bukanlah bahasa Mandailing.

Lalu, mengapa lagu-lagu Mandailing masa kini sudah terjerumus kepada kekacaubalauan bahasa? Percampuran dengan bahasa Indonesia? Ada apa dengan para pencipta lagu Mandailing masa kini? Ada apa dengan pencipta lagu Tapsel-Madina? Entahlah. Itu masih dari segmen bahasa, belum masuk sisi genre musik.

Yang pasti, para pencipta lagu Mandailing diharapkan agar kembali “bertaubat” saja agar nyanyian Mandailing kembali kepada pelukan budaya Mandailing, dan diyakini akan mampu menerobos pasar Nasional karena akan terasa “asing”, yang tentunya pula bukan bergenre dangdut, melainkan ketukan “sibaso”, ketukan “raja-raja”, ketukan “roba namosok” ketukan “batu magulang”. Memilki kaldu Mandailing, bukan kaldu dangdut.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.