Dakwah

Pesan untuk Keluarga Muslim

Keluarga muslim (foto : Hidayatullah.com)
Keluarga muslim (foto : Hidayatullah.com)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”

“Belajar yang rajin ya, nak. Kelak besar kamu jadi orang pintar dan dapat pekerjaan yang baik, sehingga hidupmu tidak menyusahkan orang lain,” demikian sebagian orang tua memberikan nasehat dan  motivasi kepada putra-putrinya.

Memang tidak bisa dipungkiri, kebanyakan orang tua atau keluarga di Indonesia memotivasi anak-anaknya untuk rajin belajar agar dapat pekerjaan yang baik. Dulu kita sangat akrab dengan pertanyaan, “Apa cita-citamu?” Jawabannya mengarah pada jenis profesi; polisi, insinyur, dokter hingga presiden.

Sampai-sampai muncul bacaan yang membimbing pembaca bagaimana menanamkan cita-cita pada anak.

Mulai dengan merekomendasi para orang tua membeli buku biografi tokoh dunia, sampai menceritakan leluhur yang memiliki pengaruh kala hidupnya, sampai membawa anak-anak kita ke rumah kenalan yang memiliki status sosial tinggi. Semua itu demi agar anak-anak kita punya cita-cita besar, sehingga termotivasi belajar dengan baik.

Tetapi, kini nampaknya kita patut bertanya apakah motivasi semacam itu masih relevan, tidak saja karena zaman yang terus bergerak, tetapi juga karena fakta yang menunjukkan tidak sedikitnya orang berilmu yang bermental budak.

Dengan keahlian, kepandaian, dan ilmu yang dimiliki bukan lagi hidupnya diabdikan untuk Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya, buat bangsa dan negaranya, tetapi untuk kesenangan diri sendiri meski dengan mengorbankan kepentingan umat, rakyat, bangsa, agama dan negara.

Apalagi di zaman sekarang, jabatan dan profesi bukan lagi suatu hal yang sulit didapatkan. Asal ada uang dan relasi semua tinggal diatur belakangan.

Surga Cita-cita Tertinggi

Sebagai Muslim tentu visi hidupnya tidak terbatas pada dunia belaka. Ada visi akhirat yang menembus kefanaan dunia. Dan, Al-Qur’an telah membimbing kita akan hal ini.

يَـٰٓأَيُّہَاٱلَّذِينَءَامَنُواْقُوٓاْأَنفُسَكُمۡوَأَهۡلِيكُمۡنَارً۬اوَقُودُهَاٱلنَّاسُوَٱلۡحِجَارَةُ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim [66]: 6).

Dalam tafsirnya Ibn Katsir mengutip pendapat mujahid yang berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada Allah.”

Sedangkan secara lebih terperinci lagi Qatadah berkata, “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”

Perkara ini ternyata menjadi prioritas bagi keluarga Nabi Ya’kub, sampai-sampai pada saat anak-anaknya telah dewasa pun, kala sakaratul maut menjemput yang ditanya oleh putra Nabi Ishaq ‘alayhissalam itu adalah perihal apa yang akan disembah sepeninggalnya. (QS. Al-Baqarah: 133).

Lain halnya dengan Nabi Ya’kub, sejak dini Luqman Al-Hakim mewanti putra-putrinya agar tidak sedikit pun mempersekutukan Allah dengan apapun. Sebab syirik adalah kezaliman yang besar.

Dan, pada akhirnya kita perlu memperkenalkan kepada anak-anak kita tokoh-tokoh yang hidupnya bergelimang kuasa dan kecerdasan namun meninggalkan dunia dalam kenestapaan. Perkenalkanlah kepada mereka Fir’aun, Qarun, Tsa’labah dan kaum-kaum cerdik lagi kuat yang Allah binasakan.

Karena kekuasaan mereka berani bermaksiat kepada Allah. Membunuh rakyat yang semestinya dilindungi hanya karena berbeda pendapat, takut kekuasaanya direbut dan sebagainya. Sementara disaat yang sama, dirinya sama sekali tidak takut kepada Allah Ta’ala.

Penuhi Seruan Allah dan Rasul-Nya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfaal [8]: 24).

Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam membahas ayat tersebut pada kitabnya “Fawaidul Fawaid” mengatakan, “Sungguh, orang yang hidupnya paling baik adalah orang yang berupaya sebaik mungkin untuk memenuhi seruan Rasulullah.”

Dengan kata lain, tidak ada kehidupan yang memberikan jaminan kebahagiaan dan ketenangan dunia-akhirat melainkan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.

Oleh karena itu, tanpa memotivasi anak-anak mendapatkan jabatan dan kedudukan tertentu anak-anak di zaman Rasulullah memiliki kecintaan terhadap ilmu yang sangat luar biasa, bukan untuk kedudukan dunia, tetapi untuk agamanya, sehingga kala dewasa, ilmu itu diamalkan sepenuhnya untuk kemaslahatan sebagaimana ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Lihatlah bagaimana Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan Zaid bin Tsabit yang begitu cinta dengan Al-Qur’an.

Demikian pula dengan Anas bin Malik, yang tidak mendapati nasehat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, melainkan diingat dengan sangat baik, sehingga ia menjadi seorang perawi hadits yang masyhur. Sekali lagi, semua itu dicapai bukan untuk dunia, melainkan menegakkan agama. Sebab, satu-satunya jalan selamat dari api neraka adalah menegakkan agama, yang dimulai dari dalam keluarga. Wallahu a’lam.*

Disadur dari : Hidatullah.com

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.