Budaya

B A B I A T (Episode 1)

Karya: Halak Kotanopan

Sudah hampir sebulan ini masyarakat di beberapa kampung di Mandailing dicekam ketakutan.

Tidak ada anak anak yang berkeliaran diluar rumah. Apalagi anak anak yang bermain di pinggiran sawah. Lambaian padi yang menguning justru seolah menyimpan ancaman untuk mereka. Bunyi gesekan dedaunan yang ditiup angin bisa mebuat mereka merinding. Begitu matahari mulai tenggelam, para ibu buru buru menyuruh anak anaknya masuk rumah dan menutup pintu rumah mereka rapat rapat.

Demikian juga para lelaki di kampung tersebut. Warung kopi yang biasanya jadi tempat nongkrong dan bersosialisasi bapak bapak ataupun pemuda mendadak sepi di malam hari. Tidak heran si Puli, pemilik warung di ujung desa itu, lebih cepat menutup warungnya belakangan ini.

Keadaan ini tidak lepas dari cerita yang berkembang belakangan ini. Dimulai dari cerita saat sepasang suami istri, pedagang tembakau dari desa Tombang Bustak, hendak pergi berjualan ke poken di desa sebelah. Kami menyebut poken untuk kata pasar.

Seperti biasa, setelah sholat subuh mereka pun bersiap berangkat dengan menggunakan motor kesayangan mereka. Walaupun masih kredit, tapi motor tersebut sudah seperti bagian dari keluarga itu. Bagaimana tidak, motor tersebut sangat membantu, membuat mobilitas mereka jadi jauh lebih cepat. Tidak perlu lagi mereka berlama lama menunggu angkutan desa yang kadang tidak jelas  jadwal lewatnya, sementara mereka harus cepat sampai ke poken untuk menyipakan segala sesuatunya.

Terkadang sang istri juga ikut berjualan sayuran. Pagi hari ia membeli sayuran dari petani dan menjualnya kembali kepada para langganan mereka. Untuk itu mereka harus berangkat sepagi mungkin.

Seperti hari itu, poken kali ini agak jauh dari tempat mereka. Dengan berboncengan, ditambah muatan sayuran dari hasil kebun yang hendak dijual, diperkirakan mereka butuh waktu sekitar satu jam di perjalanan, melewati dua desa sebelum sampai ke desa tempat adanya pasar pekan hari itu. Karena itu, meski pagi masih diselubungi gelap mereka sudah menapaki jalanan. Motor melaju dengan perlahan karena jalanannya lebih banyak bebatuan dibanding aspal.

Saat melintasi jalan antar desa, jalanan yang hanya dipagari hutan dan kebun, jauh dari pemukiman,  tiba tiba sang istri mengusik senyapnya perjalanan mereka.

“Ayah, apa tuh yang di depan sana?”, bisik si istri dibelakang telinga suaminya sambil menepuk pundak sang suami.

“Mana…?”, tanya si suami sambil mencoba meluruskan pandangannya ke depan. Maklum dengan kondisi  jalanan yang tidak bagus, dia lebih konsentrasi untuk menghindari lobang lobang yang ada di depan mata yang siap menerkam mereka, dia tidak begitu memperhatikan jauh ke depan.

“Itu.., di depan!”, kata sang istri sambil menunjuk ke depan, melewati belokan terakhir di depan mereka.

“Mana…?”, tanya sang suami lagi sambil mencari cari. Kebetulan di depan ada belokan sehingga pandangannya terhalang oleh tingginya rumput dan semak di pinggir jalan.

“Itu di depan sana, tadi saya melihat seolah olah ada yang turun dari atas tebing, mungkin tadi ada babi deh”, jawab si istri.

“Kalau begitu kakinya agak diangkat ma..!”, kata sang suami mengingatkan.

Tanpa harus dijelaskan lagi sang istri segera menaikkan kedua kakinya ke posisi lebih tinggi. Dia sudah paham maksud suaminya adalah untuk menghindari kemungkinan kakinya diseruduk babi. Kadang memang babi yang terluka atau ketika terusik oleh anjing pemburu sering nekat menyeruduk apapun yang ada di sekitarnya, termasuk manusia.

Tidak jarang petani yang sedang bergelut dengan tanamannya tiba tiba diserang oleh babi yang terluka.

Dengan kewaspadaan tinggi sang suami mulai melewati belokan, dengan mata yang mencoba mengintip ke jalanan di depannya. Sesaat belokan terlampaui, pandangan merekapun terbuka untuk menerobos kabut melihat lurus ke depan.

Tiba tiba sang istri tersentak karena tiba tiba motor direm secara mendadak. Dia mencoba meninggikan pandangannya melewati pundak sang suami, mencari tahu apa penyebab sang suami menghentikan motor secara mendadak.

Alangkah terkejutnya sang istri setelah menemukan apa penyebab suaminya berhenti. Tiba tiba dia merasa badannya mendadak lemas. Bahkan untuk berteriakpun seolah dia tidak punya kekuatan lagi.  Bagaimana tidak, tidak jauh di depan mereka dia melihat sesosok binatang yang sangat dia takuti menghadang jalan mereka. Sesosok harimau besar sedang duduk melintang di jalanan membelakangi mereka. Harimau yang sangat besar. Bahkan dia tidak pernah membayangkan bahwa ada harimau yang sebesar itu. Harimau itu sedang menjilat jilat kaki depannya. Dia dapat meliihat belang harimau tersebut dengan jelas. Jarak mereka tidak begitu jauh, dengan berberapa lompatan harimau tersebut pasti bisa menerkam mereka.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka berdua. Jangankan mengeluarkan suara, bahkan tanpa sadar merekapun mulai menahan napas, karena takut mengusik Si Raja Hutan itu. Sesaat sang suami seperti  kehilangan kekuatan. Kakinya hampir tidak bisa menopang sepeda motor, sehingga motor mereka sempat hampir terjatuh. Tetapi kemudian dia sadar bahwa dibelakangnya ada istrinya. Dengan cepat diapun teringat sama anak mereka yang ditinggal di rumah. Anak yang sangat dia sayangi. Anak yang masih sangat tergantung dan membutuhkan kedua orang tuanya. Rupanya kecintaan terhadap istri dan rasa sayang terhadap anaknya kembali memberi kekuatan baru pada sang suami.

Perlahan dengan tangan bergetar sang suami mencoba membelokkan sepeda motor mereka. Sementara sang istri hanya bisa berdoa sama Yang Kuasa agar mereka mendapat perlindungan-Nya. Dia berdoa semoga dia masih diberi keselamatan dan kesempatan bertemu dengan anak tercintanya.

Syukur alhamdulillah, sang harimau sepertinya tidak terganggu dengan kehadiran mereka.

Harimau tersebut memang sempat mengangkat kepalanya dan menegakkan telinganya, tetapi kemudian terus lanjut menjilati  tubuhnya, membersihkan belangnya, belang yang selain menjadi alat kamuflasenya juga bagian yang menambah kegagahnnya.

Mestinya harimau tersebut tahu akan kehadiran suami istri tersebut. Penciumannya yang tajam pasti sudah bisa mencium bau badan sang suami yang memang belum sempat mandi subuh tadi. Belum lagi dengan bau parfum sang istri yang baru dia beli hari Sabtu kemarin. Tapi entah karena doa sang istri, sang harimau seolah tidak peduli dengan kemunculan mereka. Atau mungkin juga karena kesombongan Si Raja Hutan, yang tidak melihat mereka dengan sebelah mata dan tidak menganggap mereka sebagai suatu ancaman. Si Raja Hutan tersebut tidak terusik, tetap tenang seolah menganggap jalanan tersebut adalah daerah kekuasaannya.

Perlahan, dengan kaki yang masih lemas si suami mulai mendorong sepeda motor mereka kembali ke arah berlawanan. Setelah beberapa meter dia baru berani menggas motornya pelan pelan dan setelah agak jauh baru kemudian mempercepat laju motornya tanpa memperhatikan lagi lobang lobang yang ada.

“Ayo ayah…, cepatan!” bisik istrinyanya seperti  teriakan yang tertahan. Walau sudah terguncang guncang dibelakang, tapi sang istri masih merasa laju motor tersebut sangat lambat.

Sang suamipun menambah laju motor, lebih cepat lagi,  seolah berpacu melangkahi lobang yang ada dan menepis bebatuan yang berserakan, dengan satu tujuan yakni mencapai desa terdekat secepat mungkin. (bersambung)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.