Ketika Pendidikan Sekuler Gagal, Bullying Jadi Tradisi

Oleh: Nesty Laila Sari
Siswa korban perundungan atau bullying di Tangerang Selatan, MH (13), meninggal dunia setelah sepekan dirawat di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia)
Informasi meninggalnya korban bullying itu dibenarkan oleh kuasa hukum keluarga, Alvian Adji Nugroho. “Pada pukul enam pagi, keluarga yang ada di rumah mendapat kabar dari paman korban yang berada di rumah sakit,” ujar Alvian, Minggu (16/11). Setelah mendapat laporan tersebut, pihak keluarga langsung menuju RS Fatmawati untuk menjemput jenazah korban.
Peristiwa itu terjadi di SMP negeri di Tangerang Selatan pada 20 Oktober 2025, di ruang sekolah saat hendak jam istirahat. Saat itu korban dipukul menggunakan bangku besi di bagian kepala. Setelah kejadian itu, pada Selasa (21/10) korban mulai mengeluh rasa sakit akibat kejadian tersebut. Saat pihak keluarga melakukan proses perdamaian, ternyata korban mengaku sudah sering menerima bullying, mulai dari dipukul hingga ditendang.
Kakak korban, Rizki, menyebut adiknya sempat dirawat di salah satu rumah sakit swasta di Kota Tangsel karena kondisinya semakin parah. Ia kemudian dirujuk ke RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Tangsel, Deden Deni, mengatakan pihaknya sudah memediasi orang tua korban dan terduga pelaku. “Masing-masing orang tua sudah bertemu dengan pihak sekolah,” katanya.
Semakin maraknya bullying hingga berujung hilangnya nyawa terus berulang karena tidak adanya tindakan lanjut terhadap pelaku, termasuk sanksi dari sekolah yang mampu memberikan efek jera. Faktor penyebab lainnya adalah pengaruh media sosial yang memperparah aksi bullying, bahkan menjadikannya candaan. Hal ini menunjukkan terjadinya krisis adab dan hilangnya fungsi pendidikan.
Ini juga menunjukkan adanya masalah serius pada kepribadian generasi saat ini. Kepribadian yang rapuh merupakan hasil dari pendidikan yang terpengaruh kapitalisme-sekuler, yaitu sistem yang memisahkan agama dari kehidupan.
Sistem ini terbukti gagal membentuk kepribadian remaja saat ini. Sistem sekuler hanya membuat generasi fokus mengejar prestasi fisik, sekaligus mengabaikan pengajaran agama dalam arti sesungguhnya. Agama dalam sistem sekuler hanya dijadikan teori tanpa aktualisasi; hanya sekadar diketahui sebagai pelengkap sehingga tidak memiliki pengaruh signifikan dalam pembentukan karakter generasi.
Di sisi lain, paradigma batas usia anak di Indonesia juga memengaruhi cara menerapkan sanksi dan solusi masalah. Indonesia yang berkiblat pada pandangan Barat menganggap seseorang dewasa pada usia 18 tahun. Paradigma ini menyebabkan anak yang sudah balig diperlakukan sebagai anak-anak, padahal mereka sudah dapat dibentuk menjadi generasi tangguh dengan pola pikir Islam. Sebaliknya, mereka justru tumbuh sebagai generasi rapuh dengan pola pikir sekuler.
Dalam Islam, tujuan utama pendidikan adalah membentuk pola pikir dan pola sikap Islam sehingga melahirkan kepribadian Islam pada diri generasi. Hal ini telah dibuktikan dalam sejarah Islam, sebagaimana Rasulullah SAW mendidik para sabiqūnal awwalūn dan bagaimana generasi setelahnya melahirkan pemuda-pemuda tangguh seperti Muhammad Al-Fatih, Usamah bin Zaid, Shalahuddin Al-Ayyubi, dan lainnya. Mereka telah mengukir sejarah besar bagi agama dan kehidupan ini.
Proses pendidikan dalam Islam dilakukan secara intensif. Pembentukan pola pikir dan pola sikap islami tidak hanya berfokus pada nilai materi, tetapi juga nilai maknawi dan ruhiyah.
Bullying akan selesai jika sistem pendidikan islam diterapkan secara paripurna. Tentu sistem pendidikan islam hanya bisa ditegakkan dalam naungan negara islam. Maka mari kita perjuangankan agar sistem islam ditegakan dalam bingkai negara.
