PANYABUNGAN (Mandailing Online) – Perkembangan kemajuan yang berdampak langsung pada meningkatnya kebutuhan akan pasokan listrik, menjadi dasar untuk menempatkan upaya percepatan re-operasiolasasi PT. Sorik Marapi Geothermal Power (PT.SMGP) sebagai prioritas bagi pemerintah.
Demikian ditegaskan Mandailing Natal (Madina) Ali Mutiara Rangkuti dalam sebuah rilis pers yang dikirim ke redaksi Mandailing Online, Sabtu (14/2015).
Ali menjelaskan, uapaya percepatan pemenuhan listrik tersebut juga telah ditegaskan melalui Permen ESDM Nomor : 32 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2010 tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas Serta Transmisi Terkait.
Oleh sebab itu, jelas Ali lebih lanjut, segala persoalan-persoalan yang menyangkut perizinan maupun dampak sosial yang telah terjadi, harus segera diselesaikan secepatnya.
”Bagaimanapun juga, pemanfaatan panas bumi di Sorik Marapi Mandailing Natal ini telah menjadi bagian dari agenda nasional Fast Track Program (percepatan pembangkit listrik – red) Tahap I dan II 10.000 MW. Sehingga sesungguhnya tidak ada celah bagi kita, baik pemerintah maupun masyarakat untuk menolak agenda tersebut,” katanya.
Berbagai persoalan yang mungkin telah terjadi selama ini harus dituntaskan oleh Kementerian ESDM dan intansi pemerintah terkait sebagaimana rekomendasi (kesimpulan hasil rapat) DPR-RI pada tanggal 28 Januari 2008 yang lalu.
Penolakan Masyarakat : Tak Kenal Maka Tak Sayang
Menyangkut adanya aksi penolakan masyarakat terhadap PT. SMGP, secara sederhana Ali menyatakan, bahwa rentetan kejadian tersebut sesungguhnya hanya disebabkan masyarakat belum mengenal secara baik tentang pemanfaatan panas bumi.
“Berbeda dengan di beberapa daerah yang lain, pemanfaatan panas bumi adalah sebuah hal baru di Mandailing Natal. Seiring dengan keterbatasan informasi tentang hal ini ditengah-tengah masyarakat, dan ditambah pula adanya segelintir kelompok kepentingan yang menghasut masyarakat, maka pemanfaatan panas bumi oleh PT. SMGP seolah-oleh menjadi ‘hantu Lapindo’ di mata masyarakat. Padahal jika kita menoleh sedikit saja, ke Sarulla atau Sibayak, dapat kita lihat bahwa apa yang ditakutkan oleh masyarakat itu tidak ada sama sekali. Jadi ini persoalan di masyarakat adalah tak kenal maka tak saying,” katanya.
“Hal yang pasti, Proyek Lapindo Brantas tidak lah sama dengan pemanfatan panas bumi oleh PT. SMGP. Mulai dari struktur tanah (geologi) yang akan dimanfaatan, proses pemanfaatannya, sampai dengan hasilnya, semuanya berbeda.” tegas Ali.
”Itulah sebabnya saya mendorong pemerintah daerah, bekerjasama dengan PT. SMGP, institusi-institusi pendidikan dan lembaga-lembaga infrastruktur masyarakat lainnya, untuk bersama-sama menciptakan sebuah media yang mampu memperkenalkan dengan detail apa sesungguhnya pemanfaatan panas bumi itu. Dan jika perlu, pemerintah silahkan undang atau hadirkan tokoh atau masyarakat yang menolak saat ini untuk melakukan semacam debat publik secara ilmiah,” imbuhnya.
“Pertarungan’ dalam forum-forum ilmiah tersebut, saya pikir tentunya akan lebih berarti dan terhormat untuk membuka mata dan pikiran masyarakat, dibandingkan dengan pertarungan fisik yang berpotensi mengakibatkan korban jiwa, seperti apa yang telah kita alami beberapa waktu yang lalu,” sebut Ali.
“Ada banyak dampak positif dari pemanfaatan panas bumi untuk Mandailing Natal pada umumnya, dan terlebih-lebih untuk masyarakat di sekitar proyek pemanfaatan panas bumi tersebut. Selain meningkatan PAD daerah, perbaikan infrastruktur disekitar proyek, namun juga berkembangnya ekonomi mikro, sebagai akibat dari meningkatnya perputaran barang dan jasa di wilayah tersebut. Dan yang terkahir ini, saya pikir adalah hal yang terpenting. Kenapa? Karena keramaianlah yang akan selalu membentuk sebuah ‘pasar atau transaksi’. Itu yang saya yakini!” pungkas Ali.
Editor : Dahlan Batubara