Budaya

Sekapursirih dari Pementasan “Multatuli” : Humanisme Douwes Dekker dan Sejarah Jalur Ekonomi Kopi

Adegan Multatuli dengan Saijah di drama “Multatuli” (foto : Dahlan Batubara)

 

Pementasan drama “Multatuli” produksi Jeges Art di Taman Raja Batu, Panyabungan, Senin (31/7) sungguh sangat luar biasa. Plot cerita mengalir dengan sempurna, dialog-dialog yang menyentuh serta adegan-adegan yang berkarakter kuat.

Askolani Nasution, sang sutradara, begitu berhasil membangun dimensi emosi yang sangat kuat pada setiap adegan. Pun, para pemain sangatlah pula piawai memerankan peran masing-masing. Drama kian hidup dan memukau oleh polesan musik latar yang mampu membangun ruang dan setting cerita.

Drama “Multatuli” ini bersetting era kolonial Belanda tahun 1800-an menampilkan humanisme Eduard Douwes Dekker atau lebih popular dengan sebutan Multatuli, seorang kontrolir kolonial yang  berkedudukan di Natal.

Askolani Nasution berhasil mencuatkan humanisme dan pemikiran Multatuli yang visioner dalam upaya menggerakkan ekonomi pribumi masa itu lewat gagasan pembukaan infrastruktur jalan sebagai bagian dari rangkaian pengembangan komoditas kopi Mandailing.

Dalam buku “Madina Madani” (2004) karya sejarahwan Mandailing Basyral Hamidi Harahap  mencatat, pembukaan jalur-jalur jalan telah berhasil mempercepat laju distribusi komoditi kopi Mandailing di masa itu, sehingga volume ekspor begitu sangat tinggi.

Pembukaan jalan-jalan itu telah merubah pola angkutan kopi dari cara panggul menjadi angkutan grobak pedati. Ruas-ruas jalan itu didesain oleh Philipus Godon seorang Asisten Residen Mandailing Angkola yang berkedudukan di Panyabungan. Godon adalah sahabat Multatuli. Dalam catatan sejarah, keduanya sama-sama berangkat dari Eropa untuk bertugas di kawasan Mandailing, Hindia Belanda.

Ruas-ruas jalan yang dibangun itu meliputi, jalur Jembatan Merah-Muara Sipongi; jalur Panyabungan-Gunung Baringin; jalur Panyabungan-Jembatan Merah; jalur Jembatan Merah-Tanobato; jalur Tanobato-Natal dan jalur Panyabungan-Sigalangan. Dari Sigalangan, ruas-ruas jalan juga dibuka hingga ke Sidimpuan, Sipirok sampai ke Lumut.

Jalur-jalur darat itu mampu dengan cepat mendistribusikan pergerakan angkutan kopi dari sentra-sentra perkebunan kopi rakyat menuju unit-unit gudang yang dibangun di berbagai titik, seperti gudang di Muarasipongi dan gudang Tanobato.

Pembangunan pelabuhan laut di Sikara-kara, Natal untuk pengapalan biji kopi dari kawasan Mandailing Julu dan Mandailing Godang telah mempercepat ketibaan di Nederland. Begitu juga pelabuhan Lumut untuk layanan distribusi kopi dari kawasan Sipirok.

Karakter seorang Multatuli terasa begitu hidup diperankan oleh Bob Dimas, satu karakter protagonis yang memiliki rasa kemanusiaan tinggi seorang pejabat kolonial.

Tokoh Saijah juga sangat terasa hidup yang diperankan Ika Desika Dahlan Hasan. Figur gadis pribumi pencerah yang visioner.

Dialog-dialog Multatuli dan Saijah dalam berbagai adegan mampu menaikkan emosi penonon sehingga drama ini menjadi begitu hidup.

Saya yang sejak awal hingga pementasan berakhir duduk dan konsentrasi di sudut kiri panggung  begitu khusuk dan sangat terlena mengikuti setiap adengan.

Drama “Multauli” ini tak saja mencuatkan gagasan humanisme, dimensi ekonomi dan gambaran sosial budaya masa 1800-an itu, tetapi Askolani Nasution juga sangat piawai membungkus plot cerita dengan sentuhan emosi hati gadis Saijah. Hubungan cinta antara Multatuli dengan Saijah yang harus kandas oleh faktor perbedaan budaya (Eropa-Melayu) pun telah menguras emosi kesedihan penonton.

Sama seperti film-film produksi Tympanum Novem (kini bermetamofosa menjadi Jeges Art), pemainnya umumnya adalah individu yang tak pernah bersentuhan dengan dunia teater atau dunia akting.

Bayangkan, di drama “Multatuli” ini, hanya Ali Fikri Pulungan (memerankan ayah Saijah) saja yang sudah berkategori makan asam garam peraktingan, serta Ulan Gustina (memerankan ibu kandung Saijah) yang sudah agak sering mengikuti pengambilan gambar untuk film-film produksi Tympanum.

Disinilah keunikan seorang Askolani Nasution yang selalu berhasil menggembleng seseorang menjadi mampu berakting dalam tempo singkat.

Akting taklah sekedar menguasai dan menghayati gerakan, mimik wajah ataupun mengolah emosi dan melakoni sifat orang lain, lebih dari itu emosi bahasa juga sangat penting. Semua itu bukan perkara mudah.

Akhir kata, bagi saya, drama “Multatuli” telah menempatkan kawan-kawan seniman di Jeges Art berada dalam pencapaian yang membangakan. Dan lebih dari itu, Jeges Art telah mampu menghidupkan perteateran di Mandailing Natal, seperti Teater Kartupat di Medan.

Dan, dari dimensi lain, drama “Multatuli” ini bukan lagi sebuah segmen dalam daftar penutupan TTG 2017 di Taman Raja Batu, tetapi pementasan ini telah menjelma menjadi “cambukan visi” bagi kita semua, baik Pemerintah Daerah maupun masyarakat luas untuk lebih menyadari bahwa masa depan ekonomi Madina atau Sumatera Utara berada “di tangan” infrstruktur sebagaimana yang diperlihatkan sejarah kegemilangan kopi Mandailing yang diprakarsai Multatuli dan Godon di masa lalu. (Dahlan Batubara)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.