Terkait Penangkapan Anggota LSM di Kotanopan

LSM itu mitra pemerintah, ya. Tapi bukan pemerintah, apalagi merasa jadi aparat pemerintah. Karena itu ia disebut NGO (Non Governmental Organization). Tegas sekali istilah itu. Kalau swadaya artinya tenaga sendiri, iklas bekerja membantu orang, tidak minta imbalan.
Ia mitra pemerintah untuk mendorong program pemerintah agar lebih cepat progresnya. Misalnya membina kelompok tani, pemulihan lingkungan alam, penanaman bakau, pencerdasan anak-anak putus sekolah, dan lain-lain yang arahnya pencerahan dan pemberdayaan (enlightenment and empowerment) masyarakat.
Tapi bukan pendamping Aparat Penegak Hukum (APH), yakni kepolisian dan kejaksaan. Hanya dua lembaga itu yang memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan investigasi. Hanya mereka, tak ada yang lain. Dan itu diatur KUHAP.
Sialnya di berbagai daerah, LSM ada yang bergaya seakan-akan wakil kepolisian dan kejaksaan, seakan-akan memiliki otoritas untuk memeriksa orang, memeriksa penggunaan Dana BOS sekolah, dll. Bayangkan, atas nama undang-undang keterbukaan informasi publik, mereka meminta RASKA Bos, laporan, kuitansi, dan seterusnya. Bahkan minta lihat akun sekolah.
Gayanya melebihi aparat hukum. Bawa kamera, merekam, membentak, dan berbagai intimidasi lain. Pongah. Seolah-olah kasatreskirim Polda. Atau jaksa Tipikor. Tanpa babibu langsung masuk kantor kepala sekolah.
Polisi saja yang dinaungi KUHAP tidak boleh begitu. KUHP tegas mengatur bahwa tak ada orang yang bersalah sebelum ditetapkan pengadilan. Karena itu azasnya selalu praduga tak bersalah (preasumption of innocence). Tujuannya agar hukum tidak sewenang-wenang, hak-hak warga negara dilindungi dari kekuasaan hukum yang absolut. Bahkan kalau polisi memanggil orang, ia harus menunjukkan surat panggilan, pasal mana yang diduga telah dilanggar, kapan hari dan jamnya.
Tentang perlindungan hukum itu, di Amerika misalnya, polisi ketika akan menangkap penjahat pun, ia mesti membacakan pasal “Miranda”, bahwa tersangka berhak diam sampai didampingi pengacara. Kalau ia tak mampu menyewa pengacara, negara yang akan membayarnya.
Sebab, lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak beralah. Prinsip hukum seperti itu. Sekalipun hukum tidak bermata, ia tetap punya ruh
Di Indonesia, sekalipun “Miranda Rule” itu tidak ada, tetapi prinsipnya sama. Orang tetap berhak diam sampai didampingi penasehat hukum. Dan itu dijamin KUHAP.
Lha, ini LSM, enak saja datang bergaya koboi, minta orang menjawab pertanyaan dia, di rumah orang pula. Hak apa yang ia miliki untuk memaksa orang berbicara? Bukan APH, bukan juga Tuhan.
Setiap orang berhak untuk tidak menjawab apapun. Bahkan pers pun, sekalipun ada fungsi investigated report, fungsi penyelidikan, tidak diterjemahkan agar ia bebas suka hati memasuki semua wilayah hukum. Apalagi suka hati mengintrogasi orang.
Undang-undang keterbukaan publik tidak di atas semua undang-undang. Ia dibatasi Kode Etik.
Konon lagi untuk seenaknya memfoto, merekam orang, lalu seenaknya mempublikasikannya di ranah publik. Itu melangkahi hak privasi orang. Bahkan orang tua saja tidak berhak menayangkan foto anaknya di medsos tanpa izin anak. Karena setiap orang, tanpa dibatasi usia, melekat hak-hak privasi, sekalipun ia tidak mengetahuinya. Dan itu hak azasi setiap orang yang dijamin semua negara.
Di Singapura, kalau kau memandang orang lebih dari sekilas, kau berhak dituntut karena melampaui hak-hak privasi orang. Kita yang kampungan ini saja yang seenaknya gedor-gedor kamar hotel orang atas nama negeri beradab.
Sekolah, sekalipun milik pemerintah, ia bukan ruang publik yang setiap orang bisa bertindak suka hati. Sekolah juga punya otoritas sendiri. Setiap inchi dari tanah yang kita pijak ada otoritasnya. (Askolani Nasution)
