Oleh: Moechtar Nasution *
Perbincangan tentang figur semakin mengemuka dikalangan masyarakat khususnya didaerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah tidak terkecuali di Mandailing Natal pasca revisi UU Pilkada. Dengan mudah kita bisa mengikuti perbincangan politik disemua tempat. Tidak hanya dikursi-kursi legislatif atau eksekutif namun juga yang tidak kalah menariknya hampir diseluruh “lopo” sudah mulai disibukkan dengan diskusi kecil tentang ini.
Tidak ada sebenarnya regulasi yang menyebutkan seperti apa kriteria yang tepat untuk menjadi pemimpin masa depan baik untuk menjadi pemimpin nasional dan juga lokal. UU Pilkada hanya menyebutkan tentang syarat-syarat untuk mengikuti pesta demokrasi ini semisal bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan sejumlah aturan main lainnya.
Penjaringan figur melalui kriteria ini biasanya lebih didominasi oleh masyarakat sipil seperti NGO, Ormas, Perguruan Tinggi, Lembaga Riset, Lembaga Survey dan lain sebagainya yang berkehendak supaya ajang lima tahunan ini diisi oleh figur yang layak dan memiliki kompetensi dimata masyarakat dengan harapan hasil akhirnya nanti akan melahirkan pemimpin dengan legitimasi kuat dari publik.
Dan dikarenakan kriteria ini dilahirkan oleh lembaga-lembaga masyarakat, maka tidak heran kemudian banyak muncul kriteria tertentu yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut untuk pendalaman. Tentu saja jika lembaga masyarakat ini terpercaya maka bisa dipastikan dia akan melakukan pengkajian yang mengedepankan nilai keilmiahan dan independensi sehingga bisa memiliki akuntabilitas termasuk didalamya pertanggungjawaban tentang metode dan sistimatika pengumpulan data.
Namun tidak jarang juga ditemukan penjaringan figur melalui penetapan kriteria ini disusupi oleh kelompok kepentingan untuk menggiring terciptanya opini publik terutama dalam rangka menaikkan elektabilitas seseorang.
Berbagai kriteria sudah dimunculkan sebagai bahan pemanasan. Kriteria menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu.Beraneka ragam mulai dari hal yang sepele sampai yang berat sekalipun sudah mulai mengerucut ditengah masyarakat.Tidak sombong, harus putra daerah, memiliki kepemimpinan, teruji, mengayomi, berintegritas, berpengalaman dan lain sebagainya adalah contoh kecil dari sederetan kriteria yang sering didiskusikan. Kita tidak akan membedah kiriteria ini satu persatu karena didalam politik ada adagium yang berlaku yakni “ ada jawaban ketika muncul pertanyaan”.
Saya ingin merangkum semua kriteria tersebut dengan satu kalimat sederhana yakni negarawan. Kita sepakat untuk mengupayakan yang terbaik bagi daerah ini dengan melahirkan negarawan terlepas dari profesi mana asalnya karena memang itulah amanat konstitusi. Secara khusus kita ingin mengingatkan para politisi yang mendaftar sebagai calon jika terpilih nanti sebagai kepala daerah untuk meninggalkan kepentingan politiknya walaupun ini sangat berat diterapkan. Banyak kepala daerah setelah terpilih kemudian menjadi ketua partai politik dengan harapan akan bisa menjadi penyangga jabatan. Kabar terakhir berhembus dari jalan Diponegoro, Medan dimana T. Erry Nuryadi menjadi ketua partai Nasdem Sumatera Utara.
Banyak contoh kepala daerah yang tersandera kepentingan partai politiknya, konon disebut-sebut Presiden Jokowi juga banyak mengalami tekanan dari partai pendukungnya. Adagium “ketika tugas negara dimulai maka itu berarti tugas politik sudah berakhir” seharusnya diaplikasikan pada tataran empiris sehingga kemudian nanti kepala daerah tidak akan diintervensi atau dirongrong oleh kepentingan partainya. Dulu panggung sejarah bangsa ini banyak diisi oleh negarawan yang juga politisi. Tersebutlah Natsir, Muhammad Roem, Burhanuddin Harahap dan nama-nama besar lainnya.
Ini membuktikan bagi kita sesungguhnya bangsa ini juga pernah mengenal negarawan yang berasal dari politisi namun pada prakteknya mereka nyatanya lebih menomorsatukan bangsa diatas kepentingan politiknya. Bukalah buku sejarah yang menceritakan bagaimana dialektika pada saat persidangan Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau juga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) – seberapa hebatpun perbedaan pendapat yang terjadi namun bisa diselesaikan dengan kearifan dengan selalu mendasarkan semua keputusannya demi kepentingan bangsa.
Disisi lain kita juga harus mengingatkan para birokrat yang berminat mencalon agar jangan pernah menarik gerbong aparatur sipil negara sebagai basis untuk pemenangan atau menjadikan mereka sebagai tim sukses. Biarkanlah aparatur negara ini menjalankan tupoksinya tanpa merasa terbebani sehingga pelayanan publik tetap berjalan dengan maksimal. Cukuplah pengalaman masa lalu semasa Orde Lama dan Orde Baru menjadi cacatan kelam dunia birokrasi yang terseret arus dan terkontaminasi politik praktis sehingga mengakibatkan abdi negara ini melakukan pemihakan terhadap penguasa (monoloyalitas).
Netralitas menjadi penting untuk ditegakkan dan kita juga harus bersepakat untuk selalu memastikan posisi berdiri aparatur negara ini hanya tegak lurus kepada kepentingan bangsa dan negara dengan menjunjung tinggi dedikasi, integritas, moralitas dan profesionalitas.
Sosok negarawan sudah jelas tidak sombong seperti berita harapan warga Madina di Jabotabek (Headline Malintang Pos edisi 30 tahun 02), negarawan juga diyakini memiliki kepemimpinan yang teruji dan dipastikan memiliki pengalaman, serta memiliki integritas, moralitas, kapabilitas dan akuntabilitas.
Pertanyaan sederhana apakah sebenarnya yang dimaksud dengan negarawan ini? Apakah kriteria negarawan ini cocok diaplikasikan didaerah? Tidak satupun pengertian negarawan yang disepakati bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan didalam UU yang didalamnya memuat secara jelas kata negarawan sekalipun sama sekali tidak menjelaskan definisinya seperti apa. UU No 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya memuat penjelasan tentang negarawan dengan kalimat sederhana “cukup jelas” padahal kejelasan tentang pengertian negarawan ini sendiri masih sering dipersoalkan.
Diskurs tentang negarawan ini mengemuka pada tahun 2014 yang lalu ketika ada dua kursi kosong di Mahkamah Konstitusi pasca pemberhentian secara tidak hormat Akil Muchtar dan Hardjono yang memasuki masa purna bakti. Jauh sebelum itu, hampir tidak pernah ada isu tentang negarawan kendatipun banyak permasalahan yang mendera bangsa ini. Sejatinya memang negarawan ini bukan hanya diperlukan MK atau lembaga tinggi negara lainnya namun juga diperlukan untuk mengisi kursi publik didaerah semisal Bupati, Walikota dan Gubernur apalagi delegitimasi terhadap kepala daerah semakin menguat sebagai akibat dari banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi belakangan ini.
Cara pandang merupakan pembeda yang siginifikan antara negarawan dengan politisi menurut James Freeman Clarke. Politisi memikirkan tentang pemilu berikutnya sedang negarawan memikirkan tentang generasi berikutnya. Bagaimana negarawan memikirkan tentang generasi sesudah mereka ini bisa dilihat dari kemampuan mereka untuk melahirkan pandangan-pandangan yang visioner terhadap kepentingan bangsa, negara dan daerah dimasa yang akan datang.
Tentu saja dibutuhkan moralitas, komitmen yang tinggi, integritas, kejujuran, nilai, karakter, semangat kejuangan, dan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara diatas kepentingan lainnya. Seorang negarawan memang harus dituntut untuk bisa menjadi contoh tauladan yang “uswatun khasanah” dan “berahlaqul karimah” sehingga bisa mentransformasikan kebiasan-kebiasan baik kepada masyarakat.
Dalam kajian ilmu kepemimpinan Islam disebutkan ada empat sikap ketauladanan yakni Siddiq, Amanah, Tabalig dan fathonah. Negarawan ini juga selalu ditiru, digugu dan diperhatikan masyarakat sepak terjangnya termasuk kehidupan pribadinya seperti kata Aristoteles, seorang pemikir Yunani yang menyebut negarawan harus memiliki karakter moral yang kuat karena akan dicontoh para pengikutnya
Apakah konsep negarawan ini cocok diaplikasikan didaerah? Jawabannya iya karena seperti yang disebutkan diatas tadi sosok negarawan ini sejatinya bukan hanya dibutuhkan oleh lembaga tinggi negara semata namun juga oleh daerah. Kosa kata bahasa Indonesia tidak mengenal kata “Daerahawan” untuk modifikasi makna dari kalimat negarawan didaerah.
Bangsa yang besar ini pernah memiliki sosok pemimpin yang secara aklamasi diakui sebagai negarawan. Bukan hanya karena jasanya mengantar Indonesia kegerbang kemerdekaan (founding father) namun karena ketokohannya sebagai guru bangsa yang selalu mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan lainnya.
Gaya hidup sederhana dan bersahaja adalah ciri khasnya bahkan untuk membeli sepatu Bally beliau tidak sanggup dikarenakan uang tabungan yang tidak mencukupi. Beliau juga pernah mengembalikan uang negara kelebihan biaya perobatannya namun jangan ditanya pandangannya tentang bangsa ini , dia sanggup melepaskan kepentingan pribadinya demi kepentingan bangsa.
Beliau mampu menjadi sosok pemersatu dikalangan masyarakat. Dia lebih memilih mundur dari posisi Wakil Presiden akibat ketidakharmonisan dengan Bung Karno dalam kebijakan-kebijakan pembangunan nasional. Namun mundurnya beliau tidak pernah mematikan pandangan-pandangannya yang visioner dalam menata pembangunan bangsa. Satu hal terpuji yang sekarang amat sulit diketemukan pada pemimpin-pemimpin kita yakni sikap beliau yang sama sekali tidak mau menjelek-jelekkan pasangannya yakni Soekarno sebagai Dwi Tunggal.
Beliau menghindari intrik-intrik politik secara vulgar dan kasar. Kearifan serta kematangannyalah yang lebih banyak berbicara, beliau lebih memilih untuk berdiam demi menjaga persatuan dan kesatuang bangsa yang ketika itu sedang menghadapi tantangan dari internal maupun eksternal. Ketokohannya sebagai negarawan benar-benar dicerminkannya melalui sikap dan perbuatan. Inilah sikap kesatria yang selalu mengedepankan kepatutan, kesantunan dan kesopanan dengan menjunjung tinggi persatuan bangsa diatas segalanya. Namanya selalu dikenang dalam sejarah perjalanan bangsa dengan panggilan Bung Hatta.
Satu hal yang tidak boleh terlewatkan adalah penilaian terhadap rekam jejak (track record) yang akan menjadi saksi perjalanan kenegarawanan dari sicalon. Bila dia hakim tentunya akan menjadi lebih mudah dengan mempelajari seluruh dokumen putusan-putusannya terdahulu karena memang keadilan hakim tercermin dari putusannya. Jika politisi maka rekam jejaknya akan terlihat dari keaktifannya dalam menjalankan tugas dan sebagainya.
Jika legislator, jelas terpantau dari perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, budgeting dan legislasi. Ini juga berlaku kepada para birokrat dengan program pembangunan pro kerakyatan yang digagasnya. Tentu saja mengurai dan membedah “curriculum vitae” calon menjadi penting untuk dilakukan berikut dengan semua ornament lainnya seperti kehidupan pribadinya dan tentu saja yang paling utama tentang pandangan-pandangan mereka tentang memajukan daerah ini.
Harapan kita tentunya agar pembahasan kriteria yang semakin menjamur ini tidak dijadikan sebagai alat untuk membunuh lawan politik semisal pembunuhan karakter (character assassination) demi mempermulus ambisi kekuasaan. Sangat ditabukan sekali melakukan kampanye hitam (black campain) jika kita benar benar menginginkan terciptanya pendidikan politik masyarakat yang berbudaya dan bermartabat. Ini harus bisa sama-sama disepakati. Hendaknya juga penilaian kriteria ini dilaksanakan secara objektif dan independent sehingga kedepan nanti siapapun yang terpilih akan mampu menjadikan Madina lebih bermartabat, humanis dan tentu saja demokratis. Kita menantikan sosok seperti bung Hatta muncul di Madina. Wallahu aqlam bis shawab..(Penulis adalah Koordinator Daerah Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (n’BASIS) Mandailing Natal)