Budaya

Mengapa Perkampungan Mandailing Banyak Ditemukan di Muara Dua Sungai

Pertemuan Sungai Klang dan Sungai Gombak di Kuala Lumpur. Masa 1800-an kawasan ini bernama Muara Bustak ketika dibuka kaum Mandailing dipimpin Sutan Naposo Lubis atau Sutan Puasa. (Foto: My Metro/ Ihsan Md Ismail Isnin)

Keluarga Sutan Naposo mendiami  Sungai Kelang dan menemui titik tempat pertemuan 2 sungai yang merupakan tempat yang ideal bagi orang-orang Mandailing untuk membuka penempatan baru.

Tempat tersebut merupakan tempat pertemuan Sungai Kelang dan Sungai Gombak (kini berada di Kuala Lumpur, Malaysia). Kawasan begini dipanggil ‘muara’ dalam bahasa Mandailing. Jika kita tinjau dan kaji kembali, orang-orang Mandailing Julu sering memilih tempat pertemuan 2 sungai sebagai penempatan mereka.

Pala marsuo dohot hamu muara na patontang, di sima hamu mian, magabe, mauli, martua markaratan ma hamu sogot.’ Begitulah kata-kata Namora Pande Bosi, yang merupakan nenek-moyang kepada marga Lubis. (137) – Mangaraja Lelo Lubis (66) – Muhammad Arbain Lubis

Terjemahan kalimat Pande Bosi itu kurang lebih: Bila bertemu dengan muara yang menjadi tempat pertemuan dua sungai (muara na patontang), maka di situlah kamu berkampung. Semoga kamu dan anak-cucu kamu kelak menjadi orang yang berguna dan mendapat rahmat dari Tuhan yang Maha Kuasa.’

Begitulah pesanan nenek-moyang orang-orang Mandailing Julu sebagai bekal dalam menempuh perjalanan baru yang jauh dan kehidupan baru yang tidak menentu. Kata-kata tersebut lebih merupakan kata-kata perpisahan yang mengharukan yang dianggap oleh orang-orang Mandailing sebagai petua atau amanat kehidupan.

Ini selaras dengan tabiat orang-orang Mandailing yang sangat gemar membuka penempatan baru di kawasan pertemuan 2 sungai.

Secara turun-temurun, orang-orang Mandailing percaya di tempat pertemuan 2 sungai itu terdapat 4 hal positif:

a. punca rezeki yang mewah;

b. pelbagai jenis ikan yang bermain di situ;

c. banyak bahan-bahan galian seperti emas dan bijih timah yang mendak di dalam dasarnya;

d. menjadi tempat pertemuan pedagang-pedagang dan penduduk-penduduk kampung kerana sungai pada masa dahulu menjadi jalan pengangkutan yang utama.

The rivers and streams were the critical geographic features in the nineteenth century. They acted as avenues of communication; they were a means of transport; they provided water for wet-rice growing and tin-mining; and they were the sites of alluvial tin and gold.’ (6) – Tugby.

Ini terbukti di mana banyak kampung-kampung Mandailing di Tanah Semenanjung Melayu banyak pemukiman dibuka di tempat pertemuan 2 sungai, antara lain:

a. Kuala Lumpur atau Muara Bustak yang terletak di antara Sungai Kelang dan Sungai Gombak.

b. Kampung Changkat Piatu yang terletak di antara Sungai Pinji dan Sungai Kinta.

c. Kampung Gombak yang asalnya terletak di antara Sungai Mulia dan Sungai Gombak.

d. Kampung Ampang (Kuala Ampang) yang terletak di antara Sungai Ampang dan Sungai Kelang

e. Kampung Damar Sara (kini Damansara) yang dibina di antara Sungai Damar Sara dan Sungai Kelang.

f. Kampung Sungai Chincin yang terletak di antara Sungai Chincin dan Sungai Gombak.

g. Kampung Ulu Slim yang asal yang terletak di antara Sungai Gelinting dan Sungai Slim.

Malahan di Tanah Besar Sumatera juga terdapat banyak kampung-kampung orang-orang Mandailing yang dibuka di tempat pertemuan 2 sungai seperti:

a. Panyabungan yang diapit muara Aek Pohon dan muara Aek Mata yang dua-duanya bermuara ke Aek Batang Gadis.

b. Kota Nopan (Muara Patontangan) yang terletak di antara Aek Singengu dan Aek Singagir.

c. Muara Pungkut (Huta Pungkut atau Muara Pardomuan) di tempat pertemuan Aek Batang Gadis dan Aek Batang Pungkut.

d. Muara Soma di tempat pertemuan Aek Soma dan Aek Batang Natal.

e. Muara Parlampungan di tempat pertemuan Aek Parlampungan dan Aek Batang Natal.

f. Huta Raja di tempat pertemuan Aek Batang Bangko dan Aek Batang Rantau.

Memandangkan pada masa itu tempat pertemuan Sungai Kelang dan Sungai Gombak masih belum didiami orang, maka keluarga Sutan Naposo mengambil keputusan untuk membuka penempatan baru di situ.

Adalah menjadi kelaziman bagi golongan bangsawan dan anak-anak raja Mandailing untuk mencari dan membuka penempatan baru mereka sendiri. Mengikut adat orang-orang Mandailing, hanya anak sulung dan anak bongsu sahaja yang berhak menerima warisan pusaka termasuklah menjadi pemilik kampung warisan mereka. Manakala putera-putera yang tengah biasanya akan keluar merantau dari kampung asal mereka untuk membuka perkampungan baru atau ‘harajaon’ dalam bahasa Mandailing.

Sumber: Dikutip dari sebagian artikel Marwan Dalimunthe berjudul “LAHIRNYA RAJA-RAJA (HARAJAON) DI-MANDAILING”  di Apakabarsidimpuan.com

Marwan Dalimunthe

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.