Budaya

Sampuraga Juga Ada di Kalimantan

Bukit batu mirip perahu di Lamandau yang menjadi dasar mitos Sampuraga versi suku Dayak Tomun.

Selain di Mandailing, Sumatera Utara, mitos Sampuraga juga ada di Kalimantan. Tepatnya di dalam cerita suku Dayak Tomun, Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah.

Hanya saja, Sampuraga versi Mandailing memiliki perbedaan dengan Sampuraga versi Lamandau.

Persamaannya : kedua versi Sampuraga ini sama-sama durhaka kepada sang ibu.

Sampuraga versi Lamandau diceritakan karamnya perahu Sampuraga dan perahu itu berubah menjadi bukit batu.

Sedangkan Sampuraga versi Mandailing diceritakan menyemburnya mata air panas di lokasi pesta pernikahan Sampuraga dan peninggalannya saat ini adalah beberapa titik kawah mini mata air panas itu.

Wikipedia melalui https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sampuraga menyebutkan Sampuraga adalah sebuah cerita rakyat dengan beberapa versi.

Berikut kutipan dari wikipedia : Versi pertama berasal dari kisah nama tokoh cerita dari suku Dayak Tomun yang berasal daerah Kabupaten Lamandau Provinsi KalimantanTengah, Indonesia.

Di Lamandau Legenda Bukit Sampuraga bercerita tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi bukit batu. Sebuah bukit yang mirip reruntuhan kapal yang telah membatu di desa Karang Besi, Kabupaten Lamandau, tepatnya 2 kilometer dari tepian sungai Belantikan, dinamai menurut legenda ini. Bukit Sampuraga, demikian nama objek wisata Pemerintah Kabupaten Lamandau tersebut, diyakini memiliki bagian dek dan layar kapal Sampuraga.

Cerita rakyat yang mirip dengan kisah Malin Kundang dari Padang tersebut mempunyai versi kedua yang jauh lebih terkenal di Indonesia, yaitu legenda Kolam Sampuraga dari daerah Mandailing Natal, Sumatera Utara. Begitu juga dengan Legenda Batu Bangkaidari Kalimantan Selatan.

SAMPURAGA VERSI DAYAK TOMUN*

Konon, menurut cerita yang diwariskan turun temurun dalam keluarga suku Dayak Tomun, seorang bangsawan dari sebuah kerajaan di Sumatra berlayar sampai ke kerajaan Petarikan, di hulu Sungai Belantikan, pedalaman Kalimantan. Namanya Patih Sebatang. Tidak jelas, apakah Patih Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh legendaris masyarakat Minangkabau.

Di kerajaan yang bersahaja ini, Patih Sebatang dikisahkan berjumpa dengan seorang putri Kerajaan Petarikan yang cantik jelita. Namanya Mayang Ilung, yang digambarkan memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alis matanyanya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Singkat cerita, Patih Sebatang jatuh cinta, dan akhirnya menikahi sang putri.

Sampuraga Dicari Ibunya

Tidak lama kemudian, Mayang Ilung melahirkan seorang putra, yang dinamai Cenaka Burai. Entah bagaimana kisahnya, Patih Sebatang akhirnya berpisah dengan istri tercintanya. Selain buah cintanya yaitu Cenaka Burai, satu-satunya kenang-kenangan yang mempersatukan cinta mereka adalah cincin pernikahan yang selalu disimpan baik oleh Patih Sebatang.

Cenaka Burai dibesarkan ayahnya sebagai seorang pemuda yang berharkat dan bermartabat tinggi. Dan entah bagaimana asal-usulnya, Cenaka Burai juga kelak dipanggil sebagai Sampuraga. Kemudian ketika sudah dewasa, Sampuraga diceritakan ayahnya bahwa ibunya ada di sebuah kerajaan nun jauh di hulu Sungai Belantikan. Sampuraga berkeras ingin menjumpai ibu kandungnya tersebut, dan meminta apa ciri-ciri ibunya. Sang ayah pun menceritakan kecantikan ibu kandung Sampuraga, dan menunjukkan sebuah cincin pernikahan mereka.

Dibekali dengan cincin pernikahan ayahnya, Sampuraga pergi berlayar sampai ke kerajaan Petarikan. Sesampainya di sana, masyarakat membawanya menemui sang ibu yang sudah tua. Mayang Ilung ternyata telah bertahun-tahun menantikan kembalinya anak kandungnya. Bukan main senangnya Dayang Ilung mengetahui buah hatinya menjumpainya langsung. Hampir saja ia memeluk Sampuraga, tetapi Sampuraga menolak. Sampuraga tidak percaya bahwa wanita asing di depannya tersebut adalah ibunya sendiri. Ayahnya telah menceritakan kecantikan sang ibu. Bagaimana mungkin wanita yang tua renta tersebut adalah putri cantik yang diceritakan sang ayah?

Sampuraga masih ingin membuktikan lagi. Dikenakannya cincin pernikahan ayahnya kepada wanita tua itu. Karena usia telah membuat tubuh Mayang Ilung lebih kurus, cincin tersebut menjadi terlalu besar untuk melingkari jari-jarinya. Sampuraga semakin yakin bahwa wanita itu bukan ibunya. Sampuraga memutuskan untuk pulang.

Mayang Ilung kecewa. Ia berkata kepada Sampuraga, “Nak, kamu sudah meminum susu dari tubuhku. Kalau kamu tidak mau mengakuinya, kamu akan terkena malapetaka!”

Sampuraga Dikutuk Ibunya

Dengan amarah di dalam dada, Sampuraga berlayar pulang. Dia tidak habis pikir, kenapa ada wanita tua yang bersikeras meyakinkan Sampuraga bahwa dia adalah ibunya, padahal ayahnya sudah jelas memberikan ciri-ciri sang ibu.

Di tengah jalan, tiba-tiba badai menghadang. Kapalnya oleng diombang-ambingkan ombak besar. Ketika kapalnya hampir karam, Sampuraga teringat kutukan wanita tua tersebut. Hati kecilnya tiba-tiba disadarkan bahwa dia baru saja durhaka pada ibunya sendiri.

“Ibu, ibu, kamu memang ibuku!” demikian Sampuraga memohon ampun. Tiba-tiba terdengar suara ibunya, “Nak, sudah jatuh telampai. Tidak mungkin keputusan ditarik kembali. Kutukan sudah terjadi.” Demikianlah Sampuraga membatu bersama kapalnya.

SAMPURAGA VERSI MANDALING

Kawah kawah mini air panas yang diceritakan dalam Sampuraga versi Mandailing berada di Desa Sirambas, Panyabungan Barat, Mandailing Natal, Sumut.

Alkisah, pemuda tampan bernama Sampuraga hidup bersama ibunya yang sudah tua dalam kondisi miskin.

Suatu hari Sampuraga pergi merantau dan direstui sang ibu.

Tempat perantauan Sampuraga disebut berada di kerajaan Sirambas.

Karena kehebatannya dalam ilmu beladiri menyebabkan Sampuraga mendapat posisi bagus di kerajaan itu.

Dan rupa yang tampan dan dan tubuh yang atletis menyebabkan putri raja terpikat padaya. Lalu raja merestui pernikahan mereka.

Di dalam cerita lisan disebutkan, sang ibu yang telah lama merindukan anaknya memutuskan pergi ke Sirambas untuk bertemu Sampuraga, konon juga dia juga mendengar keberhasilan Sampuraga di perantauan.

Mata air panas di Desa Sirambas diabadikan kolonial Belanda tahun 1936. Mata air panas ini menjadi dasar mitos Sampuraga versi Mandailing

Saat hari pernikahan Sampuraga itulah sang ibu tiba di Sirambas.

Tetapi Sampuraga yang malu didatangi sang ibu tak mau mengakui ibunya. Justru dia mengusir ibunya. Sang calon istri sebenarnya telah mensehati agar Sampuraga mengakui ibu kandungnya. Tetapi Sampuraga tetap angkuh.

Akibatnya, sang ibu mengutuk Sampuraga. Air panas menyembur dari dalam tanah. Orang berlarian. Kawasan itu tenggelam. Banyak yang tak mampu selamata termasuk Sampuraga.

Budayawan Mandailing, Askolani Nasution dalam catatan ringkas, Senin (1/6/2020) di Mandailing Online menyatakan kisah Sampuraga di Mandailing merupakan folkstory.

“Karena ia hanya dongeng. Dalam sastra bisa disebut dengan folklor, cerita rakyat yang diceritakan secara verbal, turun-temurun. Tidak tertulis, banyak versi, dan pengarangnya anonim,” tulis Askolani.

 

Sumber : Wikipedia
*sub judul oleh Mandailing Online

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.