Artikel

PLURALISME DI SUMATERA UTARA

Oleh : Ahmad Husein
Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Keberagaman agama dan Budaya, etnis, suku dan marga yang ada di Sumatera Utara sangat banyak, setiap agama, budaya etnis, suku, agama dan marga bisa hidup rukun antara satu dengan yang lainnya, saling menghargai dan menghormati dalam kehidupan sosial, politik dan kerukunan beragama yang tidak saling mengganggu bahkan saling membantu jika mereka yang bertetangga ada kemalangan (meninggal) khususnya masyarakat Tapanuli Tenggara (Barus).

Kerukunan antara beragama dan saling membantu dalam sosial masyarakat.  Seperti nilai-nilai keislaman yang di wariskan oleh Nabi kepada ummat sesudahnya. Piagam Madinah adalah salah satu rujukan pancasila Negara kita Indonesia yang mengadopsi aturan-aturan yang terdapat dalam piagam madinah tersebut. Dimana masyarakat multicultural bisa hidup bersama dibawah peraturan piagama Madinah yang di gagas oleh  Nabi Muhammad saw.

Sumatera utara adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia yang terdiri dari beberapa Agama Islam, Kristen, hindu, budha dan Kong Hu Chu dan banyak suku, suku Batang Angkola, suku batak karo, suku Mandailing, suku batak pakpak, suku batak Simalungun, suku batak toba, suku melayu dan suku Nias. Keberagaman yang biasanya akan  mudah memicu konflik karena mementingkan ego masing-masing suku, tetapi masyarakat Sumut bisa hidup rukun.

Perpindahan Nabi dari kota Mekkah ke Madinah disambut hangat kaum Ansor akan kehadiran Nabi tersebut, Nabi melihat keberagaman agama dan suku yang hidup disebuah kota yang awalnya namanya Yastrib berubah menjadi Madinah, keberagaman itulah yang membuat Nabi berfikir untuk melahirkan Piagam Madinah yang terdiri suku Muhajirin dan Ansor,  Aus, khazraj, bani Quraishah, bani Nadhir, bani Qunaiqa’ dll. Di dalam isi piagam Madinah tersebut adalah persatuan seperti Negara kesatuan Negara Indonesia, jika ada permasalahan agama dan suku mereka saling membantu jika musuh, bahaya datang menyerang.

Aset terbesar yang ada di sumatera Utara adalah kesadaran, saling menghormati antara satu sama lainnya yang melahirkan kerukunan bersama hal yang saya syukuri sebagai mahasiswa yang memperhatikan kerukunan toleransi beragama di Indonesia kita mampu menjaga dan mempraktekkan nilai-nilai keislaman yang ada di piagam Madinah itu.

Keberagaman agama itu tidaklah mudah untuk menjaganya kita lihat perang salib misalnya, perang yang berlangsung kurang lebih dari dua abad, dimulai dari perang salib pertama sampai perang salib ke Sembilan yaitu pada tahun 1095-1291. Perang salib terjadi kefanatikan Kristen yang koordinir oleh paus yang mempunyai tujuan untuk merebut kota suci Palestina dari kaum Muslimin.

Bangsa Mongol Pada tahun  (1212) memerangi ummat islam disebabkan Masalah ideologi (Agama) orang mongol termasuk jenghis khan adalah penganut ajaran Shammaniah yang mempertahankan yang mempertahankan kepercayaan kuno terhadap kesucian berbagai peristiwa dan benda alam, diantaranya: air, api, hujan dan petir. Sementara ummat islam menggunakan benda-benda suci tersebut sebagai ritual ibadah dan islam juga memerangi paganisme dan animisme yang di percaya orang-orang mongol yang membuat bangsa mongol tidak suka kepada Islam dan ingin memerangi ummat Islam pada masa itu.

Khawarij juga mempunyai cerita atas nama perbedaan pemilihan dalam peristiwa attahkim ini menegaskan sebuah fakta awal bahwa kemunculan mereka pada mulanya murni bersifat politik. Polemik politik mulai mendapatkan sentuhan-sentuhan wacana teologis-keagamaan pada masa pemerintahan ‘Abdul Malik ibn Marwan, terutama gencar dilakukan oleh kelompok Azariqah yang memiliki pengaruh cukup signifikan bagi perkembangan doktrinal sekte Khawarij.  Pada titik ini, terjadi pembauran antara wacana politik dengan doktrin keagamaan. Tidak jarang wacana keagamaan diinterpretasi sedemikian rupa sesuai dengan motif-motif politik-kekuasaan. Dalam arti, peristiwa attahkim menjadi awal upaya instrumentalisasi wacana keagamaan untuk melegitimasi pandangan-pandangan politik sekte Khawarij. Fenomena semacam ini bahkan telah diindikasikan ‘Ali ibn Abi Thalib ketika sekte Khawarij menyuarakan la hukma illa-Allah saat peristiwa attahkim.

Beberapa sejarah warisan kepada kita yang sangat memilukan dan memperhatikan antara ummat beragama bahkan satu agama di sebabkan keberagaman agama dan pikiran yang melahirkan konflik yang berdarah-darah yang bertentangan dengan naluri dan rasional manusia yang  hidup  di muka bumi ini, manusia yang baik  mengingikan kehidupan yang ramah sedangkan Islam menawarkan konsep kehidupan Rahmatullilalamin.

Kemunculan toleransi beragama di ummat Islam untuk melahirkan perdamaian di muka bumi, setiap agama pasti mengingikan perdamaian, agama mengajarkan kebaikan, agama mengajarkan berbuat. Gusdur juga mengatakan: tidak penting apapun agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah Tanya apa agamamu.

Begitulah bapak pluralisme mengajarkan pentingnya toleransi beragama apalagi kita yang hidup di Indonesia.

Perlunya tokoh agama post Modern ini seperti Gusdur yang melihat sisi persamaan dan tidak melihat sisi perbedaan dalam beragama, karena untuk kedamaian bangsa dan Negara. Dalam Islam hal seperti itu tidak salah bahkan sangat dianjurkan. Tuhan bisa saja menghendaki siapa saja yang diinginkan untuk memeluk agamanya, al-Qur’an juga menyuruh tidak ada paksaan dalam beragama (3: 256). Sumatera Utara adalah pewaris nilai-nilai kebaikan al-Qur’an kebebasan dalam beragama, hal ini harus kita jaga bersama saling membantu dan saling menghormati jika tidak korban darah akan mengotori tanah seribu marga yang ada di sumut ini. Dialektika juga menjadi tawaran jika terjadi kesalahpahaman antara ummat beragama di bawah lindungan pemerintah setempat.***

(Ahmad Husein juga aktif di Forum Penulis Madina)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.