Artikel

Menemukan Peradaban dalam Prasasti Sorik Marapi

Askolani Nasution

Catatan : Askolani Nasution

Ketika melihat dokumen “Prasasti Sorik Marapi” saya segera berpikir banyak hal, hal yang saya tahu juga menjadi pikiran para arkeolog yang mendalami prasasti ini :

1) Di mana pusat peradaban sekitar Gunung Sorik Marapi, sehingga prasasti itu diletakkan di puncak gunung tertinggi di Kabupaten Mandailing Natal itu?

2) Untuk masyarakat mana prasasti itu dibuat,

3) Apakah kita manusia Mandailing yang sekarang adalah garis keturunan langsung dari manusia di kawasan Mandailing yang hidup pada masa prasasti itu dibuat?

Sebagai informasi awal, Prasasti Sorik Marapi ditemukan 1891, masa kolonialisme ketika perkebunan kopi telah mencapai puncaknya di kawasan Asisten Residen Angkola-Mandailing. Pada masa itu, Tano Bato, kota terdekat dari Gunung Sorik Marapi, sampai-sampai memiliki 22 PAL gudang kopi yang akan diekspor ke Eropah melalui Pelabuhan Pantai Barat.

Salah satu prasasti Sorik Marapi

Kolonialisme Belanda memang bukan hanya membawa ahli-ahli demografi, perkebunan, sosial budaya, agama, tetapi mereka juga membawa arkeolog dan antropolog ke daerah jajahan. Tentu saja maksudnya, selain untuk memahami tanah jajahan, juga untuk membuka kemungkinan peluang-peluang bagi keuntungan kolonialisme. Karena itulah prasasti ini ditemukan. Penemuan itu lebih awal dibanding penemuan candi Simangambat tahun 1920 oleh Schnitger. Prasasti Sorik Marapi kemudian disimpan di Museum Nasional, Jakarta dengan nomor inventaris D 53, D 65, D 83, dan D 84. Prasasti ini menjadi buku terbuka yang menarik para arkeolog dan sejarawan untuk mendeskripsikan kontekstualitas sosial masa itu.

Prasasti D84, misalnya, terdapat tulisan “Swasti çakawarsa atita 1164 bulan asuji suklapaksa trayodasi manggalawāra sana tatakala caitya bhagi sira”. Oleh epigrafis Damais (1911-1966) diterjemahkan sebagai “Selamat tahun saka setelah 1164 bulan asuji paruh terang tanggal 13 hari manggala, ketika bangunan suci diberikan kepada mereka/beliau).

Dari terjemahan tersebut dapat dipahami bahwa:

1) Prasasti itu dibuat tahun saka 1164. Tahun itu diyakini bersamaan dengan tanggal 27 Juli 1242. Menurut kitab “Pararaton”, masa itu adalah masa pemerintahan Anusapati (1227-1248) dari Kerajaan Singosari. Kerajaan itu bukan hanya meluaskan kekuasaannya ke seluruh Jawa, tetapi sampai ke Pulau Sumatera yang ketika itu dibawah pengaruh Kerajaan Sri Wijaya.

2) Ada bangunan suci yang diberikan kepada “beliau”. “Beliau” dalam prasasti tersebut diyakini merujuk kepada Ken Arok yang meninggal tahun 1227. Ken Arok adalah maharaja penting yang membawa kebesaran bagi Kerajaan Singosari dan diyakini sebagai titisan dewa.

Kembali ke asumsi awal, sebuah prasasti pada jamaknya selalu berada di dekat sebuah peradaban penting yang menjadi pusat kerajaan. Kota Yogyakarta misalnya, diyakini lahir dari sebuah peradaban gunung “Merapi”, yakni Kerajaan Mataram Kuno. Peradaban itu punah ketika Gunung Merapi meletus tahun 1006.

Ketika prasasti Sorik Marapi dibuat, tahun 1242 Masehi, sebelum periode kerajaan-kerajaan bermarga Nasution, kerajaan mana yang berperadaban tinggi di lembah gunung Sorik Marapi? Apakah peradaban itu, kalau ada di lembah Sorik Marapi, juga punah karena letusan?

Sebagai catatan, Sorik Marapi meletus pertama tercatat tahun 1830, jauh sebelum itu tentu pernah ada letusan lain tapi tidak tercatat. Karena sekalipun peradaban Mandailing misalnya telah mengenal aksara, tetapi aksara Mandailing tidak pernah digunakan untuk mencatat peristiwa. Sebab, budaya Mandailing lebih kuat dalam tradisi verbal, bukan literasi.

Adanya peradaban penting masa Prasasti Sorik Marapi bukan hal yang muskil. Pada abad 9 – 11 misalnya, atau bahkan disebut sejak abad ke lima, Mandailing sudah menjadi jalur perdagangan penting. Jalur itu disebut menghubungkan Barus – Barumun – Pasaman. Jalur pedalaman itu terkait dengan peran Sungai Batang Gadis, Batang Angkola dan Sungai Barumun sebagai jalur perdagangan penting.

Menurut arkeolog Ari Soedewo, asal kata Mandailing bisa juga terkait dengan kata [mandala]. Mandala adalah diagram berbentuk tertentu sebagai lambang alam semesta dan menjadi tempat meditasi. Jika terkait dengan sebutan “bangunan suci”, nama kawasan Mandala Sena, di Kecamatan Lembah Sorik Marapi, patut menjadi asumsi awal sebagai tempat meditasi dari bangunan suci dimaksud. Setidaknya, Desa Mandala Sena menyimpan jejak penting dalam peradaban prasasti Sorik Marapi. Tentu saja semuanya harus ditindaklanjuti dengan penelitian yang lebih mendalam. (bersambung)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.